SELAMAT DATANG DI MY BLOG

SEMOGA APA YANG TERDAPAT DI DALAM BLOG INI DAPAT BERMANFAAT BAGI SIAPAPUN YANG MEMBUTUHKANNYA DAN DIAMALKAN SEBAGAIMANA MESTINYA.

Senin, 22 Maret 2010

ILMU AL-QURAN

ILMU AL-QURAN


PERADILAN 1

F 1

09.10 – 10.00



TAUFIK ADNAN AMAL



ABDUL HALM TALLI, Sag . Mag

150 282 232

AMIR SYAM MARSUKI

101 001 08 007







UIN ALAUDDIN

2009/2010

DERIVASI dan PENGERTIAN al-QURAN

Al-quran (bacaan atau yang dibaca) adalah nama yang lazim digunakan untuk kitab suci kaum muslimin. Nama ini merupakan kata benda bentukan dari kata kerja qara’a (membaca). Di kalangan tertentu serjana mislim, berkembang pendapat lain tentang asal-usul nama tersebut. Menurut pendapat ini, nama itu diturunkan dari akar kata qaraana (menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain atau mengumpulkan). Jadi, al-quran – tanpa – hamzah berarti kumpulan atau gabungan. Tetapi disini harus diberi catatan bahwa penghilangan hamzah berarti merupakan cirri khas dialek Makkah atau Hijazi, dan karakteristik tulisan al-quran dalam aksara kufi yang awal. Sebagaimana akan ditunjukkan, istilah quran pada faktanya bertalian erat dengan, dan terambil dari akar kata qara’a dalam penggunaan al-Qur’an sendiri.
Dikalangan serjana barat, kata al-qur’an – mengikuti teori Fridrich schwally – dipandang sebagai derivasi dari bahasa seria atau ibrani: qeryana, qeryani (lectio, bacaan atau yang dibaca), yang digunakan dalam liturgi Kristen. Kemungkinan terjadinya pinjaman dari bahasa semit – bahasa arab termasuk kedalam rumpun bahasa ini – untuk kasus semacam itu bisa saja dibenarkan, mengingat kontak-kontak yang dilakukan orang arab dengan dunia diluarnya. Lewat kontak-kontak tersebut berbagai kata non arab telah dimasukkan kedalam bahasa arab atau diarabkan. Tetapi, seperti telah ditegaskan, istilah Qur’an pada prinsipnya berasal dari penggunaan Al-Qur’an itu sendiri, bukan derivasi atau arabisasi kata qeryana atau qeryani.
Kata kerja qra’a dan berbagai bentuk turunannya muncul 17 kali di dalam al-Quran. Kata ini muncul dalam sejumlah kesempatan dengan rujukan kepada pembacaan wahyu al-Quran oleh Nabi Muhammad (16:98; 17:45; of 7:204; 84:21). Dalam konteks lain, disebutkan bahwa Tuhanlah yang membacakan wahyu kepada Nabi (75:18; 87:6). Sementara dalam 73:20, terdapat dua kali perintah membacakan bagian-bagian termudah al-Qur’an, yang ditujukan kepada pengikut-pengikut Nabi ketika itu. Dalam 26:198-199, dikatakan bahwa jika al-Qur’an diturunkan kepada non arab (a’jam), lalu ia bacakan kepada orang-orang kafir (Makkah), orang-orang tersebut tidak akan mempercayainya.
Keseluruhan konteks bagian al-Qur’an yang dikemukakan diatas secara jelas memperlihatkan pertalian erat antar akar kata qara’a dengan al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa, dalam penggunaan al-Qur’an sendiri, termasuk al-Qur’an memang diturunkan dari akar kata tersebut.
Keunculan akar kata qara’a dengan makna membaca dalam konteks-konteks lainnya tidak terkait dengan al-Qur’an, tetapi dengan kata kitab. Dalam 17:93, Nabi ditantang orang-orang kafir mendatangkan dari langit sebuah kitab yang dapat mereka baca sebagai bukti kerasulannya. Dalam 17:14,71 dan 69:19, kata kerja tersebut dikaitkan dengan “pembacaan” kitab rekaman perbuatan manusia di Hari Penghabisan. Konteks terakhir 10:94 merujuk kepada orang-orang tertentu yang sezaman dengan Nabi – barangkali orang Yahudi dan Kristen – sebagai “orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu”. Dengan demikian, dalam konteks apapun, kata kerja qara’a digunakan al-Qur’an dalam pengertian membaca, baik terkait dengan Qur’an ataupun kitab.
Kata Qur’an sendiri, baik dengan atau tanpa kata sandaran tertentu yakni (al) muncul sekiar 70 kali di dalam al-Qur’an dengan makna yang beragam. Dalam 75:17-18, kata ini digunakan merujuk wahyu-wahyu individual yang disampaikan satu persatu kepada Nabi, atau sebagai suatu lisan umum untuk wahyu yang diturunkan bagian demi bagian (17:106; 20:2; 76:23; 25:32; dll). Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-Qur’an – terkadang tanpa kata sandang tertentu al – disebut sebagai suatu versi berbahasa Arab dari al-kitab yang ada di Lauhul Mahfuz (43:2-4; 12:1-2; 41:2-3; 56:77-80; 85:21-25) istilah ini juga merujuk kepada sekumpulan wahyu Ilahi yang diperintahkan untuk dibaca (27:92; 16:98; 17:45; 7:204; 84:21; 73:20).
Penggunaan arti al-Qur’an yang umumnya digunakan dewasa ini yakni - sebagai kitab suci kaum muslim - terdapat dalam 9:111. Dalam konteks ini, al-Qur’an disebut secara bergandengan dengan dua kitab lain (Taurat dan Injil) dalam suatu konstruksi yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang peralel.

NUZULUL QUR’AN

PEWAHYUAN AL-QUR’AN: Sehubungan dengan pewahyuan al-Qur’an, dikemukakan bahwa ia pertama kali diturunkan pada malam al-Qadar atau malam yang diberkahi Tuhan (97:1 dan 44:3-4). Malam ini, menurut penjelasan bagian al-Qur’an lainnya (2:185), terjadi pada salah satu malam dibulan Ramadhan. Sejumlah bessar mufasir berupaya menginterpresikan malam tersebut dengan merujuk 8:41, yang mengindikasikan penurunan furqan pada “hari bertemunya dua pasukan” – yakni bertemunya pasukan Islam dengan bala tentara Quraisy dalam perang Badar – dan menetapkan tangga; 17 Ramadhan sebagai yang dimaksud dalam bagian-bagian al-Qur’an diatas. Tetapi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemberian furqan pada perang badar merefleksikan “penyelamatan” atau pertolongan Tuhan berupa penganugrahan kemenangan kepada kaum Muslimin dalam pertempuran yang tidak seimbang itu. Lebih jauh, beberapa hadis memberi penjelasan tentangnya. Sebagian hadis mengemukakan laylatul qadar terjadi pada malam ganjil dibulan Ramadhan, sementara hadis lain menjelaskan terjadi pada malam ganjil dipertigaan terakhir bulan tersebut.
Penurunan pertama al-Qur’an ini stidak-tidaknya dalam bentuk embirionik dari lauh-al-mahfuz ke bayt al-izzah dilangit dunia – atau hati Nabi, sebagaimana dikemukakan sejumlah ahli fakir seperti al-Gazali (w. 111) dan Syah Wali Allah al-Dihlawi (w. 1762). Dari bentuk embrionik ini kemudian berkembang rincian-rincian al-Qur’an Selma kurang lebih 20 (atau 23 atau 25) tahun, selaras dengan perkembangan misi kenabian Muhammad Ibnu Abbas (w. 687/8), salah seorang sahabat Nabi yang memiliki otoritas dalam studi al-Qur’an, misalnya mengemukakan bahwa al-Qur’an sekaligus diturunkan ke langit dunia pada laylat al-qadar, setelah itu bagian demi bagiannya diturunkan secara berangsur-angsur kepada Muhammad dari waktu kewaktu.
Pendapat ini dipandang paling shahih dan dipegang oleh para sarjana Muslim. Tetapi, teradapat juga pandangan minoritas lainnya yang berkembang dalam dunia Islam. Sebagian kecil sarjana muslim, misalnya, menganggap bahwa al-Qur’an turun ke langit dunia dalam 20 (atau 23 atau 25) kali laylat al-qadar. Pada setiap malam tersebut diturunkan wahyu untuk kebutuhan satu tahun, yang kemudian disampaikan kepada Nabi disepanjang tahun itu secara berangsur-angsur. Sementara minoritas sarjana muslim lainnya memandang bahwa permulaan turunnya al-Qur’an adalah pada malam al-qadar. Setelah itu wahyu disampaikan dalam berbagai kesempatan selama masa kenabian Muhammad secara berangsur-angsur.
Penurunan gradual al-Qur’an, seperti terlihat ditekankan seluruh pendapat yang berkembang, dan ini sejalan dengan penegasan kitab suci itu sendiri. Bagi al-Qur’an suatu pewahyuan total pada suatu waktu – sekalipun dituntut pada oposan Nabi (25:52) – adalah mustahil, karena kenyataan sesungguhnya bahwa ia harus turun sebagai petunjuk bagi kaum Muslimin dari waktu ke waktu, selaras dengan kebutuhan yang muncul. Sehubungan dengan ini, al-Qur’an mengungkapkan: “(telah kami turunkan) sebuah Quran yang kami bentangkan secara gradual sehingga kamu (Muhammad) dapat membacakannya, kepada manusia secara bertahap, (karena) itu kami menurunkannya hanya dalam bagian-bagian” (17:106).

MODUS PEWAHYUAN: Paling lengkap dalam 42:51-52 (wa maa kana libasyar an anyukallimu-llah alla…..)
1. Wahyu, dipandang sinonim dengan ilham, dan ditafsirkan sebagai ru’yat al-shalihah.
2. Dari balik tabir, ditafsirkan wahyu tanpa perantara dari balik hijab seperti Musa di bukit Sina.
3. Lewat utusan spritiual, yakni Ruh min Amri.
Bentuk pewahyuan yang terakhir inilah yang dialami Nabi seperti dinyatakan disejumlah tempat di dalam al-Qur’an (2:97; 16:102; 26:152-154; dll). Disini ditegaskan Jibril menyampaikan wahyu kedalam hati Nabi. Bahwa Jibril merupakan agen wahyu atau utusan spiritual yang menyampaikan wahyu Ilahi kepada Muhammad, dikonfirmasi al-Quran dibeberapa tempat lainnya (2:97; 16:102; 26:192-194; dll). Bahkan dalam bagian-bagian al-Quran ini dijelaskan bahwa Jibril menyampaikan wahyu Ilahi kedalam hati Nabi. Jadi, dalam 26:192-193, misalnya, disebutkan: “dan sesungguhnya al-Quran ini diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh al-ruh al-amin kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang pemberi peringatan”. Dengan demikian, wahyu dan agennya jelas bersifat spiritual dan internal bagi Muhammad. Hal ini juga dinyatakan dalam bagian al-Quran lainnya: “Jika Tuhan menghendaki, maka akan dia tutup mata hatimu (hai Muhammad) sehingga tidak akan ada lagi wahyu yang datang kepadamu” (42:24; 17:85-86).
Jibril- agen spiritual penyampai wahyu Ilahi kepada Muhammad – hanya disebutkan tiga kali di dalam al-Quran (2:97-98; 66:4) dan keseluruhannya berasal dari periode Madinah. Dari tiga kali pemunculan tersebut, seperti telah disinggung diatas, hanya satu kali saja yang bertalian dengan pewahyuan al-Quran (2:97). Pemunculan yang sangat belakangan ini telah menimbulkan spekulasi dikalangan sarjana Barat tentang pengaruh tradisi Yudeo-Kristiani dalam identifikasi tersebut.
Pandangan diatas mencerminkan suatu kegagalan dalam mengapresiasi perkembangan misi kenabian Muahammad dalam bentangan histprisnya. Indentifikasi-identifikasi agen wahyu, dalam kenyataannya berkembang selaras dengan perkembangan misi tersebut, dan baru mencapai bentuk finalnya setelah Perang Badar. Dalam proses perkembangan ini, al-Quran pada mulanya menerima aspek-aspek tertentu keyakinan atau world-vew masyarakat Arab, karena tidak mungkin mengubahnya dalam seketika. Kepercayaan-kepercayaan pagan Arab itu, kemudian diganti atau ditransformasikan secara gradual dengan unsur-unsur Islami, hingga mencapai bentuk finalnya. Proses perkembangan semacam ini, pada faktanya, terjadi pada hampir keselruhan gagasan keagamaan.
Bentuk pewahyuan dalam hadis-hadis berkembang lebih banyak: Hasby Asy-Siddiqy, misalnya, menegaskan bahwa Nabi telah mengalami seluruh macam maratabat pewahyuan: (i) mimpi; (ii) wahyu dicampakkan kedalam hati Nabi; (iii) wahyu datang kepada Nabi laksana gemerincing lonceng; (iv) malaikat menyampaikan wahyu kepadanya dalam bentuk lelaki tampan (Dikhyah Ibnu Khalifah); (v) Jibril memperlihatkan dirinya dalam bentuk asli; (vi) Tuhan berbicara kepada Nabi dari balik tabir, baik dalam keadaan terjaga atau mimpi; dan (vii) sebelum Jibril menyampaikan wahyu al-Quran, Israfil- atau Mikail, manurut hadis lainnya – turun membawa beberapa kalimat wahyu. Ash-shiddiqey juga menambahkan sejumlah keterangan lain – yakni wahyu Tuhan kepada Nabi ketika Mi’raj, firman Tuhan langsung tanpa perantara kepada Nabi, datangnya wahyu seperti dengungan lebah – untuk melengkapi ketujuh martabat wahyu tersebut.
Sebagian besar cara penyampaian wahyu kepada Nabi yang diberitakan dalam hadis-hadis itu, pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk menjelaskan bagian-bagian tertentu al-Quran yang bertalian dengan mekanisme pewahyuan. Sejak masa awal, kaum muslimin telah berselisih pendapat tentang masalah Nabi pernah melihat Tuhan dan menerima langsung – tanpa pernatara – wahyu dariNya atau tidak. Aisyah, misalnya, dengan tegas menyangkali kemungkinan itu. Sekalipun demikian, sudut pandang yang mengkonfirmasi Muhammad melihat Tuhan dan menerima wahyu secara langsung dariNya tetap bartahan. Sebagian lagi melunakkan sudut pandang terakhir ini dengan menegaskan bahwa Nabi melihat Tuhan dengan hatinya (bi-qalbihi atau bi-fu’adihi). Tetapi, dari sudut pandang al-Quran yang ketat, seperti yang telah dikemukakan diatas, kemungkinan pewahyuan langsung dari Tuhan adalah negatif.
Dalam sejara pemikiran Islam, gagasan tentang hakikat wahyu yang diterima Nabi – apakah dalam bentuk verbal atau sekedar ide – telah menimbulkan kontrofersi akut dan berkepanjangan. Sebagian sarjana muslim memandang bahwa wahyu disampaikan hanya dalam bentuk ide saja. Nabi kemudian mengungkapkan redaksinya dengan kata-katanya sendiri dalam bahasa Arab. Sebagian sarjana Muslim lainnya menegaskan bahwa Allah hanya menyampaikan ide kepada Jibril, lalu Jibril menyampaikan gagasan tersebut dalam bahsa Arab yang selanjutnya disampaikan kepada Nabi. Sementara mayoritas berpendapat bahwa al-Quran itu diwahyukan dalam bentuk lafaz maupun maknanya.
Pendapat pertama dan kedua diatas, secara sederhana bisa dikesampingkan karena tidak sesuai dengan gagasan al-Quran tentang pewahyuan verbal. Sementara pendanga ketiga, hingga teraf tertentu, sejalan dengan penegasan al-Quran. Tetapi pada sisi lain, pendapat ini gagal mengaktikan kepribadiann terdalam Nabi dalam proses pewahyuan. Bahkan, gambaran yang ditampilkannya tentang hubungan antara Nabi dan wahyu justru sangat bersifat mekanis dan eksternal – yakni wahyu datang kepada Nabi melalui telinga dan agen wahyu itu bersifat eksternal baginya. Padahal, seperti/ditunjukkan di atas, al-Quran tampaknya menekankan baik karakter verbal wahyu itu sendiri maupun hubungan intimnya dengan kepribadian religius Nabi.
Beberapa petunjuk bisa ditemukan di dalam al-Quran yang menyiratkan bahwa sebagian besar pengalaman kenabian Muhammad itu terjadi di malam hari, waktu yang peling kuat kesannya dan paling pentas untuk dibicarakan, dibandingkan siang hari, ketika ia disibukkan dengan berbagai urusan (73: 1-7). Berdasarkan konteks bagian al-Quran ini dan beberapa bagian lainnya (22:1; 76:26; 17:79; 73:20; 97:1 74:1-7), dapat dipastikan bahwa sejak awal kenabian Muhammad sangan sering bangun malam untuk bertahajjud, disamping berpuasa – suatu exercise yang diakui oleh tokoh psikilogi J. Mueller mampu meningkatkan kemampuan rukyah (visionsvermoegen). Peristiwa mi’raj yang merupakan manifestasi pengalaman kenabian Muhammad, disebutkan dalam al-Quran terjadi pada malam hari (17:1). Tentu saja, pengalaman kenabian tersebut terjadi juga di waktu yang lain, tetapi frekuensinya mungkin tidak sebanyak di malam hari. Berbeda dengan pandangan ini, Jalala al-Din al-Suyuti (w. 1505) menduga bahwa bagian terbesar al-Quran diwahyukan pada siang hari.
Serangkaian gejala fisik yang menyertai pengalaman kenabian Muhammad, sebagaimana disaksikan sahabat-sahabatnya, juga bayak diungkapkan dalam hadits-hadits. Gejala-gejala tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) keringat terlihat terkucur di dahi Nabi ketika menerima wahyu, bahkan pada hari yang bertemperatur dingin. (2) nabi menutup kepalanya, kulitnya bersemu merah, menfengkur seperti tertidur, atau bergemeletuk seperti unta muda, dan setelah beberapa saat ia pulih dari keadaannya tersebut. (3) wajah Nabi mamucat kelabu. (4) Nabi berada dalam keadaan tidak sadar diri (subah). (5) paha Zayd bin Tsabit tertimpa paha Nabi ketika datangnya wahyu terasa dibebani beban yang berat sehingga seakan-akan hendak patah, demikian unta yang ditumpangi Nabi ketika datangnya wahyu terlihat tidak dapat menahan bebannya, sehingga Nabi harus turun dari punggungnya; dan lain-lain.
Gejala-gejala fisik yang dialami Nabi telah menimbulkan spekulasi dikalangan sarjana Barat. Pada abad pertengahan, gejala-gejala fisik tersebut biasanya dikaitkan dengan penyakit epilepsi. Teori penyakit ayan ini belakangan diperluas oleh para sarjana Barat modern. Gusatv Weil berupaya menimbulkan secara ilmiah bahwa Nabi mengindap penyakit epilepsi. Teori ini kemudian dielaborasi oleh Aloys Sprenger dengan menambahkan bahwa Nabi juga menderita histeria. Namun, dalam karya monumentalnya tentang sejarah al-Quran, Geschichte des Qurans, Theodor Noeldeke secara keras menolak teori bahwa Muhammad menderita epilepsi. Ia bahkan menegaskan realitas inspirasi kenabian Muhammad. Sekalipun demikian, Noeldeke masih mengemukakan anggapan bahwa Nabi mengalami gangguan emosi yang tidak terkendali, yang membuatnya yakin bahwa ia berada di bawah pengaruh Ilahi.
Dewasa ini pendapat-pendapat negatif tentang gejala-gejala fisik yang menyertai pengalaman Nabi telah benyak ditinggalkan karena tidak selaras dengan kebenaran dan data historis serta informasi yang diberikan al-Quran sendiri.

PENGUMPULAN PERTAMA

Gagasan paling populer tentang “pengumpulan” al-Quran menegaskan bahwa aktifitas semacam itu pertama kali dilakukan pada masa kekhalifaan Abu Bakar berdasarkan otoritasnya. Sekalipun dipandang kebanyakan Muslim sebagai kebenaran sejarah, peneltian atas gagasan tersebut akan mengungkapakannya sebagai rekayasa belakangan.
Penelusuran terhadap berbagai riwayat pengumpulan al-Quaran memperlihatkan tidak ada kesepekatan dalam tradisi Islam tentang figur pertama yang mengkodifikasikannya. Di dalam riwayat-riwayat terisolasi, muncul nama-nama lain – seperti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, atau Salim ibn Ma’qil – sebagai pengumpul pertama al-Quran dalam bentuk tertulis.
Versi-versi alternative ini tentunya bertabrakan dengan gagasan pengumpulan Abu Bakar. Karena itu, versi-versi tersebut biasanya disebut sebagai pengumpulan dalam bentuk hafalan, selain sebagainya dinyatakan ahistoris. Hal ini dilakukan untuk membela keabsahan versi Abu Bakar.
Sehubungan dengan kodifikasi Abu Bakar, ada dua motif yang selalu diekankan dalam luar belakang diambilnya langkah tersebut. Yang pertama adalah Nabi Muhammad belum mengumpulkan al-Quran kedalam satu mushaf tunggal hingga wafatnya. Motif kedua yang berhubungan erat dengan motif pertama, adalah wafatnya sejumlah besar penghafal al-Quran (qurra’) dalam pertempuran Yumamah telah menimbulkan kecemasan Umar Ibnu Khattab bahwa banyak bagian al-Quran yang akan hilang.
Tentang motif pertama, bahwa Nabi memang tidak meninggalkan kodeks al-Quran yang lengkap. Kalau tidak demikian, tentunya tidak akan timbul upaya pengumpulan setelah wafatnya. Namun, seperti diketahui dari berbagai sumber, terdapat upaya yang seerius dan sadar di kalangan sahabat untuk memelihara wahyu-wahyu dalam bentuk tertulis, seraya berpatokan kepada Nabi tentang komposisi kandungannya. Jadi, wafatnya sejumlah panghafal al-Quran bukanlah alasan utama unutk mencemaskan hilangnya bagian-bagian al-Quran.
Rincian motif kedua juga telah dikritik oleh sejumlah pengamat. Dalam berbagai laporan disebutkan ada 70 penghafal al-Quran yang telah gugur dipertempuran Yamamah – riwayat lain bahkan mencatat 500 orang. Tetapi, ketika nama-nama penghafal al-Quran ditelusuri dalam daftar orang yang tewas – seluruhnya sekitar 1200 orang, ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin mengahafal banyaka bagian al-Quran.
L. Caetani, misalnya, menunjukkan bahwa yang tewas ketika itu hampir seluruhnya pengikut baru Islam. Sementara F. Scwhally hanya menemukan dua orang yang bisa dikatakan memiliki pengetahuan al-Quran yang meyakinkan: Abdul Allah Ibnu Hafsh Ibnu Ghanim dan Salim ibnu Ma’qil. Jadi, pengaitan motif pengumpulan al-Quran dimasa Abu Bakar dengan gugurnya sejumlah besar qurra’ dalam pertempuran Yamamah jelas merupakan fiksi.
Labih jauh, laporan pertama Zayd ibn Tsabit dimasa Abu Bakar memperlihatkan bahwa ia hampir secara eksklusif bergantung kepada sumber-sumber tertulis – perkamen, batu tulis, pelapah kurma, tulang-belulang, dan lainnya. Eksistensi sumber-sumber semacam ini, sebagian telah disinggung, memang tidak meragukan. Karena itu, kesimpulan bahwa tewasnya pennghafal al-Quran tidak mungkin menimbulkan kecemasan atau menjadi penyebab utama hilangnya bagian-bagian al-Quran jelas cukup beralasan.
Berbagai kesimpangsiuran dan kelemahan seperti ditunjukkan diatas, memperlihatkan bahwa teori dominant tentang pengumpulan pertama al-Quran pada masa Abu Bakar adalah fiksi semata. Kesimpulan semacam ini juga dinyatakan marja-e-taqlid Syi’ah abad ke 20, Abu al-Qasim al-Musawi al-Khu’i, berdasarkan pijakan yang relatif lama – yakni kontradiksi dalam berbagai versi pengumpulan al-Quran.
Karakter resmi kodifikasi Abu Bakar memang berseberangan dengan kenyataan sejarah. Mushaf ini, pada faktanya, tidak pernah memperoleh pengaruh luas di kalangan kaum Muslimin sampai munculnya kodifikasi Utsmani. Sebaliknya, kumpulan al-Quran yang diupayakan oleh sahabat Nabi – seperti Ubay ibnu Ka’bah, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan Aswad – justru menjadi panutan generasi Muslim yang awal dan mengatasi popularitas mushaf resmi Abu Bakar, jika mushaf ini betu-betul eksis.

Kodifikasi Utsman
Mushaf para sahabat Nabi yang berpengaruh itu masing-masing mempunyai karakteristik yang membedakan antara satu dengan lainnya – mulai dari sekuensi dan jumlah surat sampai perbedaan teks dan bacaan. Belakangan, keragaman ini mulai mengganggu kesatuan polotis ummat islam, sehingga khalifah Utsman bin Affan mengambil kebijakan resmi unifikasi teks dan bacaan al-Quran.
Unifikasi Utsman dikabarkan mendapat tantangan sejumlah sahabat Nabi, misalnya Ibnu Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari. Tetapi, mekanisme ijma’ dan kuatnya dukungan politik, akhirnya berhasil memeras keluar pandangan-pandangan berseberangan dan melegitimasi mushaf Utsmani sebagai textus receptus.
Butir penting dalam laporan kodifikasi Utsman menyebutkan bahwa ia memerintahkan komisi yang dipimpin Zayd Ibnu Tsabit untuk menyalin al-Quran dalam dialeg suku Quraisy, karena kitab itu diwahyukan dalam bahasa mereka. Namun, suatu riwayat populer mengungkapkan bahwa ketika trjadi perselisihan di antara anggota komisi tentang penulisan satu kata dalam 2:248 (cf. 20:39), dimana Zayd berpendapat bahwa kata tersebutn musti ditulis tabuhm (dengan h) sementara anggota komisi lain beranggapan musti ditulis tabut (dengan t), Utsman menjelaskan bahwa bwntuk tulisan terakhir adalah dialeg Quraisy asli.
Pandangan diatas jelas keliru, karena kata tabut (peti penyimpanan taurat) berasal dari bahasa Habsyi, bukan kata Arab asli. Demikian pula, gagasan yang berkembang dikalangan mayoritas serjana muslim lainnya bahwa teks Utsmani mencakup “tujuh huruf,” dalam artian tujuh dialeg, terlihat bertabrakan dengan perintah penyalinan al-Quran dalam dialeg Qraisy.
Penegasan penyalinan al-Quran dalam dialek Quraisy itu hanya sebuah fiksi al-Quran sendiri (16:103; 26:195 cf 12:2; 43:3; 20:113; 42:7; 41:2-3,44; 39:27-28; 13:37; 26:192-195; 46:12; 19:97; 14:4) menyatakan bahwa ia diwahyukan dalam “tulisan Arab jelas.” Penulisan terakhir tentang bahasa al-Quran menunjukkan bahwa ia kurang lebih identik dengan bahasa yang digunakan dalam syair-syair pra-Islam.
Bahasa ini merupakan hochsproce -- atau lingua pranca, lazim disebut ‘arabiyah -- yang difahami oleh seluruh suku dijazirah Arab, serta merupakan satu kesatuan bahasa karena kesuciannya yang besar dalam leksikal dan gramatik. Lebih jauh, lingua pranca itu bukan dialek suku atau suku-suku tertentu.
Sebagian serjana Muslim cenderung berasumsi bahwa karena Nabi dan pengikut awalnya berasal dari suku Quraisy, mereka tentunya telah membaca al-Quran dalam dialek suku tersebut. Sarjana-sarjana ini selanjutnya beranggapan bahwa dialek suku Quraisy identik dengan bahasa syair. Tetapi, sejumlah informasi tentang dialek suku Arab pada masa Nabi yang berhasil diselamatkan terlihat menyangkali keyakinan tersebut.
Beberapa pemikir Muslim modern juga terperangkap ketika menerima fiksi dialek Quraisy sebagai kebenaran historis serta menjadikannya sebagai basis teori pengaruh dan dominasi Quraisy atas non-Quraisy. Namun kenyataan berangkali sebaiknya pengaruh serta dominasi Quraisy ketika itu mulai surut, dan utnuk mengembalikannya, dipintallah fiksi dialek Quraisy kedalam jalinan pengumpulan Utsman. Sejumlah hadis tentang supernoritas Qiraisy, seperti diungkapkan Fazlur Rahman, memiliki latar febrikasi senada.
Gagasan yang berkembang luas dalam tradisi Islam mengaitkan Unifikasi Utsman dengan kodifikasi Abu Bakar dan secara eksplisit mengungkapkan bahwa basis teks Utsmani adalah teks Abu Bakar, yang ketika itu berada ditangan Hafsah puteri Umar dan janda Nabi. Tetapi, upaya pengaitan itu lebih bersifat ilusif, bahkan historis, serta cenderung mengecilkan peran Utsman – penguasa yang dipandang nepotis dan tidak cakap – yang amat memutuskan dalam hal ini.
Dari laporan lain disebutkan bahwa mushaf Hafsah berulang kali diminta oleh Marwan – ketika menjabat gubernur Madinah – untuk dimusnahkan, yang baru berhasil dilakukan setelah waftnya Hafsah. Alasan utama pemusnahan ini adalah kekuatiran tentang bacaa-bacaan “aneh” didalamnya yang potensial menyebabkan perselisihan dikalangan kaum Muslimin.
Laporan diatas memastikan, bahwa naskah Hafsah tidak memadai sebagai basis kodifikasi Utsman. Namun, benang merah yang hendak ditarik disini adalah keterkaitan mushaf Hafsah dengan pengumpulan dimsa Abu Bakar. Dengan demikian, nama-nama khalifah sebelum Utsman – Abu Bakar sebagai otoritas yang memerontahkan pengumpulan dan Umar sebagai penggagas intelektualnya – memiliki saham dalam proses pengumpulan mushaf Utsmani.
Seperti ditagaskan diatas, kisah pengumpulan Abu Bakar hanyalah rekayasa belakangan yang dilakukan untuk mengecilkan peran Utsman sebagai pelaku aktual kodifikasi al-Quran. Sementara pengatan Hafsah dalam hal ini juga musti dipandang sebagai rekayasa belakangan dengan tujuan senada.


STABILITASI TEKS AL-QURAN

Upaya Utsman melakukan unifikasi atau standarisasi teks dan bacaan al-Quran lewat pengumpilannya belum mencapai hasil yang dihajatkan. Sejak awal penyebarannya, dilaporkan bahwa mushaf-mushaf Utsmani memiliki sejumlah variasi antara satu dengan yang lainnya, dan bahkan terdapat sejumlah kesalahan penulisan yang dilakukan secara tidak sengaja. Jadi, ketika memeriksa salah satu eksemplar al-Quran yang telah ditulis, Utsman menemukan beberapa kekeliruan yang menurutnya, tidak perlu diubah, karena orang-orang Arab – dengan lisan mereka – bisa membetulkannya. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa ‘Aisyah juga menemukan sejumlah kekeliruan penulisan, serta menegaskan sebagai kekeliruan para penulisnya. Eksistensi laporan-laporan semacam ini tentunya tidak menyenangkan bagi kaum Muslimin. Sejumlah sarjana Muslim secara sederhana menolak laporan-laporan itu, kemudian sebagian meneliti keabsahanna dengan menerapkan kritik isnad, yang dalam sebagian besar kasus – kecuali riwayat dari ‘Aisyah yang menurut Al-Suyuti, isnadnya memenuhi kriteria Bukhari Muslim – berhasil dinyatakan ahistoris.
Labih jauh, scriptio defectiva yang digunakan untuk menyalin al-Quran ketika itu masih membuka peluang bagi pembaca teks kitab suci secara beragam. Selain Non-eksistensi tanda-tanda vokal, sejumlah konsonan berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama. Kekeliruan pembacaan teks al-Quran (tashhif) yang disalin dalam aksara semacam itu tentu saja bisa diminimalisasi atau dihindari jika seseorang mempunyai tradisi hafalan yang kuat, atau paling tidak mempunyai tingkat keakraban yang tinggi terhadap teks kitab tersebut. Kalau tidak demikian, makasangat mungkin baginya terjebak dalam kekeliruan pembacaan. Bahkan, terhadap kesan yang kuat bahwa scriptio defectiva juga turut berperan dalam memunculkan variae lectiones.
Asumsi tentang keragaman bacaan yang disebabkan oleh scriptio defectiva tentunya tidak dibenarkan oleh pendangan dunia tradisional. Bagi ortodoksi Islam, bacaan-bacaa tersebut – khususnya dalam kategori mutawatir dan masyhur – merupakan bacaan-bacaan otentik al-Quran yang bersumber dari Nabi. Basis untuk manyatakan ragam bacaan tersebut sebagai alternatif-alternatif bacaan waktu orisinal biasanya dipijakkan pada besar hadis yang kurang lebih mengemukakan bahwa al-Quran diwahyukan dalam tujuh huruf (‘ala sab’a huruf). Tetapi, sejumlah otoritas Syi’ah menolak keabsahan hadis-hadis ini. Bagi mereka al-Qurang diwahyukan hanya dalam satu harf dan berbagai perbedaan dalam bacaan terseut disebabkan kaarena perawinya. Penolakan ini, pada kenyataannya, membawa implikasi yang jauh menjangkau. Jika keragaman bacaan disebabkan perawinya, maka yang menjadi masalah bacaan mana yang akan menjadi bacaan orisinal dari berbagai bacaan yang terdapat dalam tradisi Islam. Jawaban uang diajukan Syi’ah adalah untuk masalah ini al-Quran yang sejati itu akan dibawa kembali oleh Imam Mahdi yang dinantikan kehadirannya.
Namun, menurut berbagai laporan, kekeliruan bacaan al-Quran yang mendorong dilakukannya penyempurnaan terhadap rasm (“ortografi”) al-Quran perkasa otoritas politik, seperti Ziyad bin Samiyah dan Al-Hajjaj ibn Yusuf. Langakah aktual penyempurnaannya – yakni penciptaan tanda-tanda vokal, tanda-tanda pembeda konsonan yang bersimbol sama, serta sejumlah tanda ortografi lainnya seperti hamzah, sukun, tanwin, tasydid, maddah, dll. – dikabarkan telah dilakukan sejumlah pakar bahasa, seperti Abu Al-Aswad al-Du’ali, Nashr ibn Ashim, Yahya ibn Ya’mur, dan Al-Khalil ibn Ahmad.
Tanda vokal pada mulanya diperkenalkan Al-Du’ali berupa titik-titik diakritis, kemudian diubah kedalam bentuk huruf-huruf vokal: alif untuk fathah (a), waw untuk dhammah (u), dan ya untuk kasrah (i) – menururt ssumber-sumber Islam dilakukan oleh Al-Khalil ibn Ahmad. Pada tahapan selanjutnya, tanda-tanda vokal itu kemudian disempurnakan dan mencapai bentuk yang dikenal dewasa ini. Sementara tanda-tanda pembeda konsonan yang bersimbol sama dikabarkan diintroduksi dengan titik-titik diakritis oleh murid-murid Al-Du’ali, yakni Nashr ibn Ashim dan Yahya ibn Ya’mur. Tanda-tanda baca ini kemudian disempurnakann sehingga mencapai bentuk yang ada saat ini.
Versi tradisional tentang penyempurnaan aksara Arab, selain berkotradiksi antara satu dengan yang lainya, juga terlihat bertentangan dengan teman-teman paleografis atau manuskrip-manuskip al-Quran yang awal. Dari berbagai temuan itu, bahwa titik-titik pembeda konsonan sebagiannya telah dikenal dan telah diintroduksi pada masa Islam, mengikuti model penulisan Suryani. Dapat dipatikan bahwa titik-titik diakritis tersebut telah digunakan pada abad pertama Islam, sekalipun tidak tersebar secara luas sebagaimana yang terjadi pada masa belakangan. Tidak meluasnya titik-titik diakritis ini dapat dibutikan dengan manuskrip-manuskrip dan fragmen-fragmen al-Quran awal yang bersih dari titik-titik tersebut. Sementara tanda-tanda vokal berupa titik-titik diakritis – kemungkinan juga diadopsi dari aksara Suryani – juga tampaknya sangat tua, tetapi masa pengintroduksiannya kedalam bahasa Arab tidak dapat ditetapkan secara pasti. Yang jelas, pada abad ke 2H penggunaannya dalam mushaf al-Quran belum mendapat justifikasi. Malik ibn Anas, misalnya, menuntut bahwa mushaf al-Quran harus dibersihkan dari titik-titik vokal. Dengan demikian, dapat disimpulkan secara pasti bahwa scriptio pleno tidak muncul dalam seketika, tetapi secara bertahap melalui serangkaian perubahan yang bersifat eksperimental.
Bentuk tulisan al-Quran, setelah diintroduksinya scriptio plena, bisa dikatakan sebagai aksara “gado-gado”, lantaran tarik menarik dan kompromi antara kekuatan-kekuatan yang menghendaki penyempurnaan ortografi utsmani dan yang dipertahankan bentuk orisinalnya. Tarik-menarik antara kedua kutub yang berseberangan ini barangkali telah menghasilkan kompromi dalam bentuk teks al-Quran yang ada ditangan kita dewasa ini, di mana sebagian sebagian kecil karakteristik ortografi utsmani – dengan sejumlah penyesuaian mengikuti scriptio plena – tetap dipertahankan, seperti penulisan kata-kata shalat, al-rahman, kitab, dll. Sekalipun demikian, mesti dicatat bahwa dalam sejumlah manuskrip al-Quran dari masa awal penyalinan kata-kata itu juga dilakukan mengikuti rasm imla’i (scriptio plena).
Kompromi diatas juga menyebabkan eksisnya sebgai inkonsistensi dalam teks al-Quran yang ada ditangan kita dewasa ini. Inkonsistensi-inkonsistensi ini, pada faktanya, memperlihatkan upaya yang untuk mengakomendasi sebagai perkambagan tradisi oral dan tulisan al-Quran yang eksis dikalangan kaum Muslimin katika itu. Jadi aksara teks yang sekarang, bisa ditemukan penggunaan ta’ mabsuthahí sebagai pengganti ta’ marbuthah, misalnya untuk penyalinan kata rahman dalam 1:218; 7:56; 11:73; 19:2; 30:50; 43:32 (dua kali), atau kata ni’mah dalam 2:231; 3:103; 5:11; 14:28,34; 16:72,83,114; 31:31; 35:3; 52:29, sementara dibagian al-Quran lainnya kata-kata tersebut disalin dengan model penulisan yang lazim – yakni menggunakan ta’ amrbuthah. Penyalinan dengan ta’ marbuthah, dalam kasus-kasus tertentu, juga telah menimbulkan perbedaaan bacaan. Jadi, kata kalimah dalam 6:115 dan 10:96, dibaca para qurra’ Damaskus dalam bentuk jamak (kalimat). Sementara qurra’ kota lainnya, membaca dalam bentuk tunggal (kalimah). Demikian pula, kata ayah dalam 29:49 dan kata tsamarah dalam 41:47, dibaca Hafsh ‘an Ashim dalam bentuk jamak, tetapi kiraah lain membacanya dalam bentuk tunggal.
Sementara penulisan kata shalah, zakat, dengan menggunakan media waw, sebagai pengganti laif untuk melambangkan vokal panjang –a, tetap dipertahankan dalam teks al-Quran yang digunakan dewasa ini. Tetapi, manuskrip mushaf utsmani beraksara kufi yang awal, juga ditemukan penyalinan vokal panjang a dalam kata-kata tersebut dengan menggunakan alif. Bahkan dalam manuskrip-manuskrip ini, penggantiannya ya dengan alif juga terjadi, misalnya untuk kata hatta dalam 15:99, kata ‘ala dalam 8:49, kata ‘agna dalam 26:207, dan lainnya.
Inkonsistensi yang sama juga terlihat dalam penulisan sejumlah partikel. Jadi, penulisan mimma yang digabung dihampir keseluruhan teks al-Quran, ditiga tempat ditulis terpisah (min ma). Penulisan ‘amma umumnya digabung, tetapi dalam 7:166 dipisah (‘an ma). Penyalinan alla biasanya digabung, namun diseuluh tempat ditulis secara terpisah (an la). Ungkapan in lam pada umumnya dipisah penulisannya, kecuali dalam 11:14 digabung (fa ‘illam). Penulis imma lazimnya digabung, kecuali dalam 13:40 dipisah (wa in ma). Partikel innma biasanya ditulis menyatu, kecuali dalam 6:134 disalin terpisah (inna ma). Ungkapan likay la dua kali (16:70; 33:37) ditulis terpisah – juga kay la dalam 59:7 – dan empat kali (3:153; 22:5; 33:50; 57:23) disatukan (likayla), dan lain-lain.
Masih banyak sekali inkonsistensi penulisan lain dalam teks al-Quran yang ada di tangan kita dewasa ini – terutama dalam bentuk-bentuk penambahan (ziyadah) atau pengurangan (hadzf) – yang biasanya dibahas di dalam kitab-kitab ulum Quran, khususnya dalam topik rasm al-Quran. Berbagai konsistensi tersebut biasanya ditenggelamkan dengan menekankan bahwa karakteristik ortografi semacam itu merupakan bagian dari ‘ijaz al-Quran. Labil al-Said, ketika membela keanehan ortografi al-Quran ini, misalnya mengemukakan kehususann tulisan utsmani masuk kedalam kategori misteri Ilahi, sama halnya dengan huruf-huruf potong pada permulaan sejumlah surat al-Quran, yang pemahaman atasnya tidak diberikan kepada manusia, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus lewat inspirasi Ilahi. Tetapi, berbagai eksperimen dalam menyempurnakan tulisan al-Quran yang ditemukan dalam manuskrip-manuskrip utsmani tampaknya tidak menjustifikasi keanehan rasm utsmani sebagai bagian dari ‘ijaz al-Quran.
Sejak lama telah muncul dikalangan sarjana Muslim upaya-upaya untuk membenahi inkonsistensi itu dan, dengan demikian, melakukan desakalarisasi rasm al-Quran. Abu Bakar al-Baqillani, misalnya, menegaskan bahwa al-Quran maupun hadis tidak mewajibkan cara tertentu untuk menuliskan muashaf. Karena itu, penulisan al-Quran bebas ditulis dengan bentuk tulisan apapun. Demikian pula, tidak terdapat konsensus ummat (ijma’) yang mewajibkannya. Bahkan, menurut al-Baqillani, Suunah membolehkan penulisan al-Quran dengan cara yang memudahkan pembacaannya. Nabi memrintahkan para sahabat untuk menuliskan al-Quran, tetapi tidak mengharuskan atau melarang mereka menuliskannya dalam cara tertentu. Itulah sebabnya mushaf para sahabat – yakni mushaf-mushaf pra-utsmani – memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya: ada yang menuliskannya menurut pengucapan lafal, ada yang menambah atau menguranginya. Al-Baqillani selanjutnya menegaskan kebolehan penulisan mushaf dengan berbagai cara, baik dengan tulisan atau dengan ejaan primitif maupun dengan tulisan dan ejaan yang baru.
Pandangan al-Baqillani diatas, memiliki gaung yang cukup luas, pada abad ke-7H, Izz al-Din Abd al-Salam melangkah lebih jauh dengan melarang menggunakan rasm utsmani, bahkan dikalangan sarjana, denagan alasan penggunaan tulisan tersebut akan membuka peluang terjadinya perubahan dan penyimpangan dikalangan kaum. Beberapa otoritas muslim lainnya menegaskan bahwa penggunaan tulisan utsmani hanya wajib pada masa awal Islam, ketika pengetahuan langsung tentang al-Quran masih segar dan kuat, tetapi penggunaannya pada masa setelahnya telah menebarkan kebingungan.
Sejumlah pemikir Islam modern, misalnya Ahmad Hasan al-Jayyat, menekankan kembali argumen-argumen di atas dalam rangka menjadikan sistem penulisan al-Quran akrab dengan masyarakat Muslim. Sementara, beberapa sarjana Muslim lainnya bahkan mengklaim bahwa rasm utsmani telah memutar balikkan dan mendistorsi makna kata-kata hingga ketaraf mendekati kekufuran, serta bahwa rasm utsmani tersebut mengandung kontradiksi dan ketidaksesuaian yang tidak dapat dijustifikasikan dan ataupun dijelaskan. Abd al-Aziz Fahmi, mantan anggota Akademi Bahasa Arab (Muslim al-Lughag al-Arabiyah), melangkah lebih jauh dengan mengajukan proposal penggantian aksara Arab dengan aksara Latin.


UNIFIKASI BACAAN AL-QURAN

Untuk mengetahui unifikasi teks bacaan al-Quran dapat anda lihat dengan membuka manuskrip al-Quran, dengan cara klik kiri sambil menekan ctrl.













KONTEKS KESEJARAHAN AL-QURAN

KRONOLOGI PEWAHYUAN AL-QURAN

Unit-unit wahyu al-Quran – yang kemudian membentuk kitab suci kaum muslimin – disampaikan secara berangsur-angsur kepadaNabi Muhammad selama kurang lebih 23 tahun – mulai sekitar tahun 610 hingga 632 – selaras dengan perkembangan misi kenabiannya. Namun, ketika wahyu-wahyu tersebut dikodifikasikan, pentahapan pewahyuan ini tidak tercermin didalamnya.
Banyak surat al-Quran yang diwahyukan setelah Nabi hijrah ke Madinah – seperti surat 2,3, dan 4 – ditampatkan pada bagian awal mushaf yang ada – yakni mushaf Utsmani. Sementara surat-surat yang berasal dari periode awal kenabian Muhammad – misalnya surat 97,74 dan 68, - ditempatkan dibagian akhir mushaf. Demikian pula, surat-surat al-Quran – terutama surat-surat yang panjang – menghimpun unit-unit wahyu dari berbagai periode pewahyuan, yang diturunkan dengan berbagai kejadian, situasi dan kebutuhan. Bagian-bagian al-Quran yang menyerukan kaum peliteis mengimani keEsaan Tuhan dan mengeritik keyakinan serta praktek pelbegu, lazimnya diwahyukan pada masa pra-hijrah. Sementara bagian-bagian al-Quran yang berisikan aturan peperangan dan kemasyarakatan, jelas diwahyukan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pemapanan masyarakat muslin Madinah.
Sekalipun mushaf al-Quran tidak tersusun berdasarkan urutan pewahyuan, sejak abad-abad pertama Islam para sarjana muslim telah menyadari pentingnya pengetahuan tentang penanggalan atau aransemen kronologis bagian-bagian al-Quran dalam rangka memahami pesan kitab suci tersebut. Dari kesadaran ini, muncul upaya untuk menghimpun berbagai riwayat historis tntangnya dan mnyusun rangkaian kronologi pewahyuan al-Quran.

a- Beberapa Pijakan Penaggalan al-Quran

Ada sejumlah riwayat dalam kitab-kitab sejarah dan tafsir yang pada umumnya dijadikan pijkan penanggalan bagian-bagian al-Quran oleh para sarjana muslim. Riwayat-riwayat ini biasanya menggunakan bahwa bagian tertentu al-Quran diwahyukan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Jadi, surat 8, misalnya, dihubungkan dengan perang Badar, surat 33 dengan perang Khandaq, dan surat 48 dengan perjanjian Hudaibiyah. Riwayat-riwayat ini memang merupakan data historis yang amat embantu penanggalan al-Quran, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan umumnya bertalian dengan wahyu-wahyu periode Madinah.
Sementara riwayat-riwayat yang bertalian dengan periode Makkkah, selain jumlahnya tidak begitu banyak, secara historis data tersebut juga sangat meragukan, dan umumnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang tidak begitu penting serta tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya. Contohnya adalah 80:1-10. Bagian al-Quran ini dikatakan diwahyukan ketika seorang buta yang bernama Abd Allah ibn Umm Maktum menemui Nabi yang tengah berbincang-bincang dengan beberapa pemuka suku Quraisy yang diahrap dapat dibujuknya.
Dalam tridisi kesarjanaan Islam, riwayat-riwayat semacam ini dikatakan membahas “sebab-sebab pewahyuan” (asbabu an-nuzul). Suatu karya standar yang berupaya menghimpunnya disusun al-Whidi (w. 1075) dengan judul senada. Semenatra karya yang bersifat suplementer terhadapnya disusun Jalaluddin as-Syuyuthi, Lubab al-Nuqul.
Sayangnya, bahan-bahan tradisional ini memiliki cacat mendasar. Pertama, bahan-bahan ini tidak lengkap dan hanya menentukan sebab-sebab pewahyuan sejumlah bagian al-Quran yang relatif sedikit. Labih jauh, bahan yang sidikit itu sangat rentang terhadap kritik, bahkan pada tingkatan kritik sanad. Demikian juga, kebanyakan sebab pewahyuan yang dikemukakan hanya merupakan peristiwa-peristiwa tidak penting dan tidak diketahui kapan terjadinya, seperti kisah Umm Maktum diatas. Terakhir, terdapat banyak inkonsistensi bahan-bahan tersebut. Biasanya dikatakan bahwa bagian al-Quran yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi adalah permulaan surat al-Alaq (96:1-5). Tetapi, riwayat lain menyebutkan bahwa wahyu pertama adalah bagian awal surat al-Mudatstsir (74:1-5) atau surat al-fatihah (1:1-7). Untuk mengharmoniskan riwayat-riwayat ini, muncul kisah yang mengungkapkan bahwa permulaan surat 74 merupakan wahyu pertama setelah masa terputusnya wahyu (faratu-l-wahy) dan surat 1 merupakan surat pertama yang disampaikan secara utuh.
Demikian pula, terdapat beberapa versi riwayat tentang wahyu terakhir. Salah satunya mengungkapkan bahwa wahyu terakhir yang diterima Nabi adalah 2:281. Sementara versi lain menyatakan wahyu terakhir adalah 2:282 atau 2:278. Ada juga yang menegaskan bahwa 5:3 merupakan wahyu terakhir.
Disamping bahan-bahan tradisional diatas, al-Quran juga memuat sejumlah data yang dapat membantu upaya penanggalannya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa rujukan jenis ini yang berasal dari Makkah relatif sangat seidikit dan tidak banyak membantu penanggalan. Contohnya adalah 30:2-5, yang menyebutkan kekalahan Baizantium dari Persia. Bagian ini barangkali merujuk pada peristiwa jatuhnya kota Yerussalem ke tangan Persia pada 614. Demikian pula, surat 105 berkaitan dengan suatu ekspedisi militer terhadap kota Makkah yang dilakukan raja Yaman, Abrahah, pada pertengahan abad ke 6.
Berbeda dari masa Makkah, rujukan-rujukan historis yang berasal dari masa Madinah bisa diberi penanggalan lebih akurat berdasarkan sumber-sumber lain. Contohnya adalah perang Badar (624) disebut dalam 3:123, Perang Hunain (630) disebut dalam 9:25, perubahan kiblat dari Yerussalem ke Makkah dipenghujung 623 atau awal 624 dalam 2:142-150, penetapan Ibadah Haji dan ritus-ritusnya disekitar 624 dalam 2:258, 159; 5:95 ff; dan lain-lain. Disamping itu, anak-anak Nabi, Zayd ibn Haritsah (w.629), disebut namanya dalam 33:37 sehubungan dengan suatu peristiwa yang terjadi pada 627. Demikian pula, sebagai peristiwa lainnya disinggung, meskipun tidak didefinikasi, seperti Perang Uhud (625) dalam 33:9-27; ekspedisi ke Khaybar (628) dalam 48:15-19; ekspedisi ke Tabuk (630) dalam 9:29-35; dan lainnya. Tetapi, sebagaimana dengan periode Makkah, rujukan-rujukan yan berasal dari periode Madinah jumlahnya relatif sedikit.
Di samping kedua pijakan di atas, dalam khazanah Islam juga terdapat sejumlah riwayat dari masa sangat awal tenatang susunan kronologis surat-surat al-Quran. Tetapi, kerakter utama riwayat-riwayat tersebut – yang hanya memperhatikan bagian awal surat-surat al-Quran untuk aranseman kronologisnya, tanpa menyinggung ayat-ayat berikutnya dalam suatu riwayat yang diintegrasikan kedalam surat tersebut baik dri masa pewahyuan yang lebih awal atau belakangan – mengandung kelemahan sangat mendasar. Riwayat-riwayat ini juga bertentangan secara diametral dengan sumber-sumber lainnya – seperti riwayat asbabu an-nuzul – yang menampakkan bagian-bagian pendek al-Quran seabagai unit orisinal wahyu.
Berdasarkan berbagai pijakan itulah, di samping penilitian terhadap gaya bahasa al-Quran, para sarjana muslim membangun sistem penanggalan kitab suci Islam. Sistem penanggalan kesarjanaan muslim pada umumnya membagi pewahyuam al-Quran kedalam dua periode utama: Makkiyah dan Madaniyyah, dengan menjadikan peristiwa hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah (622) sebagai titik peralihan antara kedua periode terseut. Wahyu-wahyu yang diterima Nabi sebelum hijrah dikategorikan sebagai Makkiyah, dan yang diterima setelah hijrah sebagai Madaniyyah.

b- Kronologi al-Quran Kesarjanaan Islam
Salah satu riwayat aransemen kronologis al-Quran yang paling berpengaruh di kalangan kaum muslimin adalah yang bersumber dari Ibn Abbas. Dalam riwayat ini, 85 surat al-Quran dikategorikan sebagai Makkiyah dan 28 surat lainnya sebagai Madaniyah. Surat 1 tidak terdapat di dalam aransemen tersebut.
Susunan kronologis surat-surat Makkiyah menurut riwayat Ibn Abbas adalah sebagai berikut: 96; 68;73; 74; 111; 81; 87; 92; 89; 93; 94; 103; 100; 108; 102; 107; 109; 105; 113; 114; 112; 53; 80; 97; 91; 85; 95; 106; 101; 75; 104; 77; 50; 90; 86; 54; 38; 7; 72; 36; 25; 35; 19; 20; 56; 27; 28; 17; 10; 11; 12; 15; 6; 37; 31; 34; 39; 40; 41; 42; 43; 44; 45; 46; 51; 88; 18;16; 71; 14; 21; 23; 32; 52; 67; 69; 70; 78; 79; 82; 84; 30; 29; dan 83. Sementara aransemen kronologi surat-surat Madaniyyah adalah: 2; 8; 3; 33; 60; 4; 99; 57; 47; 13; 55; 76; 65; 98; 59; 110; 24; 22; 63; 58; 49; 66; 62; 64; 61; 48; 5; dan 9.
Belakangan, riwayat susunan kronologi surat-surat al-Quran yang dinisbatkan kepada Ibn Abbas itu diterima secara luas dan diberi sanksi ortodoksi. Dengan sedikit perubahan, riwayat susunan kronologis tersebut diadopsi para penyunting al-Quran edisi standar Mesir (1923), dengan menetapkan 86 surat berasal dari masasebelum hijrah (Makkiyah) – yakni dengan memasukkan surat 1 ke dalamnya – dan sisanya (28 surat) diklasifikasikan kedalam surat-surat Madaniyyah. Dalam aransemen kronologis ini, sejumlah besar bahan-bahan tradisional – seperti sirah, asbab al-nuzul, hadits dan lainnya – telah dieksploitasi untuk menetapkan penanggalan sejumlah besar ayat dalam surat-surat tertentu al-Quran.
Susunan kronologis surat-surat al-Quran periode Makkah dalam edisi standar Mesir adalah sebagai berikut: 96; 68 (17-33,48-50 Md); 73 (10-11,20 Md); 74; 1; 111; 81; 87; 92; 89; 93; 94; 103; 100; 108; 102; 107; 109; 105; 113; 114; 112; 53; 80; 97; 91; 85; 95; 106; 101; 75; 104; 77 (48 Md); 50 (38 Md); 90; 86; 54; (54-56 Md); 38; 7 (163-170 Md); 72; 36 (45 Md); 25 (68-70 Md); 35; 19 (58-71 Md); 20 (130-131 Md); 56 (71-72 Md); 26 (197,224-227 Md); 27; 28 (52-55 waktu hijrah); 17 (26, 32-33, 57, 73-80 Md); 10 (40, 94-96 Md); 11 (12,17,114 Md); 12 (1-3, 7 Md); 15; 6 (20, 23, 91, 114, 141, 151, 153 Md); 37; 31 (27-29 Md); 34 (6 Md); 39 (52-54 Md); 40 (56-57 Md); 41; 42 (23-25, 27 Md); 43 (45 Md); 44; 45 (41 Md); 46 (10, 15, 35 Md); 51; 88; 18 (28, 83-101 Md); 16 (126-128 Md); 71; 14 (28-29 Md); 21; 23; 32 (16-20 Md); 52; 67; 69; 70; 78; 79; 82; 84; 30 (17 Md); 19 (1-11 Md); dan 83. Sementara susunan kronologis surat-surat Madaniyah adalah: 2 (281 belakangan); 8 (30-36 Mk); 3; 33; 60; 4; 99; 57; 47 (13 waktu hijrah); 13; 55; 76; 65; 98; 59; 24; 22; 63; 58; 49; 66; 64; 61; 62; 48; 5; 9 (128-129 Mk); dan 90.(nomor di dalam tanda kurung meunjukkan nomor ayat, Md= Madaniyah, Mk=Makkiyah).
Seperti terlihat, susunan surat-surat Makkiyah dalam sistem kromologis Mesir bisa dikatakan identik dengan riwayat yang bersumber dari Ibn Abbas, kecuali menyangkut penempatan surat 1 – yang tidak eksis dalam versi Ibn Abbas – diantara surat 74 dan aurat 111. Sementara susunan kronologis surat-surat Madaniyah versi edisi Mesir menampakkan sejumlah perbedaan yang sekuensial dengan versi Ibn Abbas. Lebih dari separuh surat-surat Madaniyah pada permulaan daftar kronologi Mesir – mulai surat 2 sampai surat 59 – masih sejalan dengan riwayat versi Ibn Abbas. Setelah itu, surat 90 yang menyusuli surat 59 dalam rangkaian kronologis Ibn Abbas, dipindahtempatkan kebagian-bagian paling akhir dalam surat-surat Madaniyah. Tetapi, sekuensi surat-surat selanjutnya dalam kronologi ini sebagian besarnya identik, kecuali surat 62 ditempatkan setelah surat 61. Berbagai perbedaan ini, sebagaiaman telah dikemukakan, dapat dikembalikan kedalam eksploitasi sumber-sumber klasik oleh para penyunting al-Quran edisi standar Mesir.
Rangkaian kronologi surat-surat al-Quran yang diajukan para penyunting al-Quran edisi standar Mesir memiliki pengaruh yang cukup luas di dunia Islam. Hal ini disebabkan penerimaan mayoritas kaum Muslimin terhadap edisi standar al-Quran tersebut, yang memuat sistem penanggalan al-Quran dalam “mukaddimah” setiap surat.

Kronologi Noeldeke-Schwally
Upaya penanggalan al-Quran, dalam kenyataannya, bukan merupakan bidang garap ekslusif kesarjanaan Islam. Sejak pertengahan abad ke 19, dunia kesarjanaan Barat juga menaruh perhatian terhadapnya. Upaya merekonstruksi secara kronologis wahyu-wahyu al-Quran dilakukan para sarjana Barat dengan mengeksploitasi bahan-bahan tradisional Islam dan memperhatikan bukti-bukti internal al-Quran itu sendiri – yakni rujukan-rujukan historis didalamnya, terutama selama periode Madinah dari karier keNabian Muhammad. Perhatian juga dipusatkan pada pertibangan gaya al-Quran, perbendaharaan kata, dan semisilnya. Singkat kata, al-Quran telah menjadi tempat sasaran penilitian yang cermat selaras dengan metode kritik sastera dan kritik sejarah modern. Hasilnya, muncul berbagai sistem penanggalan al-Quran berdasarkan asumsi-asumsi yang beragam.
Salah satu aransemen kronologi al-Quran versi Barat yang populer adalah yang diupayakan Theodor Noeldeke (w.1930) dan muridnya, Friedrich Shwally Shwally (w.1919), dalam karya monumental mereka, Geshichte des Qoran. Noeldeke dan Shwally, yang mengadopsi dan mengembangkan gagasan Gustav Weil, membagi pewahyuan al-Quran kedalam empat periode; (i) Makkah pertama atau awal; (ii) Makkah kedua atau tengah; (iii) Makkah ketiga atau akhir; (iv) Madinah. Titik peralihan untuk keempat periode ini adalah masa hijrah ke Abisina (sekitar 615) untuk Makkah awal dan Makkah tengah, saat kembali Nabi dari Tha’rif (620) untuk Makkah tengah dan Makkah akhir, serta peristiwa Hijrah (September 622) untuk Makkah akhir dan Madinah.
Menurut Noeldeke dan Shwally, surat-surat periode Makkah pertama cenferung pedek-pendek. Ayat-ayatnya juga pendek-pendek serta berima. Surat-surat sering diawali dengan ungkapan-ungkapan sumpah, serta bahasanya penuh dengan tamsilan dan puitis. Susunan kronologis surat-surat al-Quran perode ini adalah: 96 (9-11 belakangan); 74 (31-34, 41ff. belakangan); 111; 106; 108; 104; 107; 102; 105; (6 Mk.akhir); 92; 90; 94; 93; 97; 86; 91; 80; 68 (17ff. belakangan); 87; 95; 103 (3 Mk. akhir); 85 (8-11 belakangan); 73; 101; 99; 82; 81; 53 (23, 26-32 belakangan); 84 (25 Mk akhir); 100; 79 (27-46 belakangan); 77; 78 (37 ff.Mk tengah); 88; 89; 75 (16-19 ?); 83; 69; 51 (24ff. belakangan); 52 (21, 29ff belakangan); 56 (75ff belakangan); 70; 55 (8-9 belakangan); 112; 109; 113; 114; dan 1. (nomor di dalam tanda kurung menunjukkan nomor ayat, Mk = Makkiyah).
Surat-surat periode kedua atau Makkiyah tengah lebih panjang dan lebih berbentuk prosa, tetapi tetap dalam kualitas bentuk puitis yang indah. Gayanya membentuk transisi antara surat-surat periode Makkah pertama dan ketiga. Tanda keMaha Kuasaan Tuhan dalam alam sifat-sifat Ilahi seperti Rahmah (ke Maha Kasihan) ditekankan, sementara Tuhan sendiri sering disebut dengan Al-Rahman (Yang Maha Pengasih). Deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka diungkapkan, serta dalam periode inilah kisah-kisah Ummat sebelum Nabi Muhammad diazaba Tuhan diperkenalkan. Surat-surat periode kedua adalah: 54; 37; 71; 76; 44; 50; 20; 26; 15; 19 (35-40 belakangan); 38; 26; 43; 72; 67; 23; 21; 25 (64ff.?); dan 18. (nomor di dalam tanda kurung menunjukkan nomor ayat).
Surat-surat periode Makkah ketiga atau Makkah akhir lebih panjang dan lebih berbentuk prosa. Noeldeke Shwally mengemukakan bahwa penggunaan Al-Rahman sebagai nama Tuhan yang terakhir pada periode ini, tetapi karakteristik-karakteristik periode kedua lainnya semakin mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban ummat terdahulu dituturkan kembali secara teas atau lebih rinci. Susunan kronologis surat-surat al-Quran periode Makkah ketiga adalah sebagai berikut: 32; 41; 45; 16 (41f. 110-124 Md); 30; 11; 14 (38 ff. Md); 12; 40 (57 ff.?); 28; 39; 29 (1-11, 46 Md, 69.?); 31 (14.f. Md 12f. 16-19); belakangan 27-29 Md); 42; 10; 34; 35; 7 (157f. Md); 46; 6 dan 13. (nomor di dalam tanda kurung menunjukkan nomor ayat Md = Madaniyah).
Sementara surat-surat periode keempat (Madaniyah) tidak memperlihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga dibandingkan perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi semakin meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan umum peristiwa-peristiwa di Madinah setelah Hijrah. Pengakuan terhadap Nabi sebagai pemimpin masyarakat, membuat wahyu yang berisi hukum dan aturan kemasyarakatan. Tema dan istilah kunci baru turut membedakan surat-surat periode ini dengan sebelumnya. Susunan kronologis surat-surat al-Quran dari periode Madinah adalah: 2; 98; 64; 62; 8; 47; 3; 61; 57; 4; 65; 59; 33; 63; 24; 58; 22; 48; 66; 60; 110; 49; 9; dan 5.
Sistem penanggalan versi Barat di atas merupakan varian yang agak terelaborasi dari sistem penanggalan Makkiyah Madaniyah kesarjanaan Islam. Sistem Barat ini sangat bergantung pada penanggalan dan hal-hal yang bertalian dengan bentuk serta gaya yang dikembangkan sarjana Muslim. Sejumlah bahan tradisional menyangkut surat-surat tertentu al-Quran diterima sistem penanggalan empat periode Barat sebagai kebenaran historis. Tetapi, bahan-bahan tradisional lainnya, khususnya yang menyangkut periode Makkiyah, dipandang meragukan. Sementara analisis sastera terhadap kandungan-kadungan surat-surat al-Quran untuk menetapkan penanggalan ayat-ayat di dalam suatu surat telah diaplikasikan secara luas dalam sistem Barat ini. Itulah sebabnya, timbul perbedaan yang cukup subtantif antara sistem penanggalan yang dihasilkan kesarjanaan Islam dan sistem penanggalan empat periode Barat dalam susunan kronologis aktual surat-surat al-Quran.

KONTEKS LITERER AL-QURAN

Untuk sedikit mengetahui konteks literer al-Quran dapat anda lihat dalam contoh makalah munasabah al-Quran.
Contoh munasabah al-Quran dapat anda lihat dengan cara:
Klik kiri pada icon dengan menekan ctrl



MENAFSIRKAN AL-QURAN

Salah satu cara bagi kaum Muslimin non-Arab yang tidak bisa berbahasa Arab untuk memahami al-Quran adalah lewat terjemahan kitab suci itu ke dalam bahasa ibu mereka. Tetapi, apakah al-Quran – yang menyatakan dirinya diturunkan dalam bahasa Arab – bisa diterjemahkan kedalam bahasa non-Arab merupakan suatu masalah yang menimbulkan kontroversi akut dan berkepanjangan di dalam sejarah Islam.
Pada masa Nabi, barangkali tidak ada yang pernah membayangkan kemungkinan bahwa al-Quran mesti diterjemahkan secara bagian atau seluruhnya kedalam bahasa asing. Ketika itu, Islam memang belum melangkah ke luar Arab. Tetapi, dengan tersebarnya Islam memasuki kawasan-kawasan non-Arab, khususnya Persia untuk tahap awal sesudah wafatnya Nabi, kebutuhan pemeluk-pemeluk baru Islam yang non-Arab akan suatu terjemahan al-Quran dalam rangka memahami ajaran-ajaran Islam mulai muncul kepermukaan.
Masalah terjemahan ini pertama kali muncul di kalangan pengikut baru Islam asal Persia dalam kaitannya dengan pembacaan al-Quran dalam shalat. Apabila boleh membaca al-Quran dalam bahasa Persia ketika shalat? Abu Hanifah (w. 767), pendiri mazhab Hanafiyah, mendaklarasikan kebolehan baik untuk yang mengetahui bahasa Arab ataupun tidak. Pandangan ini memang bisa dikaitkan dengan hal asal-usul Abu Hanifah Perisia. Tetapi, concern keagamaan yang sejati dan pertimabangan-pertimbangan praktis – yakni membengkaknya pengikut-pengikut baru Islam dalam non-Arab yang berasal dari latar belakang dan etnis yang berbeda – tampaknya lesih menonjol untuk membentuk opini tersebut. Dengan demikian, gagasan Abu Hanifah mesti dipandang satu upaya untuk memecahkan permasalahan pelit yang dihadapi Muslim-Muslim non-Arab dengan adanya kewajiban membaca bagian atau ayat-ayat pendek di dalam shalat.
Berbeda dengan mazhab Hanafiyah, mayoritas mazhab sunni lainnya – Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah – menegaskan bahwa teks al-Quran mesti dibaca dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Ketika seorang Muslim tidak sanggup membaca al-fatihah dalam bahasa Arab di dalam shalatnya, maka ia harus menggantinya dengan bagian al-Quran yang lain yang ia kuasai, atau berdiam diri, atau mengulang-ulang pembacaan nama Allah untuk jangka waktu yang sama dengan pembacaan al-fatihah.
Pandangan mazhab Hanafiyah tentang kebolehan penggunaan terjemahan al-Quran telah memberi tanda bahwa dan bahkan memperkeras gagasan ortodoksi Islam tentang masalah terjemahan al-Quran pada umumya. Untuk menentang penggunaan terjemahan dalam shalat. Fuqha mazhab Sunni lainnya membatasi persetujuan mereka terhadap penerjemahan al-Quran untuk tujuan-tujuan di luar shalat dengan syarat yang tidak jarang mengarah kepada pelarangannya. Dan gagasan emacam inilah yang mendominasi ortodoksi Islam selama berabad-abad.
Menurut gagasan mayoritas dalam ortodoksi Islam, terjemahan al-Quran – dalam pengertian yang sbenarnya dari kata tersebut – adalah suatu kemustahilan. Gagasan ini terutama didasarkan pada karakter I’jaz (keunikan) al-Quran, yang tidak bisa diimitasi atau ditandingi manusia dengan cara apapun. Menurut sudut pandang ini, karakteristik tersebut akan hilang dalam terjemahan al-Quran, karena terjemahan dibuat oleh manusia.
Seluruh keberatan ortodoksi Islam terhadap penerjemahan al-Quran pada faktanya timbul sacara logis dari doktrin I’jaz. Untuk memperkukuh sudut pandang yang semata-mata bersifat doktrional ini, superioritas bahasa Arab atas bahasa-bahsa lainnya dijadikan sebagai argumen utama. Al-Hijaz (w. 869) dalam salah satu karyanya, Kitab al-Hayawan, bahkan menegaskan kemustahilan penerjemahan syair-syair Arab kedalam bahasa-bahasa lainnya, terlebih lagi bahan-bahan yang berhubungan dengan agama Islam dan al-Quran itu sendiri. Dengan demikian, gagasan-gagasan semacam ini telah menjadikan bahasa Arab sebagai lingua sacra – bertentengan dengan pandangan umum yang menganggap bahasa sebagai produk budaya manusia.
Labih jauh, ortodoksi Islam menegaskan bahwa suatu terjemahan al-Quran yang bersifat leteral dan tepat dari segi maknanya adalah mustahil. Tetapi, suatu terjemahan dalam pengertian tafsir dapat dilakukan berdasarkan asumsi bahwa teks orisinal al-Quran tidak tergantikan olehnya. Jadi, naskah-naskah al-Quran menurut sudut pandang ini, dapat dilengkapi dengan semacam kuasi-terjemahan yang bersifat interlinear. Dan inilah yang dilakukan selama berabad-abad oleh sarjana Muslim, bahkan hingga dewasa ini.
Perbedaan antara tafsir dan terjemahan tentu saja sangat mendasar. Analogi persamaan keduanya telah ditentang dengan keras oleh ortodoksi Islam. Ilustrasi tentangya bisa dilihat dalam pernyataan al-Qaffal,¬ seorang yuris mazhab Syafi’iyah, ketika pandangannya tentang tejemahan Persia al-Quran sebagai hal yang mustahil dipermasalahkan: “kalau begitu, apakah anda mengatakan bahwa tidak seorangpun yang dapat menafsirkan al-Quran?” al-Qaffal tidak mengakui bahwa analogi tentang tafsir sabagai terjemah ini benar, dan berkata: “adalah memungkinkan dalam tafsir untuk menangkap makna dalam beberapa kata dari firman Allah dan salah menanggapi kata-kata lainnya; dalam terjemahan, yang menggantikan suatu kata dengan kata lainnya, adalah mustahil menyampaikan seluruh makna kata-kata Tuhan.” Jadi dalam kasus tafsir, teks orisinal wahyu tetap terjaga dalam bahasa Arab; sementara dalam kasus terjemahan, teks orisinal wahyu digantikan oleh terjemahan. Seluruh fuqaha bersepakat bahwa tafsir tidak dapat dibaca dalam shalat, tetapi mazhab Hanafiyah membolehkan pembacaan terjemahan al-Quran.
Barangkali inilah keberatan utama terhadap terjemahan, yakni ia bisa menggantikan pembacaan teks whyu orisinal dalam shalat dan mungkin akan dipandang sebagai al-Quran yang diwahyukan – suatu gagasan yang dipandang sebagai kekeliruan yang nyata oleh seluruh jajaran ortodoksi Islam, kecuali mazhab Hanafiyah. Tetapi pandangan mazhab Hanafiyah tersendiri ini tidak mendapatkan pengakuan universal, bahkan ditolak oleh kalangan tertentu pengikut mazhab tersebut.
Dengan demikian, pembacaan al-Quran dalam bahasa Persia merupakan kebolehan teoritis, tetapi dalam prakteknya terjemahan Persial atau keseluruhan al-Quran juga telah diupayakan. Sayangnya manuskrip-manuskrip al-Quran yang ada – paling awal berasal dari abad ke 14 dan ke 15 – tidak memungkinkan untuk menetapkan kapan terjemahan itu dilakukan. Memang terdapat laporan bahwa suatu terjemahan al-Quran kedalam bahasa Persia telah digarap salah seorang sahabat Nabi, Salman al-Farisi, pada masa empat khalifah pertama. Demikian pula, terdapat laporan tentag terjemahan al-Quran kedalam bahasa Barber (127 H) dan bahasa Sindhi (270 H). Sayangnya, tak satu pun terjemahan tersebut sampai ke tangan kita, sehingga sulit membuktikan kebenaran laporan-laporan tentangnya.
Dengan dominannya ortodoksi yang kaku mengenai terjemahan al-Quran, adalah wajar jika berbagai uapaya penerjemahan kitab suci tersebut ke dalam bahasa-bahasa dunia Islam non-Arab telah mengalami tantangan arus. Bahkan, sampai ke masa Syah Wali Allah al-Dihwali (w.1762), masalah terjemahan al-Quran masih tetap ditabukan. Wali Allah dikabarkan telah menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Persia, yang diberinya judul fath al-Rahman. Tetapi, upaya ini mendapat reaksi keras dari kalangan Ulama pada saat itu.
Lantaran kuatnya oposisi terhadap terjemahan, tidaklah mengherankan jika upaya awal untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa non-Arab dilakukan dengan menerjemahkan karya-karya tafsir. Salah satu karya tertua dalam bahasa Persia yang bisa diselamatkan adalah terjemahan kitab tafsir al-Thabari, yang digarap untuk Abu Shalih Manshur Ibn Nuh, penguasa dinasti Samani di Transoxania dan Kurasan (961-976). Sekalipun tidak terdapat catatan akurat tentang waktu penggarapannya – diperkirakan digarap pada abad ke 10 – dalam bagias pendahuluan dijelaskan bahwa Abu Shalih, setelah bertanya kepada para Ulama tentang legalitas terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Persia yang dijawab secara negatif, kemudian menitahkan penggarapan terjemahan karya tafsir tersebut pada Ulama dari berbagai kota di wilayah kekuasaannya.
Di Indoesia, cara semacam ini juga ditempuh oleh Abd Al-Rauf Ali al-Fansuri (w. 1960), seorang Ulama dari Singkel-Aceh. Menurut Snouck Hurgronje, pada abad ke 17 Abd al-Rauf menganggap semacam terjemahan tafsir al-Baydhlawi, Anwar al-Tanzil, ke dalam bahasa Melayu, pendapat ini diikuti oleh penulis sejarah al-Quran, Abu Bakar Aceh. Tetapi, sebagaimana ditunjukkan A.H. Johns yang digarap Abd al-Rauf adalah terjemahan tafsir al-Jalalain Baydhlawi, bagian ekstensif dari terjemahan tafsir Melayu surat al-Kahfi yang disusun oleh al-Khazin, dan sejumlah bagian tentang qira’at yang tidak terambil dari tafsir al-Jalalayn ataupun tafsir al-Baydhlawi.
Permasalahan apakah al-Quran dapat dibaca dalam bahasa non-Arab didalam shalat serta apakah boleh memproduksi dan terjemahan al-Quran, sekali lagi menjadi masalah akut ketika otoritas politik Turki yang sekuler memulai malakukan “nasionalisasi” terhadap berbagai bentuk ibadah Islam dan menerbitkan suatu terjemahan al-Quran dalam bahsa Turki yang tidak disertai dengan teks asli bahasa Arab pada penghujunh abad ke-19 dan perulaan abad ke-20. Sejumlah besar otoritas Sunni di Mesir dan Siriya mengutuk upaya “nasionalisasi” tersebut, bahkan sampai pada penyitaan dan pelarangan sejumlah besar terjemahan al-Quran dalam bahasa Inggris dan Turki. Pernyataan-pernytaan yang dikemukakan dalam hal ini terutama bersifat polemis dan negatif. Syaikh Muhammad Syakir, mantan Wakil Universitas al-Azhar, misalnya, menolak kebolehan membaca terjemahan al-Quran dalam shalat dan bahkan mencap upaya [enerjemahannya sebagai pembuatan heretik (bid’ah). Demikian pula, Saikh Muhammad Rasyid Ridla (w. 1935) – murid Bapak modernis Islam Mesir, Muhammad Abdullah (w. 1905) – mengutuk keras upaya “nasionalisasi” di Turki dan upaya penerjemahan al-Qurannya. Oposisi yang kuat terhedap berbagai kebijakan yang dilakukan di Turki sebenarnya lebih bersifat politik ketimbang relegius. Penghapusan institusi kekhalifaan yang ada di Turki dan sekularisasi ekstreem yang menjadi kebijakan pokok otoritas politik di negeri itu, merupakan latar belakang utama dari berbagai serangan tersebut.
Tetapi, para ulama Hanafiyah terkemuka dari al-Azhar, Musthafa al-Maraghi (w. 1945), dalam suatu artikelnya, “Bahts fi Tarjamat al-Quran al-Karim wa Ahkamiha” yang dipublikasikan pada 1932, yang mengemukakan bahwa seorang Muslim yang tidak memiliki pengetahuan bahasa Arab secara mutlak wajib membaca terjemahan al-Quran yang memadai dalam shalat. Menurutnya, hal terpenting di dalam shalat adalah makna teks al-Quran, bukan karakter I’jaz-nya, dan makna sebenarnya bisa ditransmisikan melalui terjemahan. Lebih jauh, al-Maragi menilai bahwa adalah tidak realistik mewajibkan bagian terbesar masyarakat Muslim dari Negeri-negeri non-Arab untuk mempelajari bahasa Arab lantaran al-Quran berbahasa Arab. Tesis bahwa al-Quran tidak lagi menjadi verbumdei dalam terjemahan, menurut al-Maragi, hanya absah dengan prasyarat tertentu. Terjemahan al-Quran secara sederhana tidak mempresentasikan kata-kata manusia (kalam al-nas), karena sekalipun tidak mengandung kalam Allah secara harfiah, kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan. Sejalan dengan ini, Ulama Mesir lainnya, Farid Wajdi, juga menunjukkan bahwa menerjemahkan al-Quran secara makna (ma’ni) diizinkan.
Beberapa saat menjelang dan setelah surutnya kontroversi tentang “nasionalisasi” Islam di Turki, bermunculan sjumlah erjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa dunia Islam, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Cina, Burma, Tionghoa, dan lainnya. Dalam bahasa Indonesia, muncul beberapa terjemahan al-Quran yang digarap anatara lain oleh A. Hasan, Munawar Khalil, Mahmud Yunus, dan kemajuan Isam Yogyakarta. Penerjemahan al-Quran kedalam beberapa bahasa daerah di Indonesia – seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Makassar, dan lainnya – juga dilakukan. Pada 1967, Pemerintah Indonesia resmi membentuk tim penerjemah al-Quran yang beranggotakan sejumlah pakar al-Quran yang terkemuka di negeri ini – seperti Hashbi Ashsiddieqy, Bustami A. Gani, Muchtar Yahya, Mukti Ali, KH. A. Musaddad, KH. Ali Maksum, dan lainnya. Setelah bekerja selama delapan tahun, tim ini berhasil menyelesaikan al-Quran dan terjemahannya, yang kemudian diterbitkan dengan anggaran rutin Pemerintah Indonesia.
Semementara sejumlah sarjana Muslim lainnya – seperti Maulana Muhammad Ali, Mirza Abu’l Fazl, Bashir Al Din Ahmad, Muhammad Hamidullah, Sadr-Ud-Din, Marmaduke Pickthal, Muhammad Asad, Dan Lainnya – juga telah mengupayakan penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Dengan pengecualian beberapa terjemahan ke dalam bahasa Eropa, keseluruhan terjemahan al-Quran dalam berbagai bahasa ini, sebagaimana terjemahan al-Quran yang digarap pada masa-masa sebelmnya, mengikuti praktek kuasi-terjemahan yang bersifat interlinier, dimana setiap baris teks bahasa Arab diikuti terjemahannya, atau teks Arab dengan terjemahannya diletakkan secara berdampingan. Demikian pula, sebagian besar karya ini menggnakan istilah tafsir sebagai judulnya.
Permasalahan tentang boleh tidaknya terjemahkan al-Quran barangkali mesti dilacak dalam al-Quran sendiri dan fenomena Islam yang awal. Memang benar bahwa al-Quran itu diwahyukan dalam bahasa Arab, seperti yang dikleim kitab suci itu dalam sejumlah kesempatan. Tetapi, pewahyuan dalam bahasa arab ini juga musti diselaraskan dengan doktrin lainnya tentang universalisme Islam: risalah yang dibawa Nabi adalah untuk seluruh ummat manusia, bukan hanya untuk orang Arab.
Penelaahan terhadap konteks sejumlah bagian al-Quran yang mengepresikan pewahyuan dalam bahasa Arab akan menjelaskan bahwa pemilihan bahasa ini lebih didasarkan pada tradisi Tuhan yang selalu mengutus Rasul dengan bahasa kaumnya (14:4), berdasarkan pertimbangan agar mudah dipaami orang-orang yang menjadi sasaran dkwah Nabi (12:2; 42:7; 43:3) dan memudakan bagi Nabi sendiri (19:97). Jika al-Quran diwahyukan ke dalam bahasa non-Arab, maka hal ini – selain tidak patut, karena Nabi adalah seorang Arab – akan sulit sulit dipahami oleh orang-orang yang menjadi sasaran dakwah Nabi (41:44). Jadi, alasan pewahyuan al-Quran dalam bahasa Arab terlihat dalam naturalisik dan logis, serta tidak memberi kesan dalam bahasa Arab sebagai lingua sacra. Penekanannya dalam hal ini adalah pada kemudahan manusia dalam memahami pesan-pesan Ilahi. Dengan demikian, doktrin universialisme pesan-pesan Ilahi yang dibawa Nabi musti dipahami di dalam kerangka tradisi pengutusan ilahi dan pertimbangan pemilihan bahasa yang sangat naturalistik dan logis itu.
Di atas telah disinggung bahwa setelah wafatnya Nabi, terjadi perluasan domain politik ke Persia, dan pada titik ini muncul masalah tentang terjemahan al-Quran. Ada dua laporan mengenai aktivitas Salman al-Farisi dalam menangani masalah tersebut. Laporan pertama mengatakan bahwa beberapa orang Persia meminta Salman menuliskan sesuatu dari al-Quran lagimereka dalam bahasa Persia. Salman kemudian menerjemahkan surat al-Fatiahah untuk mereka. Laporan kedua mangatakan bahwa orang-orang Persia mengirim surat kepada Salman memintanya menerjemahkan surat al-Fatihah ke dalam bahasa Persia, yang dilakukannya. Mereka menggunakan terjemahan itu di dalam shalat hinga terbiasa. Salaman lalu menyampaikan hal ini kepada Nabi, dan dia tidak mencelanya.
Laporan tentang terjemahan Salman di atas, terutama laporan kedua, bisa diragukan otentisitasnya, karena pada masa Nabi Domain politik Islam masih belum meluas ke Persia. Lebih jauh, apabila Nabi menyetujui pembacaan al-Quran dalam bahasa Persia di waktu shalat, maka masalahnya tlah selesai dan tidak mungkin tmbul kontroversi akut tentangnya pada masa belakangan. Tampaknya, asal-usul Persia Slaman, seorang sahabat Nabi yang merpakan pengikut Islam pertama dari kalangan non-Arab, telah membuatnya dijadikan otoritas untuk vabrikasi kedua lapoaran tersebut.
Terlepas dari otentisitas kedua laporan diatas, elan dasar yang dikandungya terlihat bersesuaian dengan sikap Nabi terhadap teks verbal wahyu, seandainya hadits-hadits tentang pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf dipandang abshah. Sebagaimana ditunjukan dalam bab 9, Nabi biasanya menyelesaikan masalah perbedaan bacaan al-Quarn dikalangan para pengikutnya yang awal secara fleksibel dan toleran dengan menggunakan pewahyuan al-Quran dalam tujuh ahruf, serta selalu menekankannya sebagai kemudahan dalam pembacaan kitab suci itu.
Penyelesaian Nabi ini merupakan pijakan otoritatif bagi keragaman bacaan yang mewarnai sejarah awal al-Quran, sebagaiamana telah ditunjukkan dalam beberapa bab yang lalu, khususnya bab 4 dan seterusnya. Kata-kata al-Quran, menurut alur ini, dapat dibaca menurut berbagai dialek Arab dari mana pembacanya berasal. Tetapi, disini timbul permasalahan: apakah ini meripakan suatu lisensi untuk menyimpang secara harfiah dari teks, bukan ketentuan spirit teksnya tetap terjaga? Al-Thabari, ketika mendiskusikan berbagai keragaman bacaan al-Quran dalam tafsirnya, memperlihatkan secara jelas bahwa perbedaan yang terjadi dalam keragaman pembacaan al-Quran adalah dalam tilawah, bukan dalam ma’ani. Dengan kata lain, perbedaan terjadi dalm huruf-huruf teks, bukan dalam spirit teks. Dalam bab 4 dan bab 5 di atas juga telah ditunjukkan bahwa dalam mashahif para sahabat Nabi – seperti Ali, Ubay, Ibn Mas’ud, dan Ibn Abbas – kemunculan sejumlah kata yang merupakan sinonim unutk kata-kata dalam teks Utsmani, penyingkatan atau penambahan yang tidak mempengaruhi makna, dan kasus lainnya yang sejenis, merupakan hal yang lazim ditemui. Ibn Hajar juga mngemukakan bahwa al-Quran biasanya dibaca para sahabat Nabi dengan menggunakan sinonim-sinonim untuk kata-kata yang tidak bias diucapkan, sekalipun tidak terdapat otoritas didalamnya. Sementara Ibn Mas’ud bahkan dikabarkan telah melangah lebih jauh lagi dan membolehkan pembacaan al-Quran menurut maknanya (al-qira’-ah bi-lima’na). Tetapi, Ibn al-Jazari menolak keras pengkabaran ini: “wa amma man yaquhu inna ba’da al-ashshahabah ka ibn mas’ud kana yujizu al-qira’ah bil-ma’na fa qad kadzaba.”
Sekalipun demikian, berbagai bacaan dalam bahasa teks Arab dipraktekkan dan diperbolehkan, maka apakah hal ini, secara analogis, menunjukkan kebolehan menerjemahkan al-Quran kedalam bahasa selain Arab? Terdapat beberapa isyarat dalam sejumlah surat Nabi yang dikirim ke berbegai penguasa dunia ketika itu mengenai masalah masalah ini. Jadi, ketika Nabi menulis surat dalam bahasa Arab ke penguasa Bizantium, ia tentunya berharap agar suratnya - di dalamnya terdapat suatu kutipan ayat al-Quran (3:64) – diterjemahkan dalam bahasa Yunani, supaya dapat dipahami maksudnya. Sebagaimana dikabarkan Ibn Abbas dari Abu Sufyan idn Harb bahwa, Heraclius memanggil seorang penerjemah untuk membacakan surat Nabi itu dalam bahasa Yunani, yang berbunyi: “Dengan Nama Allah Yang Pengasih Yang Penyayang. Dari Muahammad utusan Allah kepada Heraclius Penguasa Romawi …. Hai ahli kitab, marilah menuju suatu kata antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun ….”
Dengan demeikian, baik al-Quran maupun tradisi kesejarahan Islam yag awal tidak memberikan petunjuk apapun bagi upaya sakraliasi bahasa al-Quran yang dilakukan pada masa belakangan. Pelarangan penerjemahan al-Quran kedalam berbagai bahasa – sebagai akibat dari sakralisasi tersebut – telah menciptakan kesulitan bagi pemeluk-pemeluk non-Arab. Hal ini secara jelas bertentangan dengan tjuan pewahyuan al-Quran – yakni agar manusia bias memahaminya – dan bertabrakan dengan keyakinan tentang universalismi Islam. Adalah benar bahwa Tuhan telah membuat atau mewahyukan al-Quran dalam bahasa Arab, tetapi manusia bisa membuatnya menjadi berbahasa Persia, Turki, Urdu, Cina, Indonesia, atau bahasa-bahasa dunia lainnya.

TAFSIR AL-QURAN
Upaya lain untuk memahami al-Quran yang dalam kenyataannya paling banyak dilakukan di kalangan kaum Muslimin, adalah melalui tafsir. Istilah tafsir – berasal dari kata fassara,” “menjelaskan,” “menerangkan,” “menyingkap” atau “menampakkan” – secara khusus bermakna penjelasan atas al-Qurab atau ilmu tentang penafsiran kitab suci tersebut. Sinonim untuk kata ini adalah syarh atau ta’wil. Istilah syarh tidak digunakan dalam perbendaharaan tafsir, sekalipun memiliki makna senada, karena telah menjadi terminologi tekhnis dalam ilmuilmu hadits untuk komentar atas hadits. Sementara ta’wil – berasal dari kata awl, “kembali ke asal,” di dalam al-Quran bermakna “akibat,” “kesudahan” (7: 53; 10:39) – masih tetap eksisi dalam pembendaharaan kajian-kajian al-Quran. Pada awalnya, kata ini digunakan sinonim untuk tafsir dan tetap seperti itu setidak-tidaknya hingga masa al-Thabari. Mufassir Agumg dalam jajaran tradisonal ini masih menggunakan kata ta’wil sebagai sinonim untuk kata tafsir dalam magnum opus-nya. Bahkan judul karya agungnya, jami al-Bayan an Ta’wil Ay al-Quran, dengan jelas merefleksikan sinonim antara kata ta’wil dan tafsir.
Belakangan kata ta’wil berubah menjadi istilah tekhnis untuk penjelasan internal atas material atau kandungan al-Quran, sedangkan tafsir diterapkan untuk penjelasan filologis yang bersifat eksternal terhadap al-Quran. Tafsir mencakup penjelasan tentang sebab pewahyuan suatu bagian al-Quran, kedudukan bagian tersebut dal surat termaksud, dan kisah sejarahnya. Penjelasan ini mencakup penentuan masa pewahyuan (Makkiyah-Madaniyyah), muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh, am-khash dan lainnya. Sementara ta’wil mencakup penjelasan makan umum maupun khusus kata-kata al-Quran, atau istlah tekhnis untuk penjelasan alegoris dan metaforis terhadap al-Quran. Karena itu, ta’wil tidak begitu disukai oleh kalangan ortodoksi Islam. Pembedaan ini tampaknya dilakukan untuk menghantam berbagai kecenderungan liar dalam penafsiran yang lewat penjelasan alegoris, telah memaksakan gagasan-gagasan “aneh” ke dalam teks literal al-Quran.
Sebagai upaya untuk mmahami dan menjelaskan kandungan pesan al-Quran, tafsir – berdasarkan sejumlah pernyataan al-Quran – dapat dikatakan telah eksisi pada awal Islam dan dimotori oleh Muhammad sendiri. Salah satu bagian al-Quran yang mengungkapkan peran Muhammad sebagai penjelas wahyu Ilahi adalah 16:44, “Telah kami turunkan kepadamu al-Dzikir (yakni a-Quran), agar kamu jelaskan kepada ummat manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka” (cf. 16:64).
Penafsiran al-Quran yang dilakukan Nabi direkam dalam berbagai koleksi hadits, biasanya dengan judul kitab al-tafsir, yang disusun mengikuti sekuensi surat dalam mushaf Utsmani. Jumlah riwayat tafsir ini relatif sedikit dan tidak mencakup keseluruhan al-Quran. Salah satu ilustrasi paling populer – di mana Nabi menafsirkan kata zulm (6:82) sebagai syirk (31:13) – adalah yang riwayat dari Abd Allah berikut ini:
Ketika diturunkan ayat: “oarang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan zulm….” (6:82), maka ia menyusahkan para sahabat dan mereka berkata: “Siapa di antara kita yang tidak mencampur adukkan keimanannya dengan kezaliman?” Maka bersabdah Nabi: “ayat itu tidaklah seperti yang kalian pikirkan, tetapi seperti yang dikatakan Luqman kepada anaknya: ‘sesungguhnya sirik adalah kezaliman yang besar’ (31:13).”
Sejumlah serjana Muslim lebih jauh menekankan bahwa pwnjwlasan Nabi terhadap al-Quran tidak hanya bersifat verbal, tetapi juga bersifat praktis. Perilaku (sunnah) aktual Nabi, dengan demikian, dipandang sebagai penjelasan par exellence atas al-Quran. Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbaliyah, misalnya, menegakkan bahwa sunnah menerangkan al-Quran dan menjelaskannya. Gagasan semacam inilah yang kemudian menjadi basis teoritis exploitasi hadits-hadits Nabi dalam penafsiran al-Quran.
Generasi pertama Islam telah mentransmisikan berbagai penjelasan Nabi terhadap al-Quran dan berbagai tindakan ekstra quraniknya dari generasi ke generasi. Namun, karena pemahaman mereka yang baik terhadap bahasa, pengetahuan mereka yang luas terhada suasana dan unwelt pewahyuan, serta wawasan mereka yang dalam tentang agama, para sahabat ini juga melengkapi transmisi itu dengan penjelasan mereka sendiri. Proses transimisi ini kemudian berujung pada pembukuan atau kompilasi hadits yang terjadi pada masa peralihan dari dinasti Umaiyah ke dinasti Abbasiyah.
Tetapi, stase primitif tafsir al-Quran barangakali bisa dilihat dalam beraga bacaan al-Quran yang eksis pada awal Islam. Dalam beberapa bab yang lalu, khusunya bab 4 dan bab 5, telah ditunjukkan bahwa sejumlah keragaman bacaan yang eksis dalam mushaf-mushaf pra-Utsmani bisa dipandang merefleksikan tefsir-tafsir yang berkembang di kalangan kaum Muslimin yang awal. Jadi, ketika sejumlah mushaf pra Utsmani membaca ungkapan wa-l-shalat al-wustha (2:238) dengan tambahan wa-l-shalat al-ashr – sehingga bacaan lengkapanya adalah wa-lshalat al-wustha wa-l-shalat al-ashr – maka ungkapan pertama disini telah ditafsirkan sebagai shalat dhuhur. Contoh-cnotoh semacam ini, dengan berbagai contoh lainnta yang bisa dikategorikan sebagai penjelasan teks, merefeksikan stase primitif dari perkembangan tafsiran al-Quran di dalam Islam. Ortodoksi Islam mengembangkan gagasan yang kurang lebih senada tentang eksistensi keragaman bacaan yang awal itu sebagai pantulan aktivitas tafsir. Al-Suyuti, misalnya, mengutip pandangan Abu Ubayd yang diekspresikannya dalam Fadlail al-Quran: “al-maqshud min al-qira’ah al-syadzdzah al-qira’ah al-masyhurah…..”
Dengan berlakunya waktu, khusunya setelah meluasnya domain politik Islam keluar wilayah Arab dan setelah orang-oarang non Arab secara asif enyatakan keimanannya kepada risalahan yang dibawa Muhammad, penjelasan atas ayat dan ungkapan al-Quran yang maknanya telah kabur menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Salah satu orang yang merespon kebutuhan ini adalah Ibn Abbas, san penafsir terbaik (tarjuman al-Quran), yang ilmunya sedalam lautan (al-bahr) dan merupakan intelktual umat (habr al-ummah). Bapak tafsir al-quran ini terlihat menggunakan metode perujukan kepada syair-syair pra-Islam untuk menjelaskan makna kata-kata kitab sucinya yang sulit. Ketika menjelaskan kata kharaj dalam 22:78, Ibn Abbas mengungkapkan metodenya: “jika terlihat sesuatu dalam al-Quran yang besifat asing maka periksalah didalam syair….” Makna sekitar 200 kata yang dijeaskan dengan mengutip syair pra-Islam untuk menjawab pertanyaan Nafi ibn Al-Azrak – salah seorang muridnya – direproduksi oleh al-Suyuthi dalam karyanya, al-itqan Ulum al-Quran.
Sikap yang kurang skeptis terhadap eksistensi tafsir Ibn Abbas telah dikemukakan Serjana Muslim asal Turki, Fuat Sezgin. Berpijak pada tekhnik periwayatan, Sezgin mengemukakan bahwa adalah mungkin untuk membentuk gagasan tentang eksistensi tafsir al-Quran Ibn Abbas, atau setidak-tidaknya tefsir murid-muridnya, seperti Nafi, Mujahid, Warqa Ibn Umar, dan lainnya, berdasarkan sumber-sumber yang ada. Tetapi, sarjana-sarjana lainnya menafikan kemungkinan ini berdasarkan sejumlah pijakan, terutama keberatan terhadap historisnya.
Sejarah selanjutnya penafsiran al-Quran bisa didekati dengan memanfaatkan tipologi Ignaz Goldziher dan menyeleksi secara purposif mefassir-mufassir dari berbagai aliran yang ada untuk dikaji secara ringkas. Ia mengasumsi eksistensi lima aliran tafsir di dalam Islam: (i) tradisionalis; (ii) dogmatis; (iii) mistik; (iv) sektarian dan (v) modernis. Tiga aliran pertama senada dengan tipologi sarjana Muslim, yakni (i) tafsir bi-l-riwayah; (ii) tafsir bi-l-dirayah; (iii) tafsir bi-l-isyarah. Sementara dua aliran lainnya – sektarian dan modernis – merupakan kategori tambahan atau elaborasi dari tipologi kesarjanaan Muslim.
Tafsir al-Quran yang paling awal yang bisa diakses dewasa ini adalah yang disusun oleh Ibn Jarir al-Thabari (w.923), jam al-bayan ‘an Ta’wil ay al-Quran. Kitab tafsir ini dipandang Goldziher sebagai karya puncak tafsir aliran tradisional. Di kalangan ortodoksi Islam, tafsir tersebut diaanggap sebagai contoh terbaik dan terpenting dari tafsir bi-l-ma’tsur dan bi-l-riwayah – yakni tafsir yang berpijak pada riwayat, sebagaimana dibedakan dari tafsir bi-l-ra’y atau bi-l-dirayah, yang berpijak pada penggunaan nalar, dan tafsir bi-l-isyarah, yang berpijak pada intuisi batin. Dalam pendahuluan karyanya ini, ia mengemukakan pijakan harameutik untuk tafsirnya. Menurut al-Thabari, bahan-bahan al-Quran terbagi ke dalam tiga bagian: bagian pertama adalah yang hanya bisa ditafsirkan oleh Nabi dalam kedudukannya sebagai otoritas yang berhak menjelaskan al-Quran (16:44,64). Penejelasan Nabi bisa mengambil bentuk nashsh darinya (bi-nashsh minhu) atau suatu petunjuk yang meyakinkan (bi-dalalah) yang diformulasikan untuk melihat hal-hal yang mengarahkannya kepada suatu penafsiran. Bagian kedua adalah secara eksklusif hanya diketahui maknanya oleh Tuhan, seperti kapan tepatnya kiamat tiba. Bagian ketiga adalah yang diketahui penafsirannya oleh setiap orang yang memiliki pengetahuan tentang bahasa al-Quran. Pengetahuan bahasa ini mencakup pemahaman menyeluruh tentang infleksi (I’rab), pengertian kata-kata yang tidak homonim (gayr al-musytarak fiha), dan pemahaman karakteristik kata sifat deskriptif (al-mawsufat bi-shifatiha al-kashashshah). Al-Thabari kemudian melanjutkan kategori terakhir ini dengan subdivisi konsep-konsep bahasa dan kandungan, sehingga ketidak tahuan tentang halal dan haram bukan merupakan alasan yang dapat dimaafkan, apakah seseorang bisa berbahasa arab atau tidak. Di sinilah al-Thabari daam perkembangan teori hermeuntik al-Quran. Penetahuan tentang ke tiga bahan-bahan al-Quran merupakan tahapan yang awal dalam suatu metode tafsir. Kemampuan mengenali suatu bagian al-Quran yang masuk ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu, mengikuti alur pemikiran al-Thabari, akan memberi petunjuk pada penanganan bagian tersebut.
Dengan demikian, prinsip hermenutik al-Thabari mengakui eksistensi riwayat sebagai bagian terpenting dalam tafsir disamping aspek bahasa. Hal ini terlihat dalam berbagai penafsirannya yang tidak hanya menuturkan dan menganalisis berbagai hadits serta berbagai keragaman dalam bacaan al-Quran, tetapi juga hal-hal yang bertalian dengan aspek-aspek linguistik, dalam rangka menguraikan makna dan tujuan suatu bagian al-Quran. Dalam pendahuluan karyanya, al-Thabari mengungkapkan tantang kelengkapan kitab tafsirnya dan menegaskan bahwa ia telah mencantumkan berbagai dalil untuk perbedaan paham yang mencapai konsensus atau tetap bertahan, serta menyajikan alasan-alasan setiap sudut pandang yang berkembang. Di samping itu, ia juga menguraikan hal-hal yang dipandangnya sebagai kebenaran dalam berbagai kontroversi itu.
Masih dalam jajaran tokoh tafsir tradisional adalah Ismail Imad al-Din abu al-Fida’ ibn Katsir, terkenal sebagai Ibn Katsir (w.1373). Ia menyusun suatu komentar al-Quran, Tafsir al-Quran al-Ahzim, yang dikalangan tertentu sarjana Muslim modern dipandang sebagai tafsir bi-l-ma’tsur tershahih, kalau bukan paling shahih. Sebagai murid reformis legendaris Ibn Taimiyah, Ibn Katsir – walaupun hidup empat abad stetlah al-Thabari – cenderung kepada tfsir yang bersifat tradisonal. Dalam pendahuluan karya tafsirnya, Ibn Katsir menjelaskan prosedur hermeneutiknya, yang dipandang sebagai metode terbaik dalm tafsir al-Quran. Stase pertama dalam prosedur adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Tahapan ini memperlihatkan gagasan tentang al-Quran sebagai suatu keseluruhan yang padu dan ohesif, sehingga bagian-bagiannya dapat menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Langkah kedua mencakup pemerhatian terhadap sunnah Nabi, karena Nabi merupakan suatu penjelas paling otoritatif terhadap al-Quran (16:44,46; 4:105). Bagi Ibn Katsir, sunnah Nabi merupakan wahyu Ilahi, sekalipun tidak dibacakan oleh Jibril sebagaimana al-Quran. Apabila tidak dapat penjelasan terhadap sunnah Nabi pada salah satu bagian al-Quran, langkah hermeneutik ketiga musti ditempuh, yakni menelusuri pertanyaan-pertanyaan sahabat Nabi tentangnya. Pengikut Nabi dari generasi pertama adalah saksi mata terhadap sirkumtansi dan situasi secara khusus meibatkan mereka. Sekuensi hermeneutik ini terpotong dengan pembahasan tentang dua masalah yang saling berkaitan: pertama adalah penggunaan bahan-bahan Yudeo-Kristiani (al-hadits al-israiliyah) dalam penafsiran al-Quran, yang menurutnya hanya bersifat sokongan suplementer, bukan pijakan utama; dan kedua, menelaah secara kritis riwayat-riwayat tersebut, mensahkan yang benar serta membenarkan yang palsu. Setelah itu, Ibn Katsir melanjutkan prosedurnya hermeneutiknya dengan mengemukakan langkah terakhir, yaitu menelusuri pertanyaan-pertanyaan generasi kedua (tabi’un). Sehubungan dengan demikian, Ibn Katsir menilai bahwa pertanyaan para tabi’un bukan merupakan sumber otoritatif ketika saling bertentangan, bahkan dengan generasi sesudahnya.
Prosedur hermeneutik yang digariskan Ibn Katsir diatas pada faktanya merupakan langkah umum yang ditempuh dalam berbagai kitab tafsir tradisional. Tetapi, artikulasinya dalm bentuk yang sistematis dan metodologis merupakan salah satu kontribusi Ibn Katsir yang paling bermakna terhadap hermeneutik al-Quran. Dan Ibn Katsir memang cukup kosisten dalam menjalankan tahapan-tahapan prosedur tersebut di dalam berbagai penafsiran al-Qurannya. Sekalipun agak polemis, tafsiran-tafsirannya secara umum tetap fair dan informatif.
Mufassir berikutnya yang menulis suatu komentar tentang ekstensif tentang al-Quran, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil, adalah Abu al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1143). Pada umumnya Abu al-Zamakhsyari memiliki pengaruh religius yang tidak begitu besar dalam dunia Islam lantaran berasal dari kelompok teolog “heretik” mu’tazilah. Sekalipun demikian, ia terkenal dengan sebutan imam al-dunya, “iamam uniersal”, dan pakar linguistik terkemuka yang berpengaruh di bidang ini. Mungkin lantaran pertimabangan afiliasi teologis inilah sehingga Goldziher mengelompokkannya ke dalam jajaran komentator aliran tafsir dogmatis, dan bahkan menilai kitab tafsirnya sebagai model untuk aliran tersebut. Sejumlah besar sarjana Muslim juga telah mengelompokkan tafsir Zamakhsyari ke dalam tafsir bi-l-ra’y. Gagasan-gagasan teologis yang berbau mu’tazila dalam tafsir ini – sebagaimana dikemukakan Mahmod Ayoub – sebenarnya tidak terlalu tegas. Hanya dalam sejumlah kecil masalah pandangan teologisnya telah mempenaruhi penafsirannya atas teks al-Quran. Dalam kebanyakan kasus, karya tersebut telah menunjukan kepiawaian Zamakhsyari dalam analisis fiologis dan sintaksis atas ayat-ayat al-Quran. Zamakhsyari bahkan mengeksploitasi kekayaan khazanah bacaan al-Quran dalam batasan-batasab linguistik untuk kepentingan tafsirnya. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan Zamakhsyari lebih bersifat linguistik ketimbang teologis. Ia juga memanfaatkan hadits dalam karyanya, tetapi mengabaikan mata rantai periwayatannya (sanad) ataupun keabsahan teks aktualnya (matn).
Karya besar Zamakhsyari di atas telah diringkas dengan sejumlah tambahan oleh Nashr al-Din ibn Sa’id al-Baydlawi (w.1270) dalam kitab tafsirnya, Anwaral-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Karya ini dimaksudkan sebagai buku pegangan untuk pengajaran tafsir disekolah-sekolah. Karena itu, diupayakan dikemukakan dalam bentuk singkat hal-hal terbaik dan tershahih dalam berbagai tafsir sebelumnya, termasuk varian-varian tafsir yang penting. Sekalipun Baydhlawi berasal dari maen stream teologis filosofis sunni dan hingga taraf yang jauh, telah “membetulkan” kekeliruan-kekliruan mu’tazili dalam tafsir Zamakhsyari, karya tafsirnya tetap dipanfang sebagian besar sarjana Muslim masuk ke dalam kategori tafsir bi-l-ra’y. Keterkaitan karyanya dengan Zamakhsyari – yakni sebagai ringkasan karya sarjana tersebut – merupakan salah satu faktor yang berada di balik kategorisasi itu.
Tetapi salah satu tafsir paling mewakili aliran tafsir dogmatis adalah yang disusun oleh Fakhruddin al-Razi (w. 1209), Mafatih al-Gaib. Karya ini dikabarkan telah sempat diselesaikan al-Razi karena keburu dipanggil kehadirat Ilahi, dan penulisannya diteruskan salah seorang muridnya. Karena sang murid telah menguasai metodologi dan idiom gurunya sedemikian tepatya, gaya penulisan keduanya tidak dapat dibedakan. Itulah sebabnya muncul kontroversi dikalangan ahli tentang bagian mana yang telah diselesaikan al-Razi dan bagian mana yang dilanjutkan penulisannya oleh murid tersebut. Kontroversi selanjutnya adalah apakah hanya satu murid al-Razi yang menyelesaikan penulisan tafsirnya ataukah dua orang, ataukah lebih dari itu.
Pendekatan yang digunakan al-Razi dalam tafsirnya berada sepenuhnya dalam tradisi rasional filosofis. Al-Razi memang merupakan filosof cemerlang pada masanya, dan bukan seorang pakar agama. Ia memulai tafsirnya dengan ayat-ayat al-Quran dengan cara yang rumit serta melibatkan gaya yang terdiri dari berlapis-lapis pendapat dan sanggahan, tetapi sering tidak mencapai kesimpulan apapun. Ia selalu bergerak demikian jauh dari pokok permasalahan tafsir sehingga pembacanya bisa nyasar dalam pertentangan filsafat dan teologis. Lantaran kecenderungan semacam ini, otoritas terkemuka dalam kajian al-Quran, al-Suyuti, mengutip penilaian yang dikemukakan sebagian ulama bahwa karya al-Razi itu “berisi segalanya kecuali tafsir.”
Dalam jajaran aliran tafsir mistik, karya Muhdi al-Din ibn al-‘Arabi (w.1240), Tafsir al-Quran al-Karim, merupakan salah satu tafsir sufistik yang tersebar cukup luas di dunia Islam. Ia dikenal luas sebagai tooh mistikus penganut doktrin pantheistik – yakni doktrin yang memandang seluruh wujud adalah satu, karena merupakan manufestasi dari substansi Tuhan – serta dikenal dikalangan pengikutnya sebagai Syaikh al-Akbar. Karya tafsirnya dikabarkan ditulis salah seorang muridnya, Abd al-Razak al-Qashani. Tetapi, siapapun penulis sebenarnya, karya ini merefleksikan pemikiran dan gaya Ibn al-‘Arabi.
Sebagaimana dengan mufassir sufi pada umumnya, metode yang digunakan Ibn al-‘Arabi dalam penafsiran al-Quran adalah yangdikarakterisasi oleh ortodoksi Islam sebagai ta’wil – dalam pengertian yang berkembang belakangan, yakni ta’wil sebagai penjelasan internal (alegoris) atas kandungan al-Quran, yang dibedakan sebagai tafsir sebagai penjelasan eksternalnya. Metode ini memang memberikan kebebasan untuk masuk kedalam tataran makna batin yang sangat luas dan dalam dari teks, yang memang dituju para sufi. Menurut Ibn al-‘Arabi, Ta’wil itu bervariasi selaras dengan keadaan pendengarnya, seirama dengan momen-momennya dalam berbagai stase (maqamat) perjalanan mistik serta derajat-derajat pencapaian yang berbeda. Ketika seorang sampai pada tingkatan yang lebih tinggi, maka terbukalah baginya pintu-pintu baru yang memungkinkannya melihat makna-makna baru dan halus.
Sementara dalam jajaran aliran sektarian, nama Abu al-Hasan Ali ibn Ibrahim al-Qummi (w. 939) merupakan otoritas klasik Syi’ah Imamiyah yang terkemuka. Kitab tafsirnya, Tafsir al-Qummi, sekalipun sangat ringkas, merupakan karya terlengkap pada masanya dan sangat kental nuansa Syi’ahnya. Cara penafsirannya sangat bersifat apologetis dan ditujukan untuk memperkukuh sejumlah kepercayaan resmi Syi’ah sembari membantai gagasan-gagasan berseberangan ortodoksi Islam dan sejumlah kepercayaan resminya. Al-Qummi, dalam penafsiran al-Qurannya, berangkat dari posisi Syi’ah yang tegas dan jelas tentang eksistensi mushaf utsmani sebagai hasil manipulasi para pengumpul a-Quran. Menurut keyakinan Syi’ah, Utsman dan komisi yang dibentuknya untuk mengumpulkan alQuran telah menggantikan dan tidak mencakupkan ke dalam kodifikasinya sejumlah besar bagian kitab suci tersebut, baik dalam bentuk surat, ayat, dan bahkan kata-kata tertentu, serta telah memporak-porandakan susunannya. Istilah yang biasanya digunakan untuk mengemukakan tuduhan ini adalah tabdil dan tahrif. Doktrin inilah yang menjadi pijakan al-Qummi dalam tafsirnya, yang ilustrasi penerapannya telah ditunjukkan dalam bab 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar