UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945 Lengkapi: Amandemen PEMBUKAAN Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangn pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rachmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN Pasal 1 1. Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. 2. Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Madjelis Permusjawaratan rakyat. BAB II. MADJELIS PERMUSJAWARATAN RAKYAT Pasal 2 1. Madjelis Permusjawaratan rakyat terdiri atas anggauta-anggauta Dewan Perwakilan rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari Daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. 2. Madjelis Permusjawaratan rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu-kota Negara. 3. Segala putusan Madjelis Permusjawaratan rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal 3 Madjelis Permusjawaratan rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara. BAB III. KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARA Pasal 4 1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. 2. Dalam melakukan kewadjibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasal 5 1. Presiden memegang kekuasan membentuk undang-undang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat. 2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk mendyalankn undang-undang sebagaimana mestinya. Perubahan Pasal 5 1. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 6 1. Presiden ialah orang Indonesia asli. 2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Madjelis Permusjawaratan rakyat dengan suara yang terbanyak. Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Perubahan Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pasal 8 Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya. Pasal 9 Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berdyandji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusjawaratan rakyat atau Dewan Perwakilan rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden) : ,,Demi Allah, saja bersumpah akan memenuhi kewadjiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan mendyalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa." dyanji Presiden (Wakil Presiden) : ,,Saja berdyandji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewadjiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan mendyalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa." Perubahan Pasal 9 1. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden) : "Demi Allah, saja bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknja dan seadil-adilnja, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa." Janji Presiden (Wakil Presiden) : "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknja dan seadil-adilnja, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa." 2. Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilian Rakyat tidak dapat mengadakan Sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sugguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. Pasal 11 Presiden dengan persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perdyandjian dengan Negara lain. Pasal 12 Presiden menyatakan keadaan bahaja. Sjarat-sjarat dan akibatnya keadaan bahaja ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 13 1. Presiden mengangkat duta dan konsul. 2. Presiden menerima duta Negara lain. Perubahan Pasal 13 2. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. 3. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 14 Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Perubahan Pasal 14 1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. 2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 15 Presiden memberi gelaran, tanda dyasa dan lain-lain tanda kehormatan. Perubahan Pasal 15 Presiden memberi gelar tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang. BAB IV. DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG Pasal 16 1. Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang-undang 2. Dewan ini berkewadjiban memberi dyawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah. BAB V. KEMENTERIAN NEGARA Pasal 17 1. Presiden dibantu oleh Menteri-Menteri Negara. 2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan. Perubahan Pasal 17 2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. BAB VI. PEMERINTAH DAERAH Pasal 18 Pembagian Daerah Indonesia atas Daaerah besar dan ketjil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusjawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa. Perubahan Pasal 18 1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. 2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. 4. Gubernur, Bupati, and Walikota masing-masing sebagai kepala pemrintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. 5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. 6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. 7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. Pasal 18A 1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kebupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. 2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang. Pasal 18B 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur damam undang-undang. BAB VII. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Pasal 19 1. Susuan Dewan Perwakilan rakyat ditetapkan dengan undang-undang. 2. Dewan Perwakilan rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Perubahan Pasal 19 1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. 2. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang. 3. Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekaili dalam setahun. Pasal 20 1. Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetudjuan Dewan Perwakiln rakyat. 2. Jika sesuatu rantjangan undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu. Perubahan Pasal 20 1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang. 2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Jika rancangan undangundang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undangundang itu tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 3. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. 4. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Pasal 20A 1. Dewan Perwakilian Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 2. Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. 3. Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. 4. Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang. Pasal 21 1. Anggauta-anggauta Dewan Perwakilan rakyat berhak memajukan rantjangan undang-undang. 2. Jika rantjangan itu, meskipun disetudjui oleh Dewan Perwakilan rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rantjangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu. Perubahan Pasal 21 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undangundang. Pasal 22 1. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. 2. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat dalam persidangan yang berikut. 3. Djika tidak mendapat persetudjuan, maka peraturan pemerintah itu harus ditjabut. Pasal 22A Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Pasal 22B Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata cara caranya diatur dalam undang-undang. BAB VIII. HAL KEUANGAN Pasal 23 1. Anggaran pendapatan dan belandya ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undangundang. Apabila Dewan Perwakilan rakyat tidak menjetudjui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah mendyalankan anggaran tahun yang lalu. 2. Segala padyak untuk keperluan Negara berdasarkan undang-undang. 3. Matjam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. 4. Hal keuangan negara selandjutnya diatur dengan undang-undang. 5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan Undang- Undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan rakyat. BAB IX. KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24 1. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. 2. Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undangundang. Pasal 25 Sjarat-sjarat untuk mendyadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. BAB IXA WILAYAH NEGARA Pasal 25A Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. BAB X. WARGA NEGARA Pasal 26 1. Jang mendyadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disjahkan dengan undang-undang sebagai warga Negara. 2. Sjarat-sjarat yang mengenai kewargaan Negara ditetapkan dengan undangundang. BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK Perubahan Pasal 26 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa ndonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. 2. Penduduk ialah waraga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. 3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undangundang. Pasal 27 1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wadjib mendjundjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada ketjualinya. 2. Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerdyaan dan penghidupan yang lajak bagi kemanusiaan. Perubahan Pasal 27 3. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Pasal 28 Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. BAB XA HAK ASASI MANUSIA Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28B 1. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. 2. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28C 1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia. 2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Pasal 28D 1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. 3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28E 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkanya, serta berhak kembali. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. 3. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pasal 28G Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. 3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabai. 4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh siapa pun. Pasal 28I 1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. 3. Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. 4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggun jawab negara, terutama pemerintah. 5. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokaratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28J 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis. BAB XI. AGAMA Pasal 29 1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. 2. Negara mendyamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepertjajaannya itu. BAB XII. PERTAHANAN NEGARA Pasal 30 1. Tiap-tiiap warga Negara berhak dan wadjib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara. 2. Sjarat-sjarat tentng pembelaan diatur dengan undang-undang. Perubahan Pasal 30 1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. 2. Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Repbulik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat, segabai kekuatan pendukung. 3. Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. 4. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. BAB XIII. PENDIDIKAN Pasal 31 1. Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengadyaran. 2. Pemerintah mengusahakan dan menjelenggarakan satu sistim pengadyaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 32 Pemerintah memajukan kebudajaan nasional Indonesia. BAB XIV. KESEDYAHTERAAN SOSIAL Pasal 33 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. 2. Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasasi hadyat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. 3. Bumi dan air dn kekajaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 34 Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara BAB XV. BENDERA DAN BAHASA BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA SERTA LAGU KEBANGSAAN Pasal 35 Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Pasal 36A Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Pasal 36B Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal 36C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang. Pasal 37 1. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada djumlah anggauta Madjelis Permusjawaratan rakyat harus hadir. 2. Putusan diambil dengan persetudjuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada djumlah anggauta yang hadlir. ATURAN PERALIHAN Pasal I Panitja Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menjelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia. Pasal II Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal III Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitja Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pasal IV Sebelum Madjelis Permusjawaratan rakyat, Dewan Perwakilan rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang ini, segala kekuasaannya didyalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. ATURAN TAMBAHAN 1. Dalam enam bulan sesudah achirnya peperangan Asia Timur Raja, Presiden Indonesia mengatur dan menjelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang dasar ini. 2. Dalam enam bulan sesudah Madjelis Permusjawaratan rakyat dibentuk, Madjelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945; b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi; c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi; 2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2. Pegawai Negeri adalah meliputi : a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; 3 b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau e. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3 Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 4 Pasal 4 Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 5 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 6 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 7 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 8 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 9 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 10 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 11 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 12 Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 15 Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Pasal 16 Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadi` tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Pasal 17 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 18 (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana 7 korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Pasal 19 (1) Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan. (2) Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum. (3) Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. 8 (4) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan. (5) Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan kasasi ke Mahkaman Agung oleh pemohon atau penuntut umum. Pasal 20 (1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. (2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus. (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI 9 Pasal 21 Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 22 Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 23 Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 24 Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah). BAB IV PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, 10 DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 25 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Pasal 26 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Pasal 27 Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pasal 28 Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Pasal 29 (1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. (2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 11 (3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. (4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi. (5) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran. Pasal 30 Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Pasal 31 (1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. (2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut. Pasal 32 (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. 12 Pasal 33 Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 35 (1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa. (2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa. (3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah. Pasal 36 Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia. Pasal 37 13 (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. (3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. (4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Pasal 38 (1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. (2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang. (3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya. (4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. (6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding. 14 (7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). Pasal 39 Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Pasal 40 Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan. BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 41 (1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk : a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; 15 c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. (4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. (5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 42 (1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi. (2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 16 BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 43 (1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. (4) Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-undang. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku. Pasal 45 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 17 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. MULADI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR: 140 18 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UMUM Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin maningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. 19 Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena : (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatanperbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi 20 pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara. Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan efisiensi waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligus perlindungan hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan hal tersebut kepada Gubernur Bank Indonesia. Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun 21 sejak Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Pasal 3 Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2. Pasal 4 Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian keuangan 22 negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan. Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Dalam ketentuan ini, frasa “Angkatan Laut atau Angkatan Darat” yang dimuat dalam Pasal 388 KUHP harus dibaca “Tentara Nasional Indonesia”. Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini” adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil. 23 Pasal 15 Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya. Pasal 16 Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat tradisional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuk transfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapat dicegah secara optimal dan efektif. Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) huruf a Cukup jelas huruf b Cukup jelas huruf c Yang dimaksud dengan “penutupan seluruh atau sebagian perusahaan” adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas 24 Ayat (3) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi, maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketiga sebesar nilai hasil lelang atas barang tersebut. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) 25 Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukan untuk didahulukan maka mengenai penentuan prioritas perkara tersebut diserahkan pada tiap lembaga yang berwenang di setiap proses peradilan. Pasal 26 Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping) Pasal 27 26 Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal, perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang : a. bersifat lintas sektoral; b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih; atau c. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi, dan Nepotisme. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan penuntutan, pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasi lintas sektoral dengan Instansi terkait. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan”rekening simpanan” adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpanan barang atau surat berharga (safedeposit box). Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga, deviden, bunga obligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut. 27 Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 30 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada penyidik dalam rangka mempercepat proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita surat harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelapor” dalam ketentuan ini adalah orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 33 Yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam Pasal ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 34 28 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugas agama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia. Pasal 37 Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. Pasal 38 Ayat (1) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan “putusan” yang diumumkan atau diberitahukan adalah petikan surat putusan pengadilan Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) 29 Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkan kekayaan negara. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yang memang berasal dari tindak pidana korupsi. Pasal 39 Yang dimaksud dengan “mengkoordinasikan” adalah kewenangan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Ayat (1) Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d 30 Cukup jelas Huruf e Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Cukup jelas Pasal 45 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 3874
a.bahwa pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b.bahwa dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi, termasuk Perbankan;
c.bahwa dalam memasuki era globalisasi dan dengan telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian khususnya sektor Perbankan;
d.bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, dipandang perlu mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan Undang-undang;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2.Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865);
3.Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN.
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG
PERBANKAN.
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya;
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
3. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
4. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
5. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
6. Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindah bukuan;
7. Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank;
8. Sertifikat Deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan;
9. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu;
10.Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang;
11.Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga;
12.Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil;
13.Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);
14.Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dengan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut;
15.Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk mewakili kepentingan pemegang Surat Berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dengan emiten Surat Berharga yang bersangkutan;
16.Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank;
17.Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
18.Nasabah debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan;
19.Kantor Cabang adalah kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor cabang tersebut melakukan usahanya;
20.Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
21.Pimpinan Bank Indonesia adalah pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
22. Pihak Terafiliasi adalah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank
yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain
pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus;
23. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
24. Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah penyimpan, melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya;
25. Merger adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi;
26. Konsolidasi adalah penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut dengan atau tanpa melikuidasi;
27. Akuisisi adalah pengambil alihan kepemilikan suatu bank;
28. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya."
2. Ketentuan Pasal 6 hurufK dihapus.
3. Ketentuan pasal 6 hurufM diubah, sehingga Pasal 6 huruf M menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 6
M. menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
4. Ketentuan Pasal 7 huruf c, diubah sehingga Pasal 7 huruf c menjadi berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 7
c. melakukan kegiatan penyertaan maodal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan"
5. Ketentuan Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 8
(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
6. Ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta menambah ayat baru di antara ayat (4) dan ayat (5) yang dijadikan ayat (4A), sehingga Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A) menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. Pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huhruf a, huruf b, dan huruf c;
e. Pejabat bank lainnya; dan
f. Perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)."
7. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga Pasal 12 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12
(1) Untuk menunjang pelaksanaan program peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan menengah, Pemerintah bersama Bank Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan Bank Umum.
(2) Ketentuan mengenai kerjasama dengan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
8. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 12 dan Pasal 13 yang dijadikan Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12 A
(1) Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
9. Ketentuan Pasal 13 huruf c diubah, sehingga Pasal 13 huruf c menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 13
c. menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia."
10. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga Pasal 16 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan;
b. Permodalan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang Perbankan;
e. Kelayakan rencana kerja.
(2) Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
11. Ketentuan Pasal 17 dihapus.
12. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 18
(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis -jenis kantor lainnya di luar negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang Bank Umum wajib dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.
(4) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
13. Ketentuan pasal 19 diubah, sehingga pasal 19 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 19
(1) Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia.
(2) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
14. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 20 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 20
(1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Pimpinan Bank Indonesia."
15. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 21 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 21
(1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah."
16. Ketentuan Pasal 22 diubah, sehingga Pasal 22 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 22
(1) Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. Warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan atau badan hukum asing secara kemitraan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
17. Ketentuan Pasal 26 diubah, sehingga Pasal 26 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 26
(1) Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.
(2) Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui bursa efek.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
18. Ketentuan Pasal 27 diubah, sehingga Pasal 27 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank wajib:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26; dan.
b. dilaporkan kepada Bank Indonesia."
19. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 28 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 28
(1) Merger, konsolidasi, dan akuisisi wajib terlebih dahulu mendapat izin Pimpinan Bank Indonesia."
20. Ketentuan Pasal 29 diubah, sehingga Pasal 29 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 29
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(3) Dalam memberikan Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia."
21. Ketentuan Pasal 31 diubah, sehingga Pasal 31 seluruhnya sebagai berikut:
"Pasal 31
Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan."
22. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 31 dan Pasal 32 yang dijadikan Pasal 31A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 31 A
Bank Indonesia dapat menugaskan Akuntan Publik untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan terhadap Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31."
23. Ketentuan Pasal 32 dihapus.
24. Ketentuan Pasal 33 diubah, sehingga Pasal 33 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 33
(1) Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A bersifat rahasia.
(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 31A ditetapkan oleh Bank Indonesia."
25. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga Pasal 37 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 37
(1) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
a. Pemegang saham menambah modal;
b. Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank;
c. Bank menghapus bukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
(2) Apabila:
a. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan/atau
b. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
(3) Dalam hal direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pemb ubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
26. Menambah 2 (dua) ketentuan baru di antara Pasal 37 dan Pasal 38 yang dijadikan Pasal 37A dan Pasal 37B, yang masing-masing berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 37A
(2) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan.
(3) Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud.
(4) Dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain yaitu:
a. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham;
b. Mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;
c. Menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas c kekayaan milik atau yang menjadi hak-hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;
d. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank;
e. Menjual atau mengalihkan kekayaan bank, direksi, komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;
f. Menjual atau mengalihkan tagihan bank dan/atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur;
g. Mengalihkan pengelolaan kekayaan dan/atau menajemen bank kepada pihak lain;
h. Melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;
i. Melakukan panagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa;
j. Melakukan pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
k. Melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;
l. Menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi, komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;
m. Menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan;
n. Melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
(4) Tindakan penyehatan perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sah berdasarkan Undang-undang ini.
(5) Atas permintaan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas yang ada padanya, dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud.
(6) Pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan dan penjelasan yang diminta oleh badan khusus.
(7) Badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri Keuangan.
(8) Apabila menurut penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya, Pemerintah menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut;
(9) Ketentuan yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 37B
(1) Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
(2) Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
27. Ketentuan Pasal 40 diubah, sehingga Pasal 40 seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 40
(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak terafiliasi."
28. Ketentuan Pasal 41 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 41 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 41
(1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak."
29. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 41 dan Pasal 42 yang dijadikan Pasal 41A, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 41 A
(1) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah debitur.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama nasabah debitur yang bersangkutan, dan alasan diperlukannya keuangan.
30. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga Pasal 42 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan Polisi, Jaksa, atau Hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan."
31. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 42 dan Pasal 43 yang dijadikan Pasal 42A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 42 A
Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42."
32. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 44 dan Pasal 45 yang dijadikan Pasal 44A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 44A
(1) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut.
(2) Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut."
33. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 46 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)."
34. Ketentuan Pasal 47 diubah, sehingga Pasal 47 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 47
(1) Barangsiapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjarasekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahunj serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)."
35. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 47 dan Pasal 48 yang dijadikan Pasal 47A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 47A
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah)."
36. Ketentuan Pasal 48 diubah, sehingga Pasal 48 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 48
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).".
37. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga Pasal 49 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 49
(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah)."
38. Ketentuan Pasal 50 diubah, sehingga Pasal 50 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 50
Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
39. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 50 dan Pasal 51 yang dijadikan Pasal 50A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 50A
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)."
40. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 51 ayat (1) menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 51
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A adalah kejahatan."
41. Ketentuan Pasal 52 diubah, sehingga Pasal 52 seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 52
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, asal 49, dan Pasal 50A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, atau Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain adalah:
a. Denda uang;
b. Teguran tertulis;
c. Penurunan tingkat kesehatan bank;
d. Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;
g. Pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan.
(3) Pelaksanaan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh Bank Indonesia."
42. Ketentuan Pasal 55 diubah, sehingga Pasal 55 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 55
Bank yang telah memiliki izin usaha pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-undang ini."
43. Menambah ketentuan baru di antara Pasal 59 dan Pasal 60 yang dijadikan Pasal 59A, yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 59A
Badan khusus yang melakukan tugas penyehatan perbankan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku."
Pasal II
1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, Peraturan tentang Usaha Perkreditan yang Diselenggarakan oleh Kelurahan Di Daerah Kadipaten Paku Alaman (Rijksblaad dari Daerah Paku Alaman Tahun 1937 Nomor 9), dinyatakan tidak berlaku.
2. Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Nopember 1998
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Nopember 1998
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 182
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1998
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992
TENTANG PERBANKAN
U M U M
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa memperhatikan keserasian, keselasaran, dan keseimbangan berbagai unsur pembangunan, termasuk di bidang ekonomi dan keuangan. Perkembangan ekonomi nasional dewasa ini menunjukkan arah yang semakin menyatu dengan ekonomi regional dan internasional yang dapat menunjang sekaligus dapat berdampak kurang menguntungkan. Sementara itu, perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor perbankan sehingga diharapkan akan dapat memperbaiki dan memperkukuh perekonomian nasional.
Sektor perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem perbankan merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem Perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional sehingga dapat berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional. Agar pembinaan dan pengawasan bank dapat terlaksana secara efektif, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank, yang semula berada pada Menteri Keuangan, menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan
yang berlaku. Dengan demikian, Bank Indonesia kewenangan dan tanggung jawab untuk menilai dan memutuskan kelayakan pendirian suatu bank dan/atau pembukaan kantor cabang.
Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi. Peranan perbankan nasional perlu ditingkatkan sesuai dengan fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dengan lebih memperhatikan pembiayaan kegiatan sektor perekonomian nasional dengan prioritas kepada koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta berbagai lapisan masyarakat tanpa diskriminasi sehingga akan memperkuat struktur perekonomian nasional. Demikian pula bank perlu memberikan perhatian yang lebih besar dalam meningkatkan kinerja perekonomian di wilayah operasi tiap-tiap kantor.
Sementara itu, peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam rangka meningkatkan fungsi kontrol sosial terhadap lembaga perbankan, ketentuan mengenai rahasia bank yang selama ini sangat tertutup harus ditinjau ulang, Rahasia Bank dimaksud merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh setiap bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat yang mengelola dana masyarakat, tetapi tidak seluruh aspek yang ditatausahakan bank merupakan hal-hal yang dirahasiakan. Untuk menunjang kinerja perbankan nasional diperlukan lembaga penunjang, baik yang dimaksudkan untuk sementara waktu dalam rangka mengatasi persoalan Perbankan yang dihadapi dewasa ini maupun yang sifatnya lebih permanen seperti Lembaga Penjamin Simpanan. Guna memperkuat lembaga perbankan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan mengenai tanggung jawab pemegang saham yang dengan sengaja menyebabkan
tidak ditaatinya ketentuan perbankan dengan dikenai ancaman sanksi pidana yang berat. Sejalan dengan perkembangan tersebut di atas, dengan komitmen Indonesia dalam berbagai forum internasional seperti World Trade Organization (WTO), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), dan Association of South East Asian Nations (ASEAN) diperlukan berbagai penyesuaian dalam peraturan perbankan nasional termasuk pembukaan
akses pasar dan perlakuan nondiskriminatif terhadap pihak asing. Upaya liberalisasi di bidang perbankan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat sekaligus meningkatkan kinerja Perabankan nasional. Oleh kerena itu, perlu diberikan kesempatan yang lebih besar kepada pihak asing untuk berperan serta dalam memiliki bank nasional sehingga tetap terjadi kemitraan dengan pihak nasional.
Dalam hubungan ini, perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-undang ini, antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing Word Trade Organization, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, dan Undang-undang Nomor 4 Taun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Butir 1 sampai dengan Butir 28
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 6
Huruf m
Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah melalui:
a. pendirian kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang baru, atau
b. pengubahan kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam rangka persiapan perubahan kantor cabang tersebut, kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat terlebih dahulu membentuk unit tersendiri yang melaksanakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah di dalam kantor bank tersebut.
Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah tidak melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan Prinsip Syariah;
b. pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah;
c. persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Angka 4 Pasal 7 Huruf c
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. Penyertaan modal sementara oleh bank berasal dari konversi kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah pada perusahaan yang bersangkutan;
b. Persyaratan kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang dapat dikonversi menjadi penyertaan modal;
c. Penyertaan modal tersebut wajib ditarik kembali apabila:
i) telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
ii) perusahaan telah memperoleh laba;
d. Penyertaan sementara tersebut wajib dihapusbukukan dari neraca bank, apabila dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, bank belum berhasil menarik penyertaannya;
e. Pelaporan kepada Bank Indonesia mengenai penyertaan modal sementara oleh bank.
Angka 5 Pasal 8 Ayat (1)
Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur.
Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.
Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis;
b. Pank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah debitur;
c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d. kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah debitur dan atau pihak-pihak terafiliasi;
f. Penyelesaian sengketa.
Angka 6
Pasal 11
Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh bank mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasannya, sehingga dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank. Mengingat bahwa kredit atau pembiayaan dimaksud bersumber dari dana masyarakat yang disimpan pada bank, risiko yang dihadapi bank dapat berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat tersebut. Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada Nasabah debitur atau kelompok Nasabah debitur tertentu.
Ayat (1)
Kelompok (grup) merupakan kumpulan orang atau badan yang satu sama lain mempunyai kaitan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan keluarga dalam ketentuan ini adalah hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik menurut garis keturunan lurus maupun ke samping termasuk mertua, menantu dan ipar.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (4A)
Larangan ini dimaksudkan agar dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank menerapkan asas-asas perkreditan yang sehat. Bank dinyatakan melakukan pelanggaran atas ayat ini pada saat pemberiannya, saldo kredit atau pembiayaan tersebut melampaui batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Angka 7
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam rangka penjabaran atas ketentuan mengenai asas, fungsi, dan tujuan perbankan pelaksanaanya senantiasa disesuaikan dengan tuntutan perkembangan pembangunan nasional, sepanjang tidak bertentangan dengan program moneter Bank Indonesia.
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a. Kewajiban Bank Umum untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada koperasi, usaha kecil dan menengah dengan prosedur dan persyaratan yang mudah dan lunak;
b. Program peningkatan taraf hidup rakyat banyak yang berupa penyediaan kredit dengan bunga rendah atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan tingkat bagi hasil yang rendah;
c. Subsidi bunga atau bagi hasil yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Angka 8
Pasal 12
Ayat (1)
Pembelian agunan oleh bank melalui pelelangan dimaksudkan untuk membantu bank agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Dalam hal bank sebagai pembeli agunan Nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank dimungkinan membeli agunan di luar pelelangan dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah debiturnya.
Bank tidak diperbolehkan memiliki agunan yang dibelinya dan secepat-cepatnya harus dijual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a. Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan yang kreditnya telah dikategorikan macet selama jangka waktu tertentu;
b. Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu tahun;
c. Dalam jangka waktu satu tahun, bank dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban berkaitan dengan pengalihan hak atas agunan yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Angka 9
Pasal 13
Huruf c
Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan secara konvensional. Demikian juga Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah.
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan Prinsip Syariah;
b. Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah.
Angka 10
Pasal 16
Ayat (1)
Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Namun, di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi. Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan dalam ayat ini. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut, diatur dengan undang-undang tersendiri.
Ayat (2)
Dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar bank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Huruf a
Pada Bank Umum dimungkinkan kepengurusan pihak asing sepanjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Persyaratan kepemilikan dimaksud termasuk jumlah serta komposisi kepemilikan pihak asing yang diizinkan pada Bank Umum.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. Persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di bidang Perbankan dan konduite yang baik;
b. Larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank;
c. Modal disetorminimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat;
d. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan;
e. Kelayakan rencana kerja;
f. Batas waktu pemberian izin pendirian bank.
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan kantor di bawah kantor cabang antara lain mencakup kantor cabang pembantu dan kantor kas. Dalam rangka memenuhi penyediaan layanan jasa perbankan, dimungkinkan pula pembukaan jenis kantor lain di bawah kantor cabang, misalnya tempat pembayaran (payment point), kas mobil, dan anjungan tunai mandiri (ATM). Rencana pembukaan kantor cabang wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Ayat (4)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. persyaratan tingkat kesehatan bank;
b. tingkat persaingan yang sehat antar bank;
c. tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu;
d. pemerataan pembangunan ekonomi nasional;
e. batas waktu pemberian izin pembukaan kantor selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap;
f. batas waktu dan alasan penolakan;
g. batas waktu pelaporan pembukaan kantor di bawah kantor cabang.
Angka 13
Pasal 19
Ayat (1)
Dalam memberikan izin pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memperhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antarbank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat tidak memerlukan izin. Rencana pembukaan kantor dimaksud wajib terlebih dahulu dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. persyaratan tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat;
b. tingkat persaingan yang sehat antar Bank Perkreditan Rakyat;
c. tingkat kejenuhan jumlah Kantor Bank Perkreditan Rakyat dalam suatu wilayah tertentu;
d. pemerataan pembangunan ekonomi nasional;
e. batas waktu pemberian izin pembukaan kantor selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap;
f. batas waktu dan alasan penolakan;
Angka 14
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bank yang berkedudukan di luar negeri adalah bank yang didirikan berdasarkan hukum asing dan berkantor pusat di luar negeri. Dengan demikian, bank yang bersangkutan tunduk pada hukum di tempat bank tersebut didirikan.
Dalam memberikan izin pembukaan jenis kantor-kantor dimaksud, Bank Indonesia selain memperhatikan tingkat kesehatan bank juga memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antarbank, tingkat kejenuhan jumlah kantor bank dalam suatu wilayah tertentu serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Angka 15
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Angka 16
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta.
Huruf b
Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan Bank Umum adalah badan hukum asing, yang bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh rekomedasi dari otoritas moneter negara asal.
Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan bahwa badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan.
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. kepemilikan saham;
b. persyaratan dokumen yang harus dipenuhi;
c. kondisi keuangan calon pendiri bank.
Angka 17
Pasal 26
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memperkuat struktur permodalan, penyebaran kepemilikan, dan meningkatkan kinerja bank tersebut.
Emisi saham dapat dilakukan melalui bursa efek di Indonesia dan atau di luar negeri.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk membuka kesempatan yang lebih luas kepada berbagai pihak, baik Indonesia maupun asing untuk turut serta memiliki Bank Umum.
Ayat (3)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a. Persyaratan kepemilikan saham termasuk kondisi keuangan calon pemilik bank;
b. Persyaratan dokumen yang harus dipenuhi.
Angka 18
Pasal 27
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Rencana pengalihan kepemilikan bank yang dilakukan secara langsung harus dilaporkan terlebih dahulu kepada Bank Indonesia. Pelaporan ini dimaksudkan untuk memastikan agar peralihan kepemilikan dilakukan kepada pihak-pihak yang memenuhi persyaratan sebagai pemilik bank.
Peralihan kepemilikan saham bank yang dilakukan melalui bursa efek dilaporkan kepada Bank Indonesia apabila kepemilikan suatu pihak melalui bursa efek tersebut telah mencapai jumlah tertentu yang dapat mempengaruhi jalannya pengelolaan bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Angka 19
Pasal 28
Ayat (1)
Dalam melakukan merger, konsoldasi, dan akuisisi, wajib dihindarkan timbulnya pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat. Demikian pula merger, konsolidasi, dan akuisisi yang dilakukan, tidak boleh merugikan kepentingan para nasabah.
Angka 20
Pasal 29
Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Yang dimaksud dengan pembinaan dalam ayat (1) ini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, pengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank.
Yang dimaksud dengan pengawasan dalam ayat (1) ini meliputi pengawasan tidak langsung yang terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi laporan bank, dan pengawasan langsung dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif.
Di pihak lain, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Mengingat bank terutama bekerja dengan dana dari masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
Ayat (4)
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia Perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank, termasuk kecukupan modal dan kualitas aset.
Apabila informasi tersebut telah disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah, atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepetingan dan atas perintah nasabahnya.
Ayat (5)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. ruang lingkup pembinaan dan pengawasan;
b. kriteria penilaian tingkat kesehatan;
c. prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan;
d. pedoman pemberian informasi kepada nasabah.
Angka 21
Pasal 31
Pada dasarnya pemeriksaan yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilaksanakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan dapat dilakukan setiap waktu jika dipandang perlu untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan dari praktek Perbankan yang sehat.
Terhadap keuangan negara yang dikelola oleh suatu bank, Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan pada bank yang bersangkutan.
Angka 22
Pasal 31A
Pemeriksaan terhadap bank yang dilakukan oleh Akuntan Publik adalah pemeriksaan setempat yang merupakan bentuk pendelegasian wewenang Bank Indonesia selaku otoritas pembina dan pengawas bank.
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. jenis prosedur, dan ruang lingkup pemeriksaan;
b. jangka waktu dan pelaporan hasil pemeriksaan;
c. tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Angka 25
Pasal 37
Ayat (1)
Keadaan suatu bank dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha bank semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset likuiditas dan rentabilitas, serta pengelolaan bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas Perbankan yang sehat.
Dalam ayat ini ditetapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan terhadap bank yang mengalami kesulitan dan membahayakan kelangsungan usahanya, agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan atau tindakan likuidasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Langkah-langkah dimaksud dilakukan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Yang dimaksud dengan pihak lain dalam ayat ini adalah pihak-pihak di luar bank yang bersangkutan, baik bank lain, badan usaha lain maupun individu yang memenuhi persyaratan.
Ayat (2)
Kriteria membahayakan sistem perbankan yaitu apabila tingkat kesulitan yang dialami dalam melakukan kegiatan usaha, suatu bank tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank lain, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan dampak berantai kepada bank-bank lain.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 26
Pasal 37A
Ayat (1) dan Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kesulitan Perbankan yang membahayakan perekonomian nasional adalah suatu kondisi sistem perbankan yang menurut penilaian Bank Indonesia terjadi krisis kepercayaan masyarakat terhadap Perbankan yang berdampak kepada hajat hidup orang banyak.
Hal ini memerlukan peran langsung dari Pemerintah untuk menanggulanginya melalui kebijakan dan tindakan yang berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mengingat hal tersebut diatas, dalam hal pembentukan badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Pemerintah memerlukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi tersebut dilakukan dengan Komisi yang membidangi keuangan dan perbankan untuk mendapatkan persetujuan.
Badan khusus dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Badan khusus dimaksud dalam ketentuan ini bersifat sementara sampai dengan selesainya tugas yang diberikan kepada badan ini yaitu:
a. penyehatan bank yang diserahkan oleh Bank Indonesia;
b. penyelesaian aset bank baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelola Aset (Asset Management Unit);
c. Pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank.
Ayat (3)
Huruf a
Dengan dilakukannya pengambilalihan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham, badan khusus dapat melakukan pengelolaan dan pengurusan bank dalam program penyehatan, selanjutnya segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham bank dalam program penyehatan menjadi beralih kepada badan khusus.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Dengan ketentuan ini badan khusus dapat menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Huruf d
Dalam hal peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran, dan atau perubahan kontrak oleh badan khusus tersebut menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang telah diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan secara nyata dan jelas kerugian yang dialaminya.
Huruf e
Penjualan atau pengalihan kekayaan oleh badan khusus diikuti dengan beralihnya hak kebendaan kepada pembeli. Dengan demikian pembeli memperoleh kepastian hukum beralihnya hak atas kekayaan tersebut. Penjualan atau pengalihan dapat dilakukan secara langsung atau melalui penawaran secara langsung atau melalui penawaran umum untuk memperoleh harga terbaik.
Huruf f
Pihak lain menurut ayat ini adalah peserorangan, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha swasta, dan atau badan hukum lainnya.
Huruf g
Pihak lain menurut ayat ini adalah perseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta dan/atau badan hukum lainnya.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Menurut ketentuan ini atas piutang bank terhadap pihak ketiga yang diambilalih badan khusus, badan khusus dapat melakukan tindakan penagihan piutang dengan penerbitan Surat Paksa, dengan berdasarkan pada catatan utang debitur yang bersangkutan pada bank dalam program penyehatan. Surat Paksa ini berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh pihak berutang, badan khusus dapat melakukan penyitaan atas hak kekayaan milik pihak yang berutang tersebut, dan selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas harta pihak yang berutang dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Harta yang tidak dapat disita meliputi perlengkapan rumah tangga, buku-buku, dan peralatan kerja untuk kelangsungan hidup dari yang berutang. Walaupun badan khusus ini diberikan kewenangan untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaannya tetap memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan.
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Untuk memperoleh keterangan dimaksud, badan khusus dapat meminta bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang. Yang dimaksud pihak manapun adalah Pihak Terafiliasi dan pihak-pihak lain yang terlibat atau patut diduga terlibat, termasuk badan hukum yang dimiliki oleh bank atau Pihak Terafiliasi.
Huruf l
Kerugian yang dimaksud dapat disebabkan oleh transaksi tidak wajar yang melibatkan bank dalam program ini. Transaksi tidak wajar antara lain:
a. transaksi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu secara tidak sah;
b. transaksi yang tidak berisikan syarat-syarat yang merupakan hasil negosiasi antara pihak-pihak yang tidak berafiliasi; atau
c. transaksi yang mengakibatkan bank tersebut menerima nilai yang tidak sepadan dengan nilai yang dilepaskan atau diserahkan oleh bank itu.
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Tindakan lain yang dimaksud antara lain membentuk suatu divisi dalam badan khusus atau membentuk dan atau melakukan penyertaan modal dalam suatu badan hukum.
Ayat (4)
Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak manapun tidak mencegah atau menunda pelaksanaan tindakan hukum yang dilakukan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini. Dalam hal atas upaya hukum tersebut dikeluarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) memenanagkan pihak manapun tersebut, badan khusus wajib mematuhi putusan pengadilan tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a. pendirian badan khusus;
b. anggaran dan pengeluaran badan khusus;
c. tata cara penagihan piutang bank dalam program penyehatan;
d. tata cara penyertaan modal untuk sementara;
e. pembubaran;
f. tata cara penyehatan bank.
Pasal 37B
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Dalam menyelenggarakan penjaminan simpanan dana masyarakat pada bank, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan:
a. skim dana bersama;
b. skim asuransi; atau
c. skim lainnya yang disetujui oleh Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah memuat antara lain:
a. pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan;
b. struktur organisasi;
c. pilihan skim penjaminan;
d. kewajiban bank untuk menjadi anggota.
Angka 27
Pasal 40
Apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpanan yang sekaligus juga sebagai Nasabah debitur, bank wajib tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpanan.
Keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Bagi bank yang melakukan kegiatan sebagai lembaga penunjang pasar modal, misalnya bank selaku kustodian dan atau Wali Amanat, tunduk pada ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 28
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Angka 29
Pasal 41A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 30
Pasal 42
Ayat (1)
Kata dapat dimaksudkan untuk memberikan penegasan bahwa izin oleh Pimpinan Bank Indonesia akan diberikan sepanjang permintaan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Ayat (2)
Pemberian izin oleh Bank Indonesia harus dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah dokumen permintaan diterima secara lengkap.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 31
Pasal 42A
Cukup jelas
Angka 32
Pasal 44A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat 34
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank.
Angka 35
Pasal 47A
Cukup jelas
Angka 36
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional bank, dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan bank.
Ayat (2)
Cukup jelas
Angka 37
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat dan karyawan bank.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah semua pejabat bank dan karyawan bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.
Angka 38
Pasal 50
Cukup jelas
Angka 39
Pasal 50A
Cukup jelas
Angka 40
Pasal 51
Ayat (1)
Perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut dalam ayat ini digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan, berarti bahwa terhadap perbuatan-perbuatan dimaksud akan dikenakan ancaman hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan apabila hanya sekedar sebagai pelanggaran. Hal ini mengingat bahwa bank adalah lembaga yang menyimpan dana yang dipercayakan masyarakat kepadanya, sehingga perbuatan yang dapat mengakibatkan rusaknya kepercayaan masyarakat kepada bank, yang pada dasarnya juga akan merugikan bank maupun masyarakat, perlu selalu dihindarkan. Dengan digolongkan sebagai tindak kejahatan, diharapkan akan dapat lebih terbentuk ketaatan yang tinggi terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini.
Mengenai tindak pidana kejahatan yang dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai Bank Perkreditan Rakyat pada dasarnya berlaku ketentuan-ketentuan tentang sanksi pidana dalam Bab VIII, mengingat sifat ancaman pidana dimaksud berlaku umum.
Angka 41
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. jenis -jenis sanksi administratif;
b. tata cara pelaksanaan sanksi administratif;
c. tindak lanjut pelaksanaan sanksi administratif;
d. pengawasan pelaksanaan sanksi administratif.
Angka 42
Pasal 55
Cukup jelas
Angka 43
Pasal 59A
Badan khusus yang dimaksud dalam ketentuan ini bersifat sementara, dengan tugas khusus melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyehatkan Perbankan nasional. Badan yang telah ada saat ini dalam rangka melakukan upaya penyehatan perbankan, tetap dapat melakukan tugas penyehatan perbankan berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3790
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NO. 7 TAHUN 1992
TENTANG
PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
a. bahwa untuk memelihara kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berasaskan kekeluargaan harus lebih memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur Trilogi Pembangunan;
b. bahwa perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi ulamanya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak;
c. bahwa perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat disertai dengan tantangan-tantangan yang semakin luas, harus selalu diikuti secara tanggap oleh perbankan nasional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya kepada masyarakat;
d. bahwa Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan dan beberapa Undang-undang di bidang perbankan lainnya yang berlaku sampai saat ini, sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional maupun internasional;
e. bahwa untuk mencapai maksud di atas, perlu disusun Undang-undang baru tentang Perbankan;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2387);
3. Undang-undang Nomor 12 11Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2832);
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2865);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
2. Bank Umum adalah bank yang dapat memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;
3. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
4. Bank Campuran adalah Bank Umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih Bank Umum yang berkedudukan di Indonesia dan didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri;
5. Kantor Cabang adalah setiap kantor bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan, dengan tempat usaha yang permanen dimana kantor cabang tersebut melakukan kegiatannya;
6. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
7. Giro adalah simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara pemindah bukuan;
8. Deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan;
9. Sertifikat Deposito adalah deposito berjangka yang bukti simpanannya dapat diperdagangkan;
10. Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu;
11. Surat Berharga adalah surat pengakuan hutang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatif dari surat berharga atau kepentingan lain atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal: dan pasar uang;
12. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan;
13. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan kontrak antara Bank Umum dengan penitip yang didalamnya ditentukan bahwa Bank Umum yang bersangkutan melakukan penyimpanan harta tanpa mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut;
14. Wali Amanat adalah Bank Umum, yang berdasarkan suatu perjanjian antara Bank Umum tersebut dengan emiten surat berharga, ditunjuk untuk mewakili kepentingan semua pemegang surat berharga tersebut;
15. Pihak Terafiliasi adalah:
a. anggota dewan komisaris atau pengawas, direksi, pejabat, atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, badan pemeriksa, direksi, pejabat, atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank yang bersangkutan, termasuk konsultan, konsultan hukum, akuntan publik, penilai;
d. pihak yang berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank;
16. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan;
17. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang berlaku;
18. Dewan Moneter adalah dewan moneter sebagaimana dimaksud dalam Undangundang yang berlaku;
19. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia;
20. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat.
Pasal 4
Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
BAB III
JENIS DAN USAHA BANK
Bagian Pertama
Jenis Bank
Pasal 5
(1) Menurut jenisnya, bank terdiri dari :
a. Bank Umum;
b. Bank Perkreditan Rakyat.
(2) Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu.
Bagian Kedua
Usahas Bank Umum
Pasal 6
Usaha Bank Umum meliputi :
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
2. surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
4. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5. obligasi;
6. surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
k. membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
1. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
m. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Bank Umum dapat pula:
a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
Pasal 8
Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Pasal 9
(1) Bank Umum yang menyelenggarakan kegiatan penitipan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 6 huruf i, bertanggung jawab untuk menyimpan harta milik penitip, dan memenuhi kewajiban lain sesuai dengan kontrak.
(2) Harta yang dititipkan wajib dibukukan dan dicatat secara tersendiri.
(3) Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititip kan pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.
Pasal 10
Bank Umum dilarang:
a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c;
b. melakukan usaha perasuransian;
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
Pasal 11
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b. anggota dewan komisaris;
c. anggota direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c; dan
e. pejabat bank lainnya; serta
f. perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepen tingan dari pihakpihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 12
Pemerintah dapat menugaskan Bank Umum untuk melaksanakan pro gram pemerintah guna mengembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu, atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, berdasarkan ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Usaha Bank Perkreditan Rakyat
Pasal 13
Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain.
Pasal 14
Bank Perkreditan Rakyat dilarang:
a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
c. melakukan penyertaan modal;
d. melakukan usaha perasuransian;
e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Pasal 15
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan Rakyat.
BAB IV
PERIZINAN, BENTUK HUKUM DAN KEPEMILIKAN
Bagian Pertama
Perizinan
Pasal 16
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan Undang-undang tersendiri.
(2) Izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diberikan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(3) Untuk mendapatkan izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib dipenuhi persyaratan tentang:
a. susunan organisasi;
b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang perbankan;
e. kelayakan rencana kerja; dan
f. hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(4) Untuk mendapatkan izin usaha Bank Perkreditan Rakyat, di samping memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), wajib dipenuhi pula persyaratan tentang tempat kedudukan kantor pusat Bank Perkreditan Rakyat dikecamatan.
(5) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dengan memenuhi ketentuan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, Bank Perkreditan Rakyat dapat didirikan di ibukota kabupaten atau kotamadya, sepanjang di ibukota kabupaten atau kotamadya dimaksud belum terdapat Bank Perkreditan Rakyat.
(6) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan tata cara perizinannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Untuk mendapatkan izin usaha sebagai Bank Umum yang berbentuk bank campuran, wajib dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) dan ayat (6), serta ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, yang mengatur:
a. jumlah kepemilikan dan kepengurusan pihak asing yang diizinkan;
b. pihak-pihak yang diizinkan bekerja sama;
c. hal-hal lain yang menurut Dewan Moneter perlu diatur untuk kepentingan pembangunan nasional.
Pasal 18
(1) Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang dan perwakilan Bank Umum di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(3) Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(4) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
Pasal 19
(1) Pembukaan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat di ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten dan kotamadya, hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor cabang di luar ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten dan kotamadya, serta pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
Pasal 20
(1) Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin. Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Pembukaan kantor di bawah kantor cabang pembantu dari bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
(3) Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Bentuk Hukum
Pasal 21
(1) Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa salah satu dari:
a. Perusahaan Perseroan (PERSERO);
b. Perusahaan Daerah;
c. Koperasi;
d. Perseroan Terbatas.
(2) Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari:
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
c. Perseroan Terbatas;
d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya.
Bagian Ketiga
Kepemilikan
Pasal 22
Bank Umum hanya dapat didirikan oleh:
a. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau
b. Bank yang pendirinya sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pasal 23
Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.
Pasal 24
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tentang perkoperasian yang berlaku.
Pasal 25
Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama.
Pasal 26
(1) Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek di Indonesia.
(2) Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum yang dijual berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum melalui bursa efek, dengan ketentuan tidak menjadi mayoritas.
(4) Khusus bagi Bank Umum milik negara, emisi saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan tanpa mengakibatkan perubahan atas mayoritas kepemilikan saham oleh negara.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Perubahan kepemilikan bank wajib:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6), Pasal 17, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26;
b. dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 28
(1) Merger dan konsolidasi antar bank, serta akuisisi bank wajib terlebih dahulu mendapat izin Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia.
(2) Ketentuan mengenai merger, konsolidasi, dan akuisisi ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 29
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas asset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.
(3) Bank wajib memelihara kesehatan bank sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
(4) Dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.
(5) Untuk kepentingan nasabah., bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian bagi transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.
Pasal 30
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.
(3) Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
Pasal 31
(1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan.
(2) Dalam hal diperlukan untuk menetapkan kebijaksanaan makro, dewan moneter dapat meminta Bank Indonesia untuk :
a. menyampaikan laporan mengenai hasil pemeriksaan bank yang diperlukan;
b. melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank, dan melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
Pasal 32
Jika dianggap perlu, Menteri dapat pula meminta Bank Indonesia untuk menyampaikan laporan mengenai hasil pemeriksaan bank atau meminta Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank dan melaporkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
Pasal 33
(1) Laporan pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 bersifat rahasia.
(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan Pasal 32 ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 34
(1) Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan serta penjelasannya, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(2) Neraca serta perhitungan laba/rugi tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib terlebih dahulu diaudit oleh akuntan publik.
(3) Tahun buku bank adalah tahun takwim.
Pasal 35
Bank wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba/rugi dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pasal 36
Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi Bank Perkreditan Rakyat.
Pasal 37
(1) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia suatu bank diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada Menteri.
(2) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka Bank Indonesia dapat:
a. melakukan tindakan agar:
1. pemegang saham menambah modal;
2. pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank;
3. bank menghapus-bukukan kredit yang macet, dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
4. bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
5. bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
b. mengambil tindakan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila menurut penilaian Bank Indonesia:
a. keadaan suatu bank membahayakan sistem perbankan; atau
b. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank;
Bank Indonesia mengusulkan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha bank tersebut.
(4) Berdasarkan usul Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Menteri mencabut izin usaha bank yang bersangkutan dan memerintahkan direksi untuk melikuidasi bank tersebut.
(5) Dalam hal direksi tidak melikuidasi bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk melikuidasi bank yang bersangkutan.
BAB VI
DEWAN KOMISARIS, DIREKSI DAN
TENAGA ASING
Pasal 38
(1) Pengangkatan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 17.
(2) Perubahan keanggotaan dewan komisaris dan direksi bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Pasal 39
(1) Dalam menjalankan kegiatannya, bank dapat menggunakan tenaga asing.
(2) Persyaratan mengenai penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
RAHASIA BANK
Pasal 40
(1) Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Pasal 41
(1) Untuk kepentingan perpajakan Menteri berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan buktibukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak.
(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Pasal 42
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Menteri dapat memberi izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka/terdakwa pada bank.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah Agung.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksa atau hakim, nama tersangka/ terdakwa, sebab-sebab keterangan diperlukan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan-keterangan yang diperlukan.
Pasal 43
Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.
Pasal 44
(1) Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
(2) Ketentuan mengenai tukar menukar informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.
Pasal 45
Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44, berhak untuk mengetahui isi keterangan' tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 46
(1) Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu tanpa izin usaha dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Pasal 47
(1) Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis dari Menteri kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 atau tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,- (tiga milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
Pasal 48
(1) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Pasal 49
(1) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank;
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
Pasal 50
Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
Pasal 51
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (1), Pasal 49, dan Pasal 50 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) adalah pelanggaran.
Pasal 52
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, dan Pasal 49, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
Pasal 53
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada pihak terafiliasi yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang ini atau menyampaikan pertimbangan kepada instansi yang berwenang untuk mencabut izin yang bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 54
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini :
a. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1996);
b. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2490);
c. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2870);
d. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2871);
e. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2872);
f. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2873);
g. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2874);
h. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2875), dinyatakan tetap berlaku untuk jangka waktu selama lamanya 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank yang didirikan berdasarkan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Dalam hal bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) telah menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini lebih awal dari jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menjadi tidak berlaku lagi.
Pasal 55
(1) Bank yang telah memiliki izin usaha dari Menteri pada saat Undang- undang ini mulai berlaku, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
(3) Bank Perkreditan Rakyat yang telah mempunyai izin usaha pada saat Undangundang ini mulai berlaku, dan berkedudukan di ibukota negara, ibukota propinsi, ibukota kabupaten, dan kotamadya, tetap dapat melanjutkan usahanya sebagai Bank Perkreditan Rakyat hingga dapat ditingkatkan menjadi Bank Umum.
Pasal 56
Ketentuan batas maksimum pemberian kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4), wajib dipenuhi oleh bank selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini.
Pasal 57
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memiliki izin usaha dari Menteri pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, selambatlambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak mulai berlakunya Undangundang ini.
Pasal 58
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD) dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-undang ini dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 59
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebelum berlakunya Undang-undang ini sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-n undang ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan dicabut, diganti atau diperbaharui.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Dengan berlakunya Undang-undang ini maka :
a. Staatsblad Tahun 1929 Nomor 357 tanggal 14 September 1929 tentang Aturanaturan mengenai Badan-badan Kredit Desa dalam propinsi-propinsi di Jawa dan Madura di luar wilayah kotapraja-kotapraja;
b. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1962 tentang Bank Pembangunan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2489);
c. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2842), dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 61
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 Maret 1992
PESANTREN ADALAH RAGAKU, TATA TERTIB ADALAH NAFASKU, DISIPLIN ADALAH JALANKU, AKHLAKUL KARIMAH ADALAH JIWA RAGAKU.
ULAMA'
ILMUAN SEJATI ADALAH ORANG-ORANG YANG TIDAK MERENDAHKAN ORANG-ORANG YANG DIBAWAHNYA, TIDAK MENDENGKI TERHADAP ORANG-ORANG YANG DIATASNYA, DAN TIDAK MENENTUKAN TARIF ILMU PENGETAHUANNYA.
seorang anak yang dilahirkan di kab. soppeng tepatnya di kec. liliriaja (L 490 CY) jenjang karir didunnia pendidikan mulai thn 1993 taman kanak-kanak, 1995 sd hingga 2001, Tsanawiyah hingga pertengahan tahun 2005 ,menlanjutkan ke jenjang SMA mulai pada tahun 2005, dan masuk diperguruan tinggi negeri (UIN ALAUDDIN) Makassar tahun 2008.