SELAMAT DATANG DI MY BLOG

SEMOGA APA YANG TERDAPAT DI DALAM BLOG INI DAPAT BERMANFAAT BAGI SIAPAPUN YANG MEMBUTUHKANNYA DAN DIAMALKAN SEBAGAIMANA MESTINYA.

Senin, 22 Maret 2010

HARTA BERSAMA dalam HUKUM ISLAM SAAT TERJADI PERCERAIAN

HARTA BERSAMA dalam HUKUM ISLAM
SAAT TERJADI PERCERAIAN












HUSNUL KHATIMAH DANIAL
ICHSAN ISKANDAR
IRMAYANTI
JULIANA
JUMRIATI
KHAERUNNISA AWAL WAHID
KHALIDAH OPPIER
MAWADDAH.WS.




HUKUM ACARA PERADILAN 2008
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Dewasa ini,kehidupan masyarakat sangat sering diwarnai dengan masalah pertentangan hukum.Khususnya masalah harta bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘gono-gini’ yang dialami oleh suami istri yang menghadapi perceraian.Masalah ini banyak menyita perhatian berbagai kalangan terlebih media massa,ulama dan masyarakat pada umumnya terutama artis dan pejabat yang sering di blow-up oleh media dan menjadi konsumsi public.Sesuai dengan latar belakang penulisan makalah ini ,berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia,harta gono-gini itu diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan,Kitab undang-Undang hukum Perdata(KUHPer) dan Kompilasi hukum islam(KHI).Pengaturan harta gono-gini diakui secara hukum termasuk dalam hal pengurusan,penggunaan dan pembagiannya
Ketentuan harta gono-gini juga diatur dalam hukum islam.meskipun secara umum dan mendasar tidak diakuinya pencampuran harta kekayaan suami istri(Dalam hukum islam),ternyata setelah dianalisis yang tidak bisa dicampur adalah harta bawaan dan harta perolehan.hal ini sama halnya dengan ketentuan yang berlaku dalam hukum positif,bahwa kedua macam harta itu harus terpisah dengan dari harta gono gini itu sendiri.dalam perspektif hukum islam,harta gono gini dapat ditelusuri melalui pendekatan qiyas dan ijtihad.

B. Masalah

Harta gono-gini dan perjanjian perkawinan sering luput dari perhatian masyarakat karena sering menganggap perkawinan adalah suatu yang suci sehingga tidak etis jika membicarakan masalah harta benda apalagi pembagian harta bersama selama perkawinan jika suatu saat terjadi perceraian.Masyarakat menganggap terlalu materialis jika membuat perjanjian perkawinan sebelum atau saat berlangsungnya pernikahan sehingga apabila pada suatu saat kenyataan bercerai harus dihadapi akan sangat mengalami kesulitan dalam masalah pembagian harta yang telah didapatkan oleh kedua belah pihak selama perkawinan.Mereka bingung dalam pembagiannya,apakah dalam penyelesaian perkara tersebut menggunakan hukum adat,hukum islam,kompilasi hukum islam,kitab undang-undang hukum perdata,atau asas-asas hukum lainnya,yang pada kenyataannya tiap hukum menetapkan peraturan peraturan yang berbeda.jika dalam hukum adat pembagian harta bersama adalah 50:50,walaupun pada kenyataannya ada system kekerabatan yang tidak menggunakan peraturan gono-gini pada saat terjadi perceraian misalnya system patrilineal,matrilineal,dan beberapa daerah lain.Namun disisi lain,peraturan mengenai gono-gini dalam hukum islam dianggap tidak relevan dan tidak adil karena membagai harta bersama sesuai porsi (peran)masing-masing dalam keluarga,atau berpihak pada salah satu pihak bersengketa atau mendiskriminasikan salah satu pihak.Masing-masing pihak saling mengklaim bahwa dirinyalah yang berhak mendapatkan jatah harta gono-gini yang lebih besar Oleh karena itu,Insya Allah kami akan memberikan penjelasan singkat mengenai harta gono-gini dalam persfektif agama islam.


















BAB II
PEMBAHASAN


A. DEFENISI HARTA GONO-GINI

Istilah “gono-gini”merupakan sebuah istilah hukum yang popular di masyarakat.dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(2001:330),istilah yang digunakan adalah “gana-gini”,yng secara hukum artinya,”Harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri’.
Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh JS Badudu dan SM Zain (1996: 421), pengertian harta gono-gini juga sama dengan definisi baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu ‘Harta perolehan selama bersuami istri’.
Sebenarnya, istilah hukum yang digunakan secara resmi dan legal-formal dalam peraturan perundang-undangan di tanah air, baik dalm UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah harta bersama. Hanya, istilah gono-gini lebih popular dibandingkan dengan istilah yang resmi digunakan dalam bahasa hukum konvensional.
Sedangkan menurut Drs. Fachtur Rahman (Ilmu Mawaris :42), memberikan definisi bahwa harta gono-gini adalah harta milik bersama dari suami istri yang diperoleh keduanya selama berlangsungnya perkawinan dimana keduanya bekerja untuk kepentingan hidup berumahtangga.
Di berbagai daerah di tanah air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini (di Jawa). Hanya, diistilahkan secara beragam dalam hukum adapt yang berlaku di masing-masing daerah. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di Minangkabau masih dinamakan harta suarang; di Sunda digunakan istilah guna-kaya; di Bali disebut dengan druwe gabro; dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan
Dengan berjalannya waktu,rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat,baik digunakan secara akademis,yuridis,maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya.

B. DASAR HUKUM HARTA GONO-GINI

Pada dasarnya,tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri (harta gono-gini) .Konsep harta gono-gini pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia.konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku di Negara kita.Percampuran harta kekayaan(harta gono-gini)berlaku jika pasangan tersebut tidak menentukan hal lain dalam perjanjian perkawinan.Dasar hukum tentang harta gono-gini dapat ditelusuri melalui Undang-Undang ,hukum islam,hukum adat dan peraturan lain,seperti berikut:
1. UU perkawinan pasal 35 ayat 1,menyebutkan bahwa harta gono-gini adalah “harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan”.artinya,harta kekayaan yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
2. KUHPerdata pasal 119,disebutkan bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan ,maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri,sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.Harta bersama itu,selama perkawinan berlangsung,tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri.”
3. KHI pasal 85,disebutkan bahwa “adanya harta bersama dalam perkawinan itu,tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri”.Dengan kata lain,KHI mendukung adanya persatuan harta dalam perkawinan (gono-gini).
4. KHI pasal 86 ayat 1 dan 2,kembali dinyatakan bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran harta antara suami dan istri karena perkawinan.”

C. HARTA GONO GINI DALAM HUKUM ISLAM

Konsep harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqih (hukum Islam) klasik ,Fikih Islam klasik adalah produk hukum yang dihasilkan oleh ulama ulama terdahulu sebelum masa modern.Para ulama tersebut mendefenisikan fiqh islam menurut perspektif yang mereka yakini bahwa itu memang seperti apa adanya yang diajarkan Rasulullah SAW.Masalah harta gono-gini sesungguhnya wilayah hukum yang belum disentuh,atau dapat dikatakan sebagai wilayah kajian hukum”yang belum terpikirkan”(ghair al-mufakkar fih).Sebab,isu harta gono-gini lebih banyak berkembang dan urgent untuk dibicarakan pada masa modern.Dalam kajian fiqh islam klasik,isu-isu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris.Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik.Dalam menyoroti masalah harta benda dalam perkawinan.
Meskipun demikian,berdasarkan sejumlah analisis yang akan di ulas bahwa sesungguhnya masalah harta gono-gini tetap ada dalam kajian hukum islam.analisis ini dilakukan melalui pendekatan ijtihad dan qiyas terhadap produk hukum islam yang sudah ada sebagai alat perbandingan.secara umum,hukum islam tidak melihat adanya harta gono-gini.dengan kata lain,hukum islam pada umumnya lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri.apa yang dihasilkan istri merupakan harta miliknya demikian juga apa yang di hasilkan suami adalah harta miliknya.sebagian ahli hukum memandang bahwa hukum islam mengatur system terpisahnya antara harta suami dan harta istri sepanjang yang bersangkutan tidak menentukan lain (tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan).Ada juga yang mengemukakan bahwa hukum islam memberi hak kepada masing-masing pasangan,baik suami atau istri,untuk memiliki harta benda secara perorangan,dan tidak biasa diganggu oleh masing-masing pihak.suami yang menerima pemberian,warisan,dan sebagainya,berhak menguasai sepenuhnya harta yang di terimanya itu,tanpa adanya campur tangan istrinya.demikian halnya bagi istri yang menerima pemberian,warisan dan sebagainya berhak menguasai sepenuhnya harta yang di terimanya itu tanpa ada campur tangan suaminya.dengan demikian harta bawaan yang mereka miliki sebelum terjadinya perkawinan menjadi hak milik masing-masing suami-istri

HUKUM PERNIKAHAN SIRI

Tugas makalah :














AGUS
AQMAL
AKBAR TANJUNG
ABDURRAHMAN
ABDURRAHMAN WAHID
AMIRSYAM MARSUKI
ATIKA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR
FAK. SYARI’AH & HUKUM
PERADILAN 08
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Teriring do’a dan restu atas kehadirat Allah SWT dan karunianyalah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini meskipun masih memiliki banyak kekurangan. Sungguh Maha Besar Allah dengan segala kesempurnaanNya.
Maha Suci Allah yang telah mengutus seorang Rasul yang guna menyempurnakan akhlakul karimah. Oleh karena itu salawat dan salam atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW kami kirimkan diaman beliau telah menyeruh kepada yang merasa ummat beliau untuk meuntut ilmu. Beliau juga merupakan revolusioner sejati, dimana beliau merubah peradaban yang penuh dengan kejahiliaan menuju peradaban yang mahiriah. Dan patutlah bagi stiap manusia yang mengaku ummat beliau untuk mengikuti setiap sunnah – sunnah beliau beserta perintahnya, diantaranya menuntut ilmu.
Makalah yang kami sajikan bukanlah makalah yang penuh dengan kesempurnaan, karena yang membuat makalah ini juga masih jauh dari kesempurnaan, dengan ini kritik dan saran sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kami berharap makalah ini bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkannya, dan mohon dimaklumi apa adanya.

BAB I
PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah.
Pernikahan sirih di Indonesia semakin marak terjadi, karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan hukum positif dan hukum agama.
Agama merupakan suatu visi yang di balik, dan di dalam hal-hal yang senantiasa berubah atau bersifat sementara, sesuatu yang nyata, tetapi tetap menunggu untuk dinyatakan, sesuatu yang merupakan kemungkinan yang masih jauh, tetapi sekaligus juga merupakan kenyataan besar yang sudah terwujud sekarang ini, sesuatu yang merupakan ideal tertinggi yang pantas dicita-citakan, tetapi sekaligus juga sesuatu yang mengatasi segala dambaan.
Suatu agama merupakan agama yang kuat bila dalam ritual dan cara berpikirnya memberikan suatu visi yang menggerakkan hati. Kematian suatu agama datang bersamaan dengan terjadinya represi terhadap harapan tinggi akan suatu petualangan. Alfred North Whitehead, 1967.
Agama merupakan salah satu hukum yang berlaku di negara khususnya Indonesia selain Undang - Undang itu sendiri. Hukum agama banyak yang bertentangan dengan hukum Undang - Undang, maka dari itu hukum agama yang disisi lainnya juga merupakan hukum yang tetap diberlakukan di Indonesia harus searah.
Hukum agama harus sejalan dengan hukum perundang – undangan karena negara Indonesia khususnya, mengakui beberapa agama. Dan Undang – Undanglah yang merupakan hukum tertinggi yang mengikat setiap warga negara Indonesia.
Undang – Undang adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan mengikat semua yang membuat peraturan tersebut. Dan bertujuan mengatur semua tata kehidupan atau semua yang berhubungan dengan kemanusiaan, hak dan kewajiban dll.

B. Maksud dan Tujuan.
Secara garis bsarnya tujuan mempelajari keuntungan dan kerugian nikah sirih agar dapat memahami ketentuan nikah yang sebenarnya dan kedudukan nikah sirih serta mensosialisasikan kepada masyarakat tentang aturan – aturan atau ketentuan baik dalam undang – undang maupun dalam hukum agama mengenai pernikahan.
Selain itu, agar dapat memahami berbagai macam perbedaan pendapat dari tiga bentuk pendekatan, yaitu pendekatan secara agama (Islam), hukum (positif indonesia), dan ditinjau dari segi sosiologis kemasyarakatan.


C. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa nikah sirih marak di Indonesia ?
2. Apa dampak dari nikah sirih ?
3. Apakah nikah sirih diperbolehkan di Indonesia ?
4. Bagaimana pandangan agama Islam dan Undang – Undang tentang nikah sirih ?
5. Apa tujuan mengangkat nikah sirih sebagai judul makalah ?

BAB II
NIKAH SIRIH
HUKUM DAN TUJUAN NIKAH DALAM HUKUM AGAMA
1. Pengertian Nikah
Secara etimolog, nikah berarti berkumpul, seperti perkataan orang Arab berikut ini: تناكحت الأشجار، إذا التفّ بعضها ببعض artinya: Pohon-pohon itu menikah, yakni ketika telah bertemu dan berkumpul sebagian cabang dengan lainnya (telah rindang dan saling membelit dengan cabang-cabang lainnya).
Sedangkan menurut Syara’, berikut ini pendapat beberapa ulama:
a) Taqiyudin Abu Bakar Muhammad Al-Husainy Al-Damasyqy dalam kitab Kifayat Al-Akhyar juz’ 2, nikah adalah aqad yang sudah dikenal yang meliputi rukun-rukun dan syarat.
b) Dr. Wahbah Al-Zuhayly, dalam kitab Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh juz’ 7 mengatakan bahwa nikah adalah, aqad yang dapat membolehkan bersenang-senang dengan wanita, seperti bersetubuh, bertemu kulit, berciuman, berpelukan dan sebagainya dengan catatan bukan muhrimnya sebab susuan atau mushaharah.
Definisi lain dari Dr. Wahbah adalah aqad yang telah ditetapkan syari’, yang telah memberi pengertian kuasa laki-laki untuk bersenang-senang dengan perempuan dan halalnya istimta’ antara perempuan dan laki-laki.
c) Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy Al-Irbily, mendefinisikan sebagai aqad yang di dalamnya terkandung kebolehan bersetubuh dengan lafadh nikah, zawaj atau terjemahannya.
Kesimpulannya, nikah adalah aqad yang dapat menghalalkan istimta’ seorang laki-laki dengan perempuan dengan rukun dan syarat tertentu.
Definisi penulis ini kiranya telah mencakup semua definisi di atas. Alfarisi mengatakan, bahwa kata nikah dapat berarti aqad sebagaimana definisi di atas dan dapat pula berarti bersetubuh dalam arti dua tubuh menjadi satu. Orang Arab membedakan makna keduanya dengan meneliti susunan kalimatnya. Contoh, bila dikatakan si fulan telah menikahi putri sifulan, maka yang dimaksudkan adalah aqadnya. Bila dikatakan dia telah menikahi istrinya atau perempuannya, maka yang dimaksudkan tiada lain kecuali bersetubuh.
Adapun dasar-dasar nikah antara lain adalah :
1. Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 yang berbunyi :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (laki-laki atau perempuan yang masih belum kawin) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamda sahayamu yang perempuan..”
2. Al-Qur’an surat Al-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi :
“.. maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat.. .”
3. Hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Mas’ud, ra. Nabi bersabda, “Wahai para pemuda, siapa diantara kamu yang sudah mampu memberikan nafkah lahir dan batin maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya (nikah itu) lebih dapat menutup mata dan menjaga farji. Dan sesungguhnya puasa dapat menjadi penahan keinginan untuk bersetubuh.”
4. Dan lain-lain yang tidak perlu kiranya ditulis semua.
Nikah termasuk diantara syari’at-syari’at qodimah (terdahulu), dimana nikah ini telah disyari’atkan mulai dari bapak manusia yang pertama yaitu Adam as. yang akan terus berlaku hingga di surga kelak, di tempat yang tiada larangan lagi untuk mengawini muhrimnya sendiri kecuali muhrim yang dalam urutan garis vertikal, yakni ibu ke atas dan anak ke bawah. Mereka tidak boleh dikawini walau disurga sudah tiada berlaku lagi syari’at dengan arti Allah SWT tidak akan mengabulkan keinginan salah seorang penduduk surga untuk mengawini ibunya sendiri atau anak-anaknya sendiri. Demikian diterangkan dalam kitab I’anat Al-Tholobin juz’ 3 bab nikah.

2. Tujuan Nikah
Para dokter mengemukakan tujuan nikah ada tiga, yaitu:
1 Menjaga keturunan.
2 Mengeluarkan air mani yang dapat membawa mudharot di badan bila tidak salurkan.
3 Untuk memperoleh kenikmatan atau kesenangan.

Tujuan nikah dalam kitab I’anat Al-Tholibin.
Dalam kitab Tanwir Al-Qulub, diterangkan bahwa nikah bertujuan untuk melestarikan keturunan, menjaga farji dari perbuatan zina, menutup mata dari pandangan kepada sesuatu yang haram, menyalurkan air mani yang dapat membawa mudlorot terhadap jasmani, serta untuk memperoleh kenikmatan dan kesenangan.
Dr. Wahbah Al-Zuhaily mengemukakan tujuan nikah adalah menjaga diri seseorang agar tidak jatuh pada perbuatan haram, menjaga species insan dari kepunahan, dengan jalan peranakan mulia, melestarikan keturunan dan memelihara hubungan nasab, mendirikan keluarga sempurna dengan aturan kebersamaannya, mewujudkan saling membantu diantara suami dan istri dalam menanggung beban hidup, mengikat cinta kasih dan saling membantu diantara masyarakat, memperkuat ikatan kekeluargaan yang, dengan ikatan keluarga tersebut, dapat tercapai kesempurnaan dalam menjaga kemaslahatan.
Tiga uraian diatas dinuqil dari kitab yang berbeda dengan latar belakang pengarang yang berbeda pula wawasan dan metode dalam praktisi hukum fiqih, dimana Sayyid Al-Bakry dan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy Al-Irbily keduanya adalah ulama-ulama besar dalam madzhab Syafi’i dengan pola pikir salaf.
Perbedaan antara keduanya adalah bahwa Al-Kurdy disamping seorang ahli fiqih juga tokoh tasawuf dalam madzhab Naqsyabandiyah. Sedang Dr. Wahbah adalah seorang ahli fiqih yang hidup di zaman modern, yang mengupayakan perpaduan empat madzhab besar untuk menjawab problematika hukum yang semakin berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi, sehingga penerapan hukum-hukum Islam menjadi dinamis dan terlepas dari kungkungan statisme.
Berikut adalah tujuan nikah dari perpaduan pendapat tiga ulama besar di atas:
1) Melestarikan species manusia dengan jalan yang dibenarkan syari’at agar terhindar dari kepunahan.
2) Menyalurkan air mani dengan jalan yang halal dan jauh dari faktor mudlorot yang mengendapakannya tanpa penyaluran yang benar dapat mengakibatkan pengaruh negatif pada fisik.
3) Memenuhi kebutuhan biologis dan penyaluran nafsu sex pada jalan dan tempat yang benar.
4) Membentuk keluarga dengan ikatan yang kuat dan sah terlepas dari freesex dan kumpul tanpa ikatan yang sah yang menimbulkan fitnah dan kerusakan tatanan sosial.
5) Membina cinta kasih di atas pondasi agama untuk menciptakan kerukunan dan kerja sama dalam menanggung beban hidup.
6) Menjaga hubungan kekeluargaan (nasab dengan status yang jelas).
7) Menjaga diri agar tidak jatuh kedalam lembah kemaksiaan.
8) Itulah tujuan nikah di dunia. Adapun di akhirat maka tujuannya semata-mata hanya memenuhi tuntutan bilogis untuk memperoleh kenikmatan dan kesenangan.


3. Hukum-hukum Nikah
a) Fardlu/Wajib
Nikah hukumnya fardlu apabila:
• Yakin akan jatuh pada perzinaan bila tidak menikah.
• Mampu memenuhi nafkah perkawinan meliputi: mas kawin, nafkah istri (lahir dan batin) serta hak-hak istri.
• Tidak mempu menjaga dirinya dari kekejian (perzinaan) dengan jalan bepuasa atau semacamnya.
b) Haram
Nikah hukumnya haram apabila:
• Yakin akan membuat sengsara dan aniaya terhadap istri, sebab tidak ada kemampuan dalam memenuhi tanggung jawab perkawinan.
• Tidak dapat berlaku adil kepada istri yang lain.
c) Makruh
Nikah hukumnya makruh apabila terjadi kekhawatiran dengan kekhawatiran yang tidak sampai pada tingkat keyakinan akan jatuh pada bentuk penyelewengan dan mudlorot.
d) Sunnah
Nikah hukumnya sunnah apabila seseorang bebas dari faktor-faktor penyebab terjadinya tiga hukum diatas.
Demikian tingkatan hukum nikah hasil kesimpulan dari Dr. Wahbah, yang merupakan perpaduan dari pendapat madzhab empat yang tersohor.
Walhasil, nikah hukum asalnya mubah, dan dapat mengarah pada hukum haram, makruh dan sunnah sejalan dengan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi pelakunya.

4. Syarat Nikah Tanpa Wali dan Saksi.
Sebelum penulis mengemukakan syarat-syarat nikah tanpa wali dan saksi ini, terlebih dahulu penulis akan menyampaikan dua hal pokok.
Pertama, bahwa nikah tanpa wali dan saksi biasa disebut segolongan ulama dengan istilah nikah mut’ah. Istilah ini berdasarkan pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa nikah tanpa wali dan saksi inilah yang disebut nikah mut’ah. Sementara itu, jumhur ulama mendefinisikan nikah mut’ah, yaitu aqad nikah yang ditentukan dengan batas waktu tertentu disertai dengan lafadh mut’ah, bila batas waktu yang telah ditentukan itu habis maka talaq jatuh walau mungkin istri masih berat kepada suami.
Hal kedua yang ingin penulis sampaikan yaitu: untuk memperoleh data dari persyaratan nikah ini, penulis juga melakukan interview dengan beberapa tokoh fiqih (kyai), mengingat sulitnya memperoleh data dari kitab selain madzhab empat di Indonesia yang mayoritas penduduknya bermadzhab Syafi’i.
Di dalam kitab Nail Al-Authar, dijumpai beberapa syarat berikut :
1) Aqad nikah diselenggarakan dengan shighot mut’ah.
2) Ditentukan masanya, misalnya sebulan, dua bulan dan seterusnya.
3) Perempuan harus seorang janda, sedang bagi perempuan yang masih gadis maka wajib ada wali.
4) Dalam keadaan jauh dari lingkungan keluarga (istri), misalnya pergi ke daerah lain dalam rangkaian bisnis, bertugas sebagai serdadu dan sebagainya.
5) Adanya kekhawatiran untuk berbuat zina karena sebab pada nomor 4, atau karena istri tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri karena haid yang tidak teratur dan sebagainya.
6) Tidak saling mewarisi, dan ada mas kawin (mahar).
Demikian hasil dari kitab Nail Al-Authar jilid 9, bab nikah mut’ah.
Dalam Bidayat Al-Mujtahid, dijumpai satu syarat lain, yaitu hendaknya dimeriahkan paling tidak dengan semacam kesenian tambur (terbangan-Indonesia).
Syaikh Zainal Grogolan-Pasuruan, menambahkan satu syarat selain yang tersebut dalam Bidayat Al-Mujtahid di atas, yaitu hendaknya melakukan i’lan atau pemberitahuan minimal terhadap 40 orang di daerah ia tinggal maupun di daerah lain.
Kesimpulannya, bahwa persyaratan nikah mut’ah terpencar-pencar di berbagai kitab yang hanya merupakan lintasan pendapat atau sanggahan dari pengarang sebuah kitab.
Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Aqad diselenggarakan dengan shighot mut’ah
2. Ditentukan masanya
3. Ada mas kawin (mahar)
4. Tidak saling mewarisi
5. Dalam keadaan darurat
6. Aqad diselenggarakan dengan keramaian
7. Adanya kekhawatiran berbuat zina
8. Harus melakukan i’lan (pemberitahuan) kepada orang paling sedikit 40 orang, baik di tempat tinggal mereka ataupaun di daerah lain
9. Perempuan (istri) berstatus janda (sudah pernah menikah)
Sedang mengenai rukun-rukunnya adalah mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
Itulah syarat dan rukun nikah mut’ah.
HUKUM – HUKUM NIKAH SIRIH
Ustas Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf di Majalah Al Furqan (Edisi 12 Tahun III hal. 42) mengatakan
"Dari pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat, dapat diambil kesimpulan bahwa nikah sirih ada dua pengertian, yaitu :
1. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali
2. Pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali namun tidak dilaporkan atau dicatat oleh pegawai KUA setempat"
Untuk pernikahan tanpa wali maka hukumnya Batal dan tidak sah. (Al Furqan Edisi 12 Th. III hal. 42).
Dari Aisyah radhiyallahu'anha berkata Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : "Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya bathil -tiga kali." (HR Ahmad 6/156, Abu Dawud 2069, Turmudzi 1108,
Ibnu Majah 1879 dengan sanad shohih, lihat Al Irwa' 6/242/1840).
Untuk pernikahan dengan adanya wali tetapi tanpa dicatatkan di KUA. Sepanjang terpenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahannya sah.
Syarat dan rukunnya yaitu :
1. Adanya calon suami dan calon istri.
2. Adanya wali.
3. Adanya dua saksi yang adil.
4. Ijab dan Qobul.
Meski tidak dicatatkan di KUA. Kemudian menurut Ustadz Ahmad Sabiq dibagian akhir menerangkan bahwa nikah tanpa dicatat di KUA hukumnya sah secara syar'i. Tetapi selayaknya dicatatkan di KUA.
Saya kira perlu bagi kita untuk mencatatkan pernikahan di KUA untuk mendapatkan surat nikah karena untuk keperluan keperluan lain. Kalau tidak salah surat nikah itu perlu untuk pembuatan akta kelahiran anak. Dll.
Kesimpulannya hukum asal nikah tanpa wali adalah tidak sah sepanjang tidak memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan oleh UU dan Agama.

NIKAH SIRIH MENURUT UU
Meskipun Undang-Undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 34 tahun lalu, praktek nikah siri terus saja berlangsung. Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lampung, H.Nurvaif S. Chaniago mengimbau umat Islam tidak melakukan nikah siri karena melanggar UU.
"Banyak orang ingin memudahkan urusan menikah. Mungkin juga karena alasan tertentu akhirnya sebagian orang memilih untuk menikah sirih. Ini perlu diluruskan kepada umat bahwa nikah sirih itu melanggar UU. Pernikahan itu sah jika sesuai dengan syarat dan rukun agama serta peraturan pemerintah," kata Nurvaif, Selasa (5-2).
Menurut Nurvaif, nikah sirih adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Dilihat dari undang-undang, kata Nurvaif, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum. Alasannya, negara sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA.
"Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama. Karena Undang-Undang Perkawinan itu dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, produk itu harus diikuti umat muslim," kata Nurvaif.
Selain melanggar UU, pernikahan sirih juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara sirih tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.
Dalam Undang -Undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan didalam BAB II tentang syarat-syarat perkawinan, pasal 7
(1) perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilanbelas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.
Nikah sirih atau pernikahan yang dilakukan tanpa sepengetahuan pihak – pihak tertentu maka dianggap
tidak mempunyai ketentuan hukum, hal ini disebabkan perkawinan dilakukan diluar ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang ada dalam UU no. 1 tahun 1974, dalam BAB I tentang dasar perkawinan ;
Pasal 1
'' perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha
Esa ''
pasal 2
1 Perkawinan adalah SYAH, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
2 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus pernikahan sirih yang sering terjadi di masyarakat yang tidak tercatat pada register KUA yang bersangkutan, dengan demikian tindakan perdata yang timbul didalamnya tidak mendapat perlindungan hukum seperti.
>> Perkawinan siri sendiri.
>> Kelahiran anak-anak akan dicap anak luar kawin.
>> Tidak berhak atas hak waris.
Pernikahan sirih dapat menjadi sah apabila yang melakukan pernikahan sirih mendaftarkan kembali pernikahannya kepada KUA setempat dengan persyaratan yang berlaku. dengan demikian pernikahan tersebut telah dicatat dalam buku register perkawinan dan telah dianggap sah dalam UU.
Tujuan Nikah sirih adalah mengatasi kebutuhan sex.
Departemen Agama (Depag) dinilai masih tetap perlu menyosialisasikan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di sisi lain, penyuluhan dan pembinaan keberagamaan mayarakat perlu terus ditingkatkan.
"Upaya ini dimaksudkan agar pemahaman dan pengamalan terhadap UU Perkawinan menjadi lebih baik,'' kata Drs Thohir Luthfi dari Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Depag Jateng dalam press release yang dikirim ke redaksi Suara Merdeka, Minggu (16/12).
Kanwil Depag Jateng khsusnya menjelaskan bahwa menurut UU Perkawinan nikah siri atau nikah yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dari Kantor Urusan Agama (KUA) adalah tidak sah.


KESIMPULAN
1) Nikah adalah syari’at umat-umat terdahulu yang akan berlaku sampai di surga.
2) Nikah di surga boleh dengan muhrim sendiri kecuali ibu keatas dan anak ke bawah.
3) Nikah sangat menjaga garis hubungan antara orang tua dengan anak, sampai-sampai di surga pun yang sudah tiada lagi catatan perbuatan maksiat atau taat berlaku larangan menikahi ibu atau anak. Oleh karena itu sungguh suatu dosa besar dan cela tiada tara jika seorang bapak menzinahi anak sendiri atau anak menzinahi ibunya sendiri.
4) Selain melanggar UU, pernikahan sirih juga sangat merugikan kaum perempuan dan anak-anak. Wanita yang dinikahi secara siri tidak berhak atas warisan suaminya. Begitu juga dengan anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan itu. Anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Anak itu juga tidak bisa mendapat akta kelahiran karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari Negara.
5) Tujuan Nikah sirih adalah mengatasi kebutuhan sex.

DAFTAR PUSTAKA


Sidik, Abdullah. 1983. Hukum Perkawinan Islam.
Jakarta : Tintamas.

Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang – Undang. Yogyakarta : Liberty.

. 2007. “ Depag Perlu Sosialisasikan UU 1 / 1974 ”. Artikel dalam Suara Merdeka. Semarang : Harian Suara Merdeka.

. 1976. Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta : Ghalia Indonesia.

Chandraleka. 2006. Nikah Siri. Independent
IT writer : Visit http : //come.to/
Digitalworks a source jor
Computer habbyst. Belajar Islam. Com.

LAHIR DIJEMPUT HUKUM
HIDUP DIATUR HUKUM
MATI DIANTAR HUKUM

FIQH IBADAH

FIQIH IBADAH


PERADILAN 1

F 2

07.30 – 09.10


DRS. MUNIR SALIM M.H




ABDUL HALM TALLI, SAg . MAg

150 282 232

AMIR SYAM MARSUKI

101 001 08 007



UIN ALAUDDIN

2008/2009

IBADAH

A. Pengertian Ibadah.
Ibadah menurut bahasa adalah: taat, patuh, menurut atau mengikut (bukankah Allah telah memerintahkan wahai bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaithan, sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagi kamu). (sesungguhnya orang – orang yang menyombongkan diri maka masuk keneraka jahannam).

B.Ruang Lingkup Bahasa dan Sistematisnya.
Ibadah adalah penyembahan seorang hamba kepada Tuhan yang dilakukan diri dengan serendah – rendahnya dengan hati yang ikhlas menurut cara – cara yang telah ditentukan oleh agama. Sebagaimana yang terdapat dalam Surah Annisa’ ayat 36 :
(Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang Ibu Bapak, karib-kerabat, anak – anak yatim, orang – orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang – orang yang sombong dan membangga – banggakan diri).
Dan juga terdapat dalam Surah Azzariat ayat 56 :
(dan Aku tidak meciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku).
Surah Al-Baqarah ayat 21 :
(Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang – orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa).
Semua hukum – hukum yang dipetik dari Al-Qur’an dan Sunnah melalui pemahaman dan ijtihad (Istimbat hukum) yang sempurna yang menyangkut hubungan mukallaf.
Termasuk lagi didalamnya Ibadah itu adalah segala bentuk hukum yang disyariatkan. Para serjana hukum Islam membahas ibadah murni yang menyangkut hamba dengan Tuhan. Aturan – aturan khusus yang isinya ibadah misalnya bersuci, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Aturan yang menjadi syariat dalam Islam mengandung peranan dan tingkat kedudukan apakah itu unsur perintah atau larangan dalam Islam yang wajib dipatuhi oleh orang Islam.

C. Hakikat dan Hikmah Ibadah.
HAKIKAT IBADAH.
Hakikat adalah yang sesungguhnya, inti, pokok, atau yang dasar.
Hakikat adalah segala sesuatu yang dilaksanakan sesuai denagn pokok dasar inti, sesungguhnya itulah yang disebut dengan hakikat.
Hakikat ibadah adalah segala sesuatu perbuatan atau tindakan atau perilaku bagi orang Islam yang dilaksanakan dengan penuh atau sesungghnya akan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT. Pada hakikatnya ibadah itu adalah ketaatan untuk melaksanakan perintah atau larangan yang menjadi kewajiban orang isalam untuk memenuhi kewajiban tersebut dalam rangka penyempurnaan akhlakul karimah. Oleh karena itu setiap perintah atau larangan yang kita kerlakan harus dilandasi dengan islam, iman, ichsan (jati diri).
Apabila kita laksanakan suatu perintah dengan berdasar pada tiga kriteria tersebut maka kita akan memenuhi jti diri sebenanya. Dengan demikian penilaian terhadap seseorang tergantung pada tiga ciri tersebut seperti yang terdapat pada kalimat – kalimat syahadat, tauhid, maupun syahadat Rasulullah SAW.
Bahwa apabila seseorang telah bersaksi kepada Tuhannya dan meyakini tiada Tuhan selain Allah maka itu akan selalu mendorong untuk mngerjakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya serta akan menjaga perintah Rasulullah SAW. Seperti yang terdapat pada Surah Al-Baqarah ayat 5 :
(dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali menyambah Allah demi memurnikan kepadanya).

Hikmah Ibadah.
Hikmah disyariatkannya ibadah terulang pada manusia yang melaksanakannya karena keTuhanan Allah SWT tidak akan terpengaruh oleh makhluknya sekalipun semua makhluk pada ingkar dan berdosa tidak akan mengurangi sedikitpun kekuasaan Allah SWT.
Sudah menjadi ketentuan dalam kehendak Tuhan bahwa tiap – tiap makhluk ciptaan Tuhan yang bernyawa selalu dibekali potensi berupa baik dan jahat, akal dan pikiran, dan menjadi senjata yang ampuh untuk digunakan dalam kehidupan bermasyarakat maupun menjalankan perintah atau larangan Allah SWT. Termasuk kewajiban beribadah kepada Allah SWT adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri baik ibadah khusus maupun umum. Karena itu gunakanlah akal pikiran sebaga karunia Allah untuk dipergunakan sebagaimana mestinya yaitu menyembah Allah SWT.
Agar ibadah dapat diterima Allah SWT hendak dengan cara sebagai barikut :
a) Niat (memperbaiki niat, merendahkan dri tunduk dan taat dalam perintah hanya karena Allah semata).
Ikhlas (hendaklah ibadah itu bukan mengharapkan imabalan dari Allah SWT tetapi kerjakan karena perintahnya).
b) Meninggalkan Riya’ (melakukan ibadah karena malu pada sesame manusia atau kaena mau dilihat oleh orang lain).
c) Bermuraqabah (yakni bahwa Tuhan melihat dan Tuhan selalu ada di samping kita sehingga kita selalu melakukan ibadah).
d)Jangan keluar dari wkatu (melaksanakan ibadah dalam waktu yang tertentu dan sedapat mungkin dikerjakan pada awal waktu).

D. Hubungan Ibadah dengan Iman.

E. Macam – Macam Ibadah.
a. Ibadah Khasanah.
Ibadah khasanah adalah ibadah yang telah ditentukan ketentuannya oleh agama seperti shalat, puasa, dan zakat.
b. Ibadah Umum.
Ibadah umum adalah semua ibadah yang dilakukan dengan niat yang baik dan hanya semata – mata karena Allah seperti maka, minum, dll, yang dilakukan demi kesehatan jasmani dan rohani.

# Dari segi berkaitan dengan pelaksanaanya.
- Ibadah jasmani dan rohaniah.
- Ibadah ruhiyah dan harta.
- Ibadah jasmani, ruhiyah, dan harta. Contohnya zakat.
# Dilihat dari kepentingan perorangan atau masyarakat.
- Ibadah fardhu.
- Ibadah ijtimaih (zakat dan haji).
# Dilihat dari segi bentuk dan sifatnya.
- Ibadah berupa perkataan / ucapan lidah. Misalnya berdo’a dan berzikir.
- Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu bentuknya meliput shalat, zakat, haji.
- Ibadah yang tidak tertentu bentuknya (beramal).
- Ibadah yang berupa menahan diri, ihram, puasa, ijtihad.
# Dilihat dari batas pelaksanaanya.
- Ibadah muaqqad yaitu yang dikaitkan dengan syarat dengan waktu tertentu dan batas – batasnya seperti shalat, puas.
- Gairuh muaqqad yaitu ibadah yang tidak dikaitkan oleh waktu dan syarat misalnya infaq dan sedeqah.
# Dilihat dari segi batas- batasnya.
- Ibadah muaddat yaitu ibadah yang dibatasi kadarnya oleh syarat. (Shalat dan Zakat).
- Ibadah gairuh muaddat yaitu ibadah yang tidak dibatasi kadarnya oleh syarat mengeluarkan harta dijalan Allah.

NIAT
A. Pengertian Niat.
Niat adalah cetusan hati untuk melaukan sesuatu perbuatan bergandengan dengan awal perbuatan. Semua perbuatan tidak sah atau tidak diterima kecuali disertai dengan niat.
B. Macam – macam Niat.
• Niat merndahkan diri yaitu niat yang menyatakan kerendahan dan ketundukan.
• Niat taat adalah melakukan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.
• Niat qurban adalah melakukan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.

THAHARA DAN BERSUCI
A. Thaharah atau Bersuci.
Pengertian thaharah dan pembagiannya.
Menurut bahasa atau logawi thaharah adalah bersih. Sedangkan menurut istilah bersih dari hadas dan najis yang telah ditentukan dengan syarah atau menghilangkan najis dengan berwudhu, mandi dan tayammum.
Oleh Syekh Ibrahim Al-Bajuri.
Thaharah ialah pekerjaan yang memperbolehkan shalat seperti mandi, wudhu dan tayammum.
Dan defenisi diatas menunjukkan bahwa thaharah itu adakalanya mengandung hakikat yang sebenarnya seperti bersuci degan air atau menurut hukum bersuci dengan thaharah ketika bertayaumum.
Dalam fikhi Islam pebahasan mengenai thaharah mencakup dua pokok bahasan yang bersuci dari najis dan bersuci dari hadas.
Pada dasarnya agama Islam mengajarkan kebersihan, sebagai realisasi dari pelaksanaan kebersihan. Karena Islam adalah agama yang mementingkan kebersihan, seperti yang tertera dalam Q.S Al-Baqarah ayat 222.
(Mereka bertanya kepadamu tentang haidh maka katakanlah haidh itu adalah kotoran. Oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang – orang yang beertaubat dan menyukai orang – orang yang mensucikan diri).

B. Pembagian Thaharah.
Pada garis besarnya dibedakan menjadi dua bentuk :
a. Bersuci Bathin.
Membersihkan diri dari dosa dan maksiat yang dimaksudkan dengan cara bertaubat dengan sungguh – sungguh dari segala dosa maksiat, kemusyrika, keraguan dll.
b. Bersuci Lahir.
Membersihkan dirir dari hadas dan najis, baik hadas kecil maupun hadas besar.

C. Macam – macam Alat Bersuci dari Hadas dan Najis.
Pada prinsipnya alat bersuci itu adalah air, namun air dalam kedudukannya sebagai alat bersuci dibedakan dalam beberapa macam.
o Air mutlak.
• Air hujan.
• Air yang makruh penggunaannya.

D. Cara bersuci dari hadas.
o Apabila orang yang didalam keadaan hadas kecil harus mensucikan diri dengan wudhu atau tayammum sebelum shalat.
o Apabila hadas besar maka diwajibkan untuk mandi.

E. Cara Bersuci dari Najis.
Untuk bersuci dari najis maka perlu ditinjau dari najis yang akan dibersihkan.
 Najis muhaffafah yaitu najis yang ringan berupa kencing anak laki – laki yang masih kecil atau bayi yang belum makan selain air susu Ibu.
 Najis muthawassithah yaitu segala sesuatu yang keluar dari dubul dan dubur, kecuali mani juga kotoran binatang dan bangkai selain bangkai manusia, belalang dan ikan.
 Najis mugallazah yaitu najis anjing dan babi.

F. Hikmah Bersuci.
 Pada umumnya benda – benda najis baik dari dalam maupun dari luar tubuh manusia banyak mengandung bibit penyakit yang dapat membawa mudarat bagi manusia, dengan bersuci berarti telah mencegah penyakit.
 Dengan melakukan syaiat bersuci berarti menambah keyakinan diri sendiri.
 Dengan melaksanakan syariat bersuci dengan berisi ketentuan dan adap dengan penuh kesadaran dan kedisiplinan akan memprtinggi harkat manusia.
 Sebagai hamba Allah SWT kita harus mengabdi kepaada-Nya, dan salah satu syarat sahnya ibadah adalah bersuci.

WUDHU, MANDI DAN TAYAMMUM

WUDHU.
A. Pengertian Wudhu.
Wudhu menurut bahasa adalah bersih dan suci. Sedangkan menurut istilah membasuh anggota badan tertentu setiap ingin malakukan ibadah terutama shalat dan ibadah - ibadah lainnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Maidah ayat 6 (Hai orang – orang yang beriman apabila hendak kamu melaksanakan shalat, basulah mukamu, dan tangnmu sampai siku, kepalamu dan kaki sampai mata kakimu).

B. Syarat, Rukun dan Sunnah Wudhu.
Syarat Wudhu.
• Islam.
• Tamyis (Orang yang dapat membedakan antar yang baik dan yang buruk).
• Dilakukan dengan air yang suci dan mensucikan.
• Tidak ada yang menghalangi sampai air ke anggota tubuh.

Rukun Wudhu.
• Niat.
• Membasuh muka dari tempat tumbuhnya rambut sampai dagu dan antara kedua telinga.
• Membasuh kedua tangan sampai siku.
• Mengusap sebagin kepala.
• Membasuh kaki sampai mata kaki.
• Tertib berurutan cara mengerjakannya.

Sunnah Wudhu.
• Membaca basmalah.
• Mencuci kedua telapak tangan.
• Membasuh seluruh kepala.
• Mengusap kedua telinga dari dalam dan luar.
• Mendahulukan kanan dari kiri.
• Menyela jari tngan dan kaki.
• Membasuh tiap anggota tubuh tiga kali.
• Menyela – nyela dengan air janggutnya.
• Membasuh anggota tubuh melebihi dari fardhunya.
• Tidak berselang lama waktunya dengan mengerjakan anggota tubuh dengan lainnya.
• Tidak bicara sewaktu wudhu.
• Berdo’a setelah wudhu.

C. Hal – hal yang Membatalkan Wudhu.
• Berhadas.
• Keluar angin.
• Keluarnya kotoran dari dubul dan dubur.
• Hilang akal.

MANDI
A. Pengertian Mandi.
Dalam syariat Islam dianjurkan mandi setelah melaksanakan sesuatu hal tertentu. Seperti halnya bila badan kena najis. Dan juga diwajibkan mandi seperti menghilangkan hadas besar dan kotoran untuk mensucikan badan sebelum melaksanakan ibadah kepada Allah SWT selain itu juga disyariatkan mandi sekali seminggu apabila hendak melaksankan shalat jum’at.

B. Syarat dan rukun mandi.
a. Membasuh tangan.
b. Membersihkan najis pada tangan.
c. Menyiram rambut sambil menyilaminya dengan tangan.

C. Fardhu Mandi.
a. Niat (Dengan sengaja untuk menghilangkan hadas besar) yang dilakukan dengan membasuh anggota pertama, kalaupun niat dilakukan setelah mambasuh anggota pertama maka wajib diulangi. Adapun niat mandi besar. Apabila mandi karena haid atau nifas atau yang lainnya maka disesuaikan dengan penyebabnya.
b. Menghilangkan najis yang ada pada badan.
c. Meratakan penyiramn air pada rambut dan kulit. (Dibawah tiap – tiap rambut terdapat janabat maka cucilah rambut itu dan bersihkanlah).

D. Sunnat Mandi.
a. Membaca basmalah.
b. Beristinja.
c. Berwudhu sebelum mandi.
d. Membasuh anggota tubuh tiga kali.
e. Membasuh secara terus menerus tidak terpisahkan.

E. Sebab – sebab mandi wajib.
a. Bersenggama baik keluar mani atau tidak.
b. Keluar mani baik sengaja karena syahwat maupun tidak sengaja karena mimpi.
c. Meninggal kecuali yang mati syahid.
d. Haid darah yang keluar, yang keluar dari rahim dalam keadaan sehat.
e. Melahirkan.
f. Nifas, darah yang keluar setelah melahirkan.

F. Mandi Sunnat.
a. Mandi jum’at.
b. Mandi kedua hari raya.
c. Mandi kerena sholat gerhana.
d. Mandi setelah memandikan mayat.
e. Mandi bagi orang masuk Islam.
f. Mandi bagi orang yang baru sembuh dari penyakit gila.
g. Mandi bagi orang yang akan berihram.
h. Mandi ketika akan wukuf di Arafah.
i. Mandi ketika akan masuk ke kota Mekkah.
j. Mandi ketika akan tawaf baik Qudhu,wadha dan Iradah.

TAYAMMUM.
A.Pengertian Tayammum.
Menurut bahasa adalah munuju, manyengaja. Sedangkan menurut istilah adalah menyengja mengunakan tanah untuk mngusap muka dan kedua tangan sampai siku dengan sayarat –syarat tertentu.
Tayammum sebagai penggati wudhu dan mandi merupakan keringanan alam rukhsah dari Allah SWT agar manusia tetap melaksanakan shalat dan ibadah yang harus dilaksaaan dangan tayammm bila sulit memakai air, sebagaimana firman Allah surah Annisa ayat 43 (Dan jika kamu sakit dari perjalan atau datang dari tempat buang air atau telah menyentuh perempuan dan tidak mendapatkan air maka bertayammumlah dengan tanah yang suci sapulah mukamu dan tanganmu, sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun).
Kemudian sabda Rasulullah SAW (seluruh bumi dijadikan bagimu dan bagi ummatku sebagai mesjid dan alat bersuci dan dimana shalat itu memenuhi salah seorang diantara ummatku disisinya terdapat alat untuk bersuci).

B. Syarat dan Rukun Tayammm.
1. Syarat Tayammum.
1. Adanya unsur sebab bepergian atau sakit.
2. Sudah masuk waktu shalat.
3. Sudah berusaha cari air pada saaat masuk waktu shalat.
4. Meghilangkan najis yang mungkin terlihat pada tubuh saat mau melaksanakan tayammum.
5. Adanya halangan untuk menggunakan air.
6. Memakai debu atau tanah yang suci.

2. Rukun Tayammum.
1. Niat.
2. Mengusap Muka dengan debu dua kali.
3. Mengusap kedua tangan sampai siku.
4. Tertib.

C. Sunnah Tayammum.
a. Membaca basmalah.
b. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri.
c. Menipiskan debu.
d. Dilakukan secara beratur.
e. Membaca dua kalimat syahadat.

D. Hal – Hal yang Membatalkan Tayammum.
a. Segala yang membatalkan wudhu.
b. Melihat air dalam melaksanakan shalat.
c. Murtad.


SHALAT
A. Pengertian Shalat.
Kata shalat berasal dari bahasa Arab yang digunakan untuk beberapa arti yang berarti do’a sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Attaubat (103) yang artinya “Ambillah zakat yang sebahagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka”.
Shalat juga dapat berarti rahmat sebagaimana firman dalam sura al-azhab (43) yang artinya “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikatnya memohon ampun untukmu supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya yang terang”.
Pengertian shalat menurut syarat adalah bentuk ibadah yang terdiri atas perbuatan dan perkataan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat dalam Islam menempati kedudukan tertinggi dibandingkan ibadah – ibadah lainnya karena shalat merupakan tiang agama.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “shalat adalah tiang agama (H.R Albaihaqi)”.
Adapun pengertian lain shalat ialah mengahadapkan jiwa dan rasa kepada Allah SWT karena tqwa hamba kepada Tuhannya mengagumkan kebesaranNya dengan khusyuk dan ikhlash dalam bentuk perkataan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut cara – cara yang telah ditentukan.

B. Tujuan Shalat.
Dalam kehidupan sehari – sehari yang penuh dengan problem hidup yang sangat kompleks yang selalu menggoda nafsu dan bathin maka shalat merupakan sarana yang sangat ampuh untuk menenangkan hati memberikan kekuatan jiwa dan bathin dalam menghadapi problema hidup.
Karena shalat yang khusyuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT disamping itu juga akan mendapatkan imbalan berupa ketentraman dan kebahagiaan hidup di dunia dan juga berupa pahala di akhirat kelak.

C.Macam – macam Shalat.
Bila ditinjau dari hukum melaksanakannya maka shlalat terbagi menjadi dua yaitu:
a. Shalat fardhu.
Shalat fardhu atau wajib ialah shalat yang harus di kerjaan dan tidak boleh di tinggalkan, apabila di kerjakan mendapat pahala dan di tinggalkan mendap dosa.
Shalat fardhu terbagi dua :
• Fardhu ‘Ain .
Fardhu A’in yaitu shalat yang harus dikerjakan oleh setiap individu.
• Fardhu kifayah.
Fardhu kifayah adalah shalat yang di kerjakan sseorang saja dan yang lainnya sudah terlepas tanggungannya.
Firman allah SWT dalam surat Annisa (103) yang artinya “sesungguhnya shalat itu telah di tentukan waktunya atas orang-prang yang beriman”.
b. Shalat sunnat.
Ialah shalat yang dianjurkan, untuk mengerjakannya diberi pahala bagi orang yang kerjakan dan yang meninggalkannya tidak apa-apa.
Adapan pembagian shalat sunnat ialah:
• Shalat sunnat rawatib.
Shalat sunnat rawatib ialah shalat yang di kerjakan menyertai shalat fardhu baik sesudah atau sebelumnnya. Shalat sunnat sunnat rawatib adalah penting yang selalu di kerjakan Rasulullah SAW baik sesudah atau sebelum fardhu.
Shalat sunnat rawatib terbagi atas:
o Muakkad (penting).
2 rakaat sebelum dhuhur.
2 rakaat sesudah dhuhur.
2 rakaat sesudah isya.
2 rakaatsesudah magrib.
2 rakaat sebelum subuh.
o Ghuiru muakkad.
2 rakaat sebelum dhuhur.
2 rakaat sesudah dhuhur.
4 rakaat sebelum ashar.
2 rakaat sebelum magrib.
2 rakaat sebelum isya.
• Shalat yang bersebab.
Shalat sunnat bersebab yaitu shalat yang di lakukan karena ada sebab-sebab tertentu seperti: shalat gerhana matahari, shalat istisqa.
• Shalat duha.
Shalat duha yaitu shalat yang dilaksanakan pada pagi hari dengan dua rakaat sampai tidak terbatas.
• Shalat sunnat muthlak.
Shalat muthlak yaitu shalat sunnat yang dilaksanakan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, tidak tertentu waktunya kecuali pada waktu yang terlarang dan rakaatnya tidak terbatas.
• Shalat sunnat wudhu.
Shalat sunnat wudhu yaitu shalat sunnat yang dilaksanakan setelah mengerjakan wudhu.
• Shalat sunnat taubat.
Shalat sunnat taubat yaitu shalat yang dilaksanakan dua rakaat untuk memohon ampun atas dosa- dosa yang telah dilakukan.
• Shalat sunnat tasbih.
Shalat sunnat tasbih yaitu shalat sunat dua rakaat yang dilakukan dengan maksud memuji Allah SWT dengan memperbanyak tasbih,tahmid dan takbir.
• Shalat sunnat malam.
Shalat sunnat malam yaitu shalat yang dilakukan pada malam hari contohnya:
o Shalat tarwih.
o Shalat witir.
o Shalat tahajjud.
• Shalat hari raya.
• Shalat tahyatul masjid.

D. Rukun shalat.
a. Niat.
b. Berdiri.
c. Membaca surah Al-fatiha.
d. Rukuk.
e. Bangun dari rukuk.
f. Sujud dengan tumaninah.
h. Duduk diantara dua sujud dengan tumaninah.
i. Duduk akhir membaca tasyahud dan shalawat.
j. Mengucapkan salam.
k.Tertib.

E. Sunnat-sunnat shalat.
a. Mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, telapak tamgan kanan sejajar dengan tangan kiri.
b. Membaca doa iftitah.
c. Ta’uz.
d. Membaca amin.
e. Membaca surah al-quran pada dua rakaat permulaan sesudah membaca al-fatiha.
f. Membaca takbir pada tiap gerakan tertentu.
g. Membaca tasbih.
h. Membaca sami’allahu liman hamida.
i. Meletakkan telapak tangan pada waktu awal atau akhir tasyahud.
j. Melipat kaki kiri kekanan diatas telapak kaki kiri.
k. Membaca do’a ketika duduk diantara dua sujud
l. Duduk tawadu’ pada waktu tasyahud.
m. Membaca do’a setelah shalwat pada duduk terakhir.
n. Membaca salam kedua dan memalingkan muka kekiri dan kekanan.

KEUTAMAAN SHALAT BERJAMA’AH DAN HUKUMNYA
Shalat jama’ah adalah shalat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih salah satunya menjadi imam dan yang lain menjadi makmum.
Keutamaan dilihat dari hadis Nabi SAW yang artinya “shalat jama’ah lebih utama disbanding shalat sendirian dan perbandingannya sabanyak 27 derajat”.
Shalat jama’ah yang dilakukanlebih uatama dilakukan di mesjid kesuali shalat sunnat. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum shalat berjama’ah sebagian ulama’ berpendapat bahwa hukum shalat berjama’ah adalah sunnat muakkad, kebanyakan ulama’ Malikiah berpendapat fardhu kifayah, kebanyakan ulama’ syafi’iah berpendapat fardhu a’in.
Cara melaksanakan shalat berjaa’ah memiliki cara- cara tertentu yang haus diikuti antara lain:
a. Jika makmum hanya seorang, maka dia disebelah kanan, dan jika lebih dari seorang maka berbaris atau bershaf dibelakang imam sehingga imam berada pada tengah shaf mereka.
b. Shaf hendaknya diratakan dan dirpapatkan serta tidak membuat shaf yang baru sebelum shaf didepan terpenuhi.
c. Apabila makmum tertidiri dari anak – anak dan perempuan maka laki – laki menempati shaf didepan kemudian diikuti anak – anak dan baris belakang shaf perempuan.
d. Gerakan makmum sejak tekbiaratul ihram sampai selesai selalu mengikuti garakan shalat imam dan tidak boeh mendahului imam.
e. Apabila seseorang mendapati imam masih mengerjakan shalat hendaklah ia langsung takbiratul ihram mengikuti shalat imam kalau dia dapat mengikuti rukuknya maka dihitung telah mngikuti rakaat yang telah dilakukan itu. Kemudian apabila imam telah selesai shalat dan makmum yang datang terlambat belum sempurna bilangan rakaatnya maka dia harus berdiri dan bertakbir untuk menyelesaikan kekurangan rakaatnya.
f. Ketika imam membaca ayat atau Al-Qur’an dengan suara keras maka makmum tidak usah membacanya melainkan harus mendengarkannya, sebagaimana firman Allah SWT dalam S.Al - A’raf (244).

Makmum tetap diwajibkan membaca surah Al – Fatihah dalam setiap rakaat meskipun imam mengeraskan suaranya. Dalam membaca fatihah makmum menyambung dengan Amin.
Apabila terjadi kekliruan pada perbuatan dan bacaan imam hendaknya makmum mengingatkan imam yang keliru dengan membaca tasbih subhanallah bagi makmum lain dan bertepuk tangan bagi makmum perempuan.

SUJUD SYAHWI DAN SUJUD TILAWAH
Sujud syahwi adalah sujud yang dilakukan karena kelupaan dalam shalat. Caranya adalah sujud dua kali sebelum atau sesudah salam dengan mengucapkan takbir “Maha Suci Allah yang tidak tidur dan mengantuk”.



Apabila hal yang terlupakan itu diketahui sebelum mengucapkan salam maka sujud syahwi dilakukan sebelum salam dan apabila diketahui sesudah salam maka sujud syahwi dilakukan sesudah salam.
Ada beberapa ketentuan atas sebab – sebab dilakukannya sujud syahwi, karena melupakan antara lain:
a. Apabila rakaat sembahyang tidak sempurna dan telah diketahui maka harus penyempurnaannya terlebih dahulu shalatnya dan setelah shalat baru dilakukan sujud syahwi.
b. Jika seorang mengerjakan shalat dan lupa akan bilangan rakaatnya yang elah dikerjakan hendaklah mengambil yang diyakini yang tersedikit dan kemudian sebelum salami ia disunnahkan sujud ayahwi. Apabila jumlah rakaatnya lebih dan diketahui sesudah salam, bersamaan diketahuinya hal itu maka pada saat itu dilakukan sujud syahwi.
Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan dalam shalat ketika membaca ayat sajadah dalam bacaan Al-Qur’an. Sujud tilawah hukumnya sunnat, sesuai dengan sabdah Nabi SAW yang artinya “Nabi SAW mambaca Al-Qur’an maka dibaca sebuah surah yang didalmnya terdapat ayat – ayat sajadah kemudian beliau sujud dan kamipun ikut sujud bersamanya”.
Syair Sabit menerangkan dalam fiqih sunnah, ada beberapa surah yang memiliki ayat – ayat assajadah diantaranya:
a. S.Q Al – A’raf (206).
b. S.Q Annahl (49).
c. S.Q Maryam (58).
d. S.Q Al – Haj (37).
e. S.Q Ar – Ra’du (15).
f. S.Q Al – Isra’ (107).
g. S.Q Al – Furqan (60).
h. S.Q Shaf (24).
i. S.Q An – Najm (62).
j. S.Q Al – A’raf (15).
k. S.Q As – Sajadah (15).
l. S.Q Al – Fulsilat (37).

Cara melaksanakannya yaitu sujud sekali dengan bertakbir ketika akan sujud dan bangun dari sujud.
Apabila dalam shalat berjamaah dibacakan ayat assajadah tersebut maka makmum mengikuti imam namun melakukansujud tilawah mana kala imam melakukannya.
Bacaan dalam sujud tilawah adalah:
“wajahku sujud kepada Tuhan yang menjadikannya yang membuka pendengaran dan penglihatan dan daya kekuatan maka berkah Allah sebaik – baik berkah Sang Pencipta”.

MENKASAR DAN MENJAA’ SHALAT
Shalat kasar adalh shalat yang dipendekkan atau memendekkan jumlah rakaat dari empat menjadi dua rakaat. Shalat kasar ini diperuntukkan bagi orang yang dalam keadaan bepergian, berdasarkan firman Allah AWT dalam surah An-Nisa’ (101).
Shalat yang dapat dikasar hanya shalat fardhu yang empat rakaat, sedang shalat yang lai tetap tidak boleh dikasar.
Para Ulama’ berbeda pendapat tentang hokum mengkasar shalat fardhu. Ulama’ Syafi’iah berpendapat mubah, Ulama’ Malikiah berpendapat sunnat muakkad, Hanafiah wajib.

JENAZAH
A. Memandikan Jenazah.
Apabila ada Muslim menggal dunia hendaknya kita segera mengunjngi keluarga yang ditinggalkan untuk berbela sugkawa atas musibah yang menimpahnya. Melaksanakan kewajiban terhadap jenazah karena pengurusan jenazah itu hukumnya fardhu kifayah yang dibebenkan kepada semua ummat Islam.
Memandikan jenazah untuk membersihkan dan mensucikan jenazah dari kotoran yang melekat pada jazat jenazah selama sakit sampapai meninggalnya sehingga dengan demikian dapat menghadap Allah SWT dalam keadaan bersih dan suci.
Syarat – syarat memadikan jenazah:
a. Jenazah beragama Islam.
b. Ada tubuhnya walau sebagian.
c. Jenazah bukan mati syahid.
Hukum memandikan jenazah. Jumhur Ulama’ berpendapat adalah fardhu kifayah. Jenazah yang wajib dimandikan adalah Muslim yang tidak gugur didalam peperangan ditangan orang kafir.
Orang yang mati syahid tidak wajib dimandikan tetapi kepadanya wajib dikafani dan dimakamkan tanpa dibasahi sedikitpun walau dalam keadaan junub. Demikian pendapat Malikiah dan mazhab Syafi’i.
Orang yang memandikan jenazah harus mengatahui tatacara memandikan jenazah juga harus dipercaya agar tidak membuka rahasia termasuk aurat jenazah yang dilihatnya dan sebaik – baiknya ialah yang dekat hubungannya dengan jenazah.
Menurut Imam Malik dan Ahmad, suami boleh memandikan istrinya. Menurut Imam Abu Hanifah suami tidak boleh memandikan istrinya tetapi hanya mentayammumkan. Imam Syaifi’I berpendapat bahwa apabila ditempat itu tidak terdapat perempuan maka ditayammumkan. Ibnu Hasan tetap membolehkan memandikan oleh lawan jenis yang kira – kira dapat dipercaya dan apabila ditempat itu tidak terdapat air barulah boelh ditayammumkan.



Cara memnadikan jenazah:
a. Menyiram air kesleuruh jazatnya dimulai dari bagian kepala kebagian tubuh wudhu dan keseluruhan jazat lainnya.
b. Dimulai menyiram pada bagian jazat sebelah kanan kemudian sebelah kiri.
c. Perutnya diremas – remas ditekan pelan – pelan untuk mengeluarkan kotoran yang ada didalamnya kecuali wanita hamil yang didalam perutnya ada janin yang sudah mati.
d. Membersihkan semua kootorsn dan najis diseluruh jazat jenazah dengan sebersih – bersihnya dengan hat - hati khususnya pada bagian mahkota. Membersihkan mulut, gigi, hidung, telinga, kuku, kaki dan tangan.
e. Rambut dan janggut disisir rapih, bila ada rambut yang tercabut dicampur kembali saat mengkafaninya.
f. Jenazah perempuan yang panjang rambutya hendaknya dikepan tiga bagian saat dimandikan dan diurai kembali pada saat dikeramas kecuali rambut pendek maka todak usah dikepan.
g. Memandikan jenazah hendaklah berkali – kali siramannya dengan jumlah bilangan ganjil misalnya 3x, 5x, 7x, dst sampai benar – benar bersih.
h. Pada bilangan ganjil yang terakhir sebaiknya dicampur wangi – wangian atau kapur bagus.
i. Bila selesai memandikan dan tiba – tiba ada kotoran yang keluar, kebanyakan ulama’ menganjurkan dibersihkan dengan kain atau semacamnya dan sebahgaian kecil ualama’ mewajibkan memandikan ulang sampai bersih.
j. Apabila telah bersih dan selesai dimandikan maka jazat dikeringkan dengan handuk atau semacamnya agar kain kafan tidak basah.
k. Bagi orang yang sudah memandikan jenazah dianjurkan yntuk mandi.

B. Mengkafani Jenazah.
Mengkafani jenazah ialah meutup aurat jenazah dengan kain putih sebagai penghormatan kepada ummat manusia.
Ketentuan mengkafani jenazah:
a. Kain putih.
b. Baik bersih dan halal.
c. Dapat menutup seluruh jazad jenazah.
d. Diberi wangi – wangian.
e. Tidak perlu kain yang mahal dan berlebih – lebihan.
f. Jenazah laki – laki disiapkan kain 3 lembar dan untuk wanita 5 lembar.
g. Apabila telah berusaha mencari kain putih dan tidak ditemukan maka bias dengan kain warna lain, bahkan dalam keadaan terpakasa kain tidak diperbolehkan maka bolash menggunakan selain dari nahan kain misalnya tikar, kulit, kertas, atau daun kayu, dsb.

Pelaksanaan pengkafanan:
a. Mengangkat jenazah dengan hati – hati dari tempat permandian dan dibaringkan diatas kain yang telah dihamparkan.
b. Tutup dengan kain, kemudian diberikan kapas pada bagian badan atau lubang yang dianggap perlu terutama pada kemaluan, hidung, buah dada, telinga, mulut dan dubur.
c. Posisi jenazah tetap pada sebelum dimandikan yakni melintang keselatan keutara seperti orang yang hendak shalat.
d. Sebelum jenazah ditutup dan diikat, dibolehkan kerabat yang lain untuk menyaksikan atau menciumnya.
e. Tutup dan selimuti enazah dengan rapih kemudian diikat dengan tali yang sudah disediakan dengan simpul terbuka.
f. Mengikat pinggul dan kedua pahanya dengan kain.
g. Pasangkan selimut kain dari punggung sampai kaki.
h. Pasangkan baju kerudungnya dan kerudung kepalanya.
i. Sebaiknya rambut yang panjang dikepang dalam tiga bagian.
j. Membungkus dengan kain kafan yang apling bawa atau yang paling lebar.
k. Kemudian ditutup dengan tali, tiga sampai lima ikatan.
l. Khusus orang yang sedang melaksanakan ihram dimekkah, apabila meninggal maka jenazahnya dikafani dengan pakaian ihramnyasesudah dimandikan tanpa diberi wangi – wangian.

Demikian pendapat sebagian Ulama’. Sedangkan menurut Hanafi dan Maliki kalau seorang yang ihram telah mati maka putuslah iramnya sehingga harus dikafani seperti mayat biasa.

C. Menshalati Jenazah.
Jenazah seorang muslim yang sudah dimandikan dengan baik, maka segera dishlatkan. Untuk melaksankan shalat jenazah harus memenuhi syarat – syarat dan rukun – rukunnya.
Adapun syarat – syaratnya:
a.

Masalah puasa

A. pengertian Puasa
Menurut logawi [uasa dkenal denan shiyam atau shaum yang berarti berpantang atau menahan sesuatu dengan kata lain menahan suatu perbuatan perbuatan yang membatalkan puasa misalnya mencegah berkata kotor, menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.
Adapun pengertian menurut istilah ialah menahan diri dari makan dan minum, menahan hubungan suami istri pada saing hari dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam metahari.
Puasa adalah kewajiban umat islam yang harus di lakukan (baik laki-laki maupun perempuan) selama sebulan didalam bulan ramadhan berdasarkan firnan allah SWT dalam al-quran surat al-baqarah ayat:183
Puasa di bulan ramadhan ini pertama kali dilakukan pada tahun ke2 hijrahnya Nabi Muhammad SAW, kewajiban ini atas orang-orang yang sudah mukallaf dan atas orang – orang yang mampu menjalankannya, karena itu tidak di wajibkan kepada:
c. anak-anak
d. orang gila
e. orang yang hilang akal, contohnya orang mabuk.
f. Orng yang sudah sangat tua
g. Orang yang sakit yang bila berpuasa penyakitnya bertambah.
Sesuai sabda rasulullah dari Ali r.a berkata nabi Muhammad SAW telah bersabda: diangkat tuntutanhukum dari tiga macam orang, dari anak-anak hingga ia balig dan dari orang yang tidur hingga ia bangun dan dari orang gila hingga ia sembuh.(H.R Abu Daud Annasai)

B. syarat-syarat puasa




Ibadah Haji dan Umrah.

BAHASA DAN TERMINOLOGI HUKUM

BAHASA DAN TERMINOLOGI HUKUM


PERADILAN 1

F 2

07.30 – 09.10


ABDUL HALIM TALLI SAg MAg




ABDUL HALM TALLI, SAg . MAg

150 282 232

AMIR SYAM MARSUKI

101 001 08 007



UIN ALAUDDIN

2008/2009

KOMPETENSI DASAR BAHASA DAN
TERMINOLOGI HUKUM

- Mampu membahasakan istilah – istilah hukum.
- Fungsi – fungsi bahasa adalah sebagai aspek komunikasi atau tempat penilaian akhlak terhadap seseorang.

I . Pendahuluan.
A. Bahasa Indonesia.
B. Bahasa Hukum Indonesia.
C. Kegunaan.
D. Maksud dan tujuan.

II. Beberapa Pengertian.
A. Pengertian Bahasa.
B. Semantik.
C. Kaedah.
D. Komposisi.
E. Fiksi.
F. Pembentukan.
G. Penafsiran.
a. Tata bahasa.
b. System.
c. Sejarah.
d. Sosiologi.
e. Otentik.

III. Bahasa Keilmuan Hukum.
A. Kebiasaan dan adat.
B. Hukum adapt dan perundang undangan.
C. Hubungan hukum dan hak.
D. Absolute dan relative.
E. Subyek hokum dan objek.
F. Peristiwa hokum.

IV. Bahasa Hukum dan Ketatanegaraan.
A. Konstitusi.
B. Kontensi.
C. Bentuk ketatanegaraan, meliput :
a. Negara kesatuan.
b. Negara serikat.
c. Konfederasi dan protectoral.
d. Konfederasi dan kemakmuran.
e. UNI.
f. Kerajaan.
g. Republik.
h. Demokrasi.
D. Ideologi Negara kesatuan.
E. Triak politica.
F. HAM.
G. Perubahan konstitusi.
H. Hukum administrasi.
I. Hukum internasional.

V. Bahasa Hukum dan Ketatanegaraan Adat.
A. Pancasila.
B. Bhinneka Tunggal Ika.
C. Sang Bhumi Ruwa Juwai.
D. Swastika.
E. Musyawarah.
F. Masyarakat Hukum Adat.
G. Persekutuan Hukum Adat.
H. Persekutuan Ketatanegaraan.
I. Keorganisasian.

VI. Bahasa dan Keperdataan.
A. Kewarganegaraan dan kekeluargaan.
B. Anak.
C. Perkawinan.
D. Pewarisan.
E. Perikatan.
F. Perdagangan.

VII. Bahasa Hukum Pidana.
A. Asas hokum pdana.
B. Peristiwa pidana.
C. Pelakunya.
D. Kesalahan.
E. Hukuman pokok.
F. Hukuman.
G. Hukuman tambahan.
H. Kejahatan dan pelanggaran.
I. Perbuatan pelanggaran.

VIII. Bahasa Hukum Acara.
A. Pancaasila.
B. Hakim.
C. Persidangan.
D. Bantuan hokum.
E. Acara perdata.
F. Acara pidana.
G. Putusan pengadilan.
H. Banding.
I. Kasasi.
J. Eksekusi.



URAIAN
II. Beberapa Pengertian.
A. Pengrtian Bahasa.
Bahasa adalah media untuk berkomunikasi, dan terbagi menjadi :
- bahasa tulis ;
- bahasa tubuh.

B. Pngertian Semantik.
Semantik adalah ilmu yang menyelidiki makna atau arti kata – kata umumnya yang tuntas arti kata – kata dalam bahasa tertentu dan hubungan arti dan pertbahas arti dari masa kemasa.
Semantik hukum adalah pengetahuan hukum yang menyelidiki makna atau arti kata – kata hukum, hubungan dan perubahan arti dari waktu kewaktu.
Ada 3 kajian semantik :
- Arti / perubahan kata.
- Hubungan.
- Perubahan.
Contoh :
………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………………………………………………

C. Kaedah Hukum.
Mengandung kata – kata perintah dan asas (aturan dasar) larangan dan mengandung paksaan.

D. Komposisi Hukum.
Merupakan alat – alat yag dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk basa dan istilah.
Syarat : - Dokmatis (dipandang benar) (suatu yang diterima masyarakat).
- Sistematis (melakukan perubahan melihat dari aspek) (menyimpulkan komponen – komponen dan diterima semua).

E. Fiksi Hukum.
Menggunakan istilah yang fiktif yang berbentuk hiasan untuk memberikan pengertian sacara abstrak yang tidak sebenarnya atau suatu yang khayal dalam bentuk hukum.
Contoh : “dalam bahasa bugis” (akkitaki mubuta, arengkalingaki mumataru - taru) yang artinya jangan membeberkan aib sesama.

F. Pembentukan Hukum.
Masyarakat lampau pembentukan hukum banyak dari kata – kata seni, luksan, lambing atau peribahasa.
Contoh : Bulat air karena pembuluh.
Bulat kata karena mufakat.



Makna Hukum.
Didalam musyawarah biasa terjadi perbedaan pendapat namun karena pimpinan yang bijak dan rasa kebersamaan menimbulkan kesepakatan.
- Tidak ada orang yang mau menghujani garamnya.
Tidak ada orang yang mau mengakui kesalahannya.

Tidak sesuai dengan masyarakat modern karena masyarakat modern itu berikir kongkrit dan tidak mementingkan perasaan.
Pembentukan hukum masyarakat modern harus menggunakan istilah dan bahsa hukum modern yang bersifat rasiona dan modern.
Hukum yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang dapat dilihat dari segi politik dan tehknik hokumnya. Politik hokum yang dimaksd adalah berkehendak yang tertera dalam kalimat – kalimat yang menetapkan tujuan dan isi peraturan tersebut. Tujuan itu harus memenuhi masyarakat yang mengikuti kepentingan politik ekonomi dan social masyarakat modern.
Tekhnik hokum adalah cara merumuskan kaedah – kaedahnya dengan menempatkan kata – kata dan kalimat – kalimat yang dibuat sedemikian rupa sehingga maksud dari pembentukan hukum jelas dapat diketahui.
Dalam pembentukan hukum ada dua factor yang menentukan yaitu formal dan material.
Formal adalah membentuk hokum dalam perundang – undangan, administrasi Negara, peradilan adat, kebiasaan, dan ilmu pengetahuan.
Material adalah pembentukan perasaan hokum seseorang dan pendapat umum.

G. Penafsiran Hukum.
Dikenal cara penafsiran hukum.
- Penafsiran menurut tata bahasa.
Penafsiran ini mencari arti maksud dan tujuan dalam kaedah hukum.
Contoh : pasal 1338 KUHPerdata “semua perstujuan yang dibuat dengan sah berlaku sebagai UU terhadap mereka yang membuatnya”.
(sah : resmi, jelas, dibuat oleh yang berwenang sesuai perundang – undangan yang berlaku).

- Menurut sistem.
Penafsiran suatu kesatuan atau kebulatan pengertian dari unsur – unsur yang saling bertautan antara satu dengan yang lainnya.
Contoh : makna sah pada pasal 1338 dan pasal 1320 KUHPerdata menyatakan untuk sahnya persetujuan diperlukan empat syarat :
o Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya.
o Kesepakatan untuk membuat suatu perikatan.
o Suatu hal yang tertentu.
o Suatu sebab yang halal.

- Menurut sejarah.
Penafsiran menurut sejarah terjadinya peraturan tertentu, dan apa yang merupakan latar belakang, maksud dan tujuan peraturan itu ditetapkan, dan dimasuknnya pasal – pasal tertentu ke dalam suatu peraturan.
Dalam praktek hakim, jaksa, pengacara terlebih dahulu berhadapan dengan perundangan yang memerlukan penafsiran. Untuk itu perlu dipelajari laporan – laporan, surat – surat keterangan atau penjelaasan tertulis ketika peraturan itu dibuat.

- Menurut Sossiologi.
Penafsiran menurut sosiologi yaitu penafsiran menurut kenyataan yang hidup didalam masyarakat. Penafsiran ini penting akan hokum yang berlaku dengan berkaitan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Contoh : penafsiran tentang delig zina.

- Secara otentik.
Otentik dalam bahasa Belanda adalah volledig bewijs opleverend maksudnya memberikan keterangan atau pembuktian yang sempurna, yang sah atau resmi.
Penafsiran otentik yaitu penafsiran hokum yang dilakukan oleh pembuat hokum sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan dalam suatu peraturan.
Contoh : pasal 512 – 518 KUHPerdata. Dimana menerankan arti kata – kata barang bergerak, barang rumah tangga, perkakas rumah tangga, barang yang gunanya agar rumah dapat didiami, suatu rumah dengan segala sesuatu yang ada didalamnya.
Pasal 512 menyebutkan : apabila didalam UU atau suatu perbuatan perdata digunakan istilah barang – barang bergerak, perkakas rumah tangga, nable atau perabot rumah tangga, perhiasan rumah tangga, atau rumah dengan apa yand ada didalamnya dan semua tanpa kata – kata tambahan perluasan, atau pembatasan, maka istilah – istilah tersebut harus dianggap meliputi benda – benda yang ditunjuk didalam pasal tersebut.

Contoh pada bab 9 buku 1, diterankan beberapa perkataan dalam KUHPidana, pasal 89 contohnya, yang berbunyi (memingsangkan seseorang atau melemahkan seseorang disamakan dengan melakukan kekerasan).
Pasal 97 : perkataan hari berarti waktu 24 jam, perkataan bulan berarti masa 30 hari.
Pasal 98 : perkataan malam berarti masa antara terbenam dan terbitnya matahari.

III. BAHASA KEILMUAN HUKUM.

Bahasa keilmuan hukum adalah bahasa hukum teoritis, yaitu bahasa hukum yang bersifat ilmiah yang digunakan dalam mempelajari hukum sebagai ilmu pengetahuan. Dilihat dari pemakaiannya, bahasa dibedakan dalam bahasa hukum keilmuan yang bersifat ilmiah semata – mata dan yang bersifat ilmiah praktis. Bahasa hukum yang terdapatdalam keputusan – keputusan, peraturan perundang – unadangan yang banyak digunakan dalam praktek tersebut bahasa hukum praktis. Bahasa hukum praktis terdiri dari kaidah – kaidah hukum yang mengatur kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya. Again ini yang akan dibicarakan adalah bahasa hukum teoritis.

A. Kebiasaan dan Adat.
Istilah kebiasaan adalah terjemahan dari bahasa belanda gewoonte. Istilah adat berasal dari bahasa arab adab. Yang maksudnya juga kebiasaan. Namun, manurut ilmu hukum dan adat dibedakan pengertiannya. Perbedaan dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku manusia, dan sejarah pemakaian istilahnya dalam dalam hukum di Indonesia. Kebiasaan adalah sesuatu yang lazim, bisa terjadi atau dilakukan. Kebiasaan yang selalu dilakukan oleh orang banyak itu menjadi adat. Adi adat adalah kebiasaan pribadi yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat. Dalam sejarah perundangan di Indonesia, pemakaian kebiasaan dan adat dibedakan. Ada kebiasaan dilur perundangan dan ada kebiasaan yang diakui oleh perundanga, sedangkan adat selalu diartikan diluar perundangan. Hal mana menyebabkan adanya istilah hukum kebiasaan, hukum adat meruakan hukum yang tidak tertulisdan hukum yang tertulis. Di Eripa atau Belanda tidak dibedakan antara kebiasaan dan adat, keduanya bersifat hukum, disebut hukum kebiasaan (gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wentercht).

B. Hukum Adat dan Perundangan.
Istilah hukum adat berasal dari bahasa Arab. Kata hukmu mengndung perintah atau suruhan, sedangkan kata adab berarti kebiasaan. Jadi hukum adat artinya aturan kebiasaan. Istilah tersebut sudah dipakai di Aceh sejak abad 17. Snouck Hurgronje menyebutnya Adatrechts.
Dalam perkembangannya, hukum adat tidak hanya mengandung hukum adat tradisional, yang juga disebut hukum adat (dalam arti sempit) tetapi juga termasuk hukum kebiasaan modern. Hukum tradisional berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat tertentu misalnya adat Batak, Minagkabau, Lampung, Jawa, Bali dsb. Sedangkan hukum kebiasaan modern berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat modern.
Pada umumnya hukum adat (dalam arti luas) tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak terkodifikasi, jadi tidak tersusun secara sistematis. Bentuk hukum adat tidak teratur, keputusannya tidak emakai konsideran.
Hukum adat diartikan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis yang disana sini mengandung usur agama. Oleh prof. Imam Sudiyat, SH. Menyebutnya hukum asli Indonesia. Hukum adat yang arti sempit menunjukkan hukum adat tradisional yang diperintahkan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan hukum adat dalam arti luas meliputi hukum kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan antara satu dengan yang lain, dalam lembaga – lembaga masyarakat dan lembaga – lembaga kenegaraan. Kesemuanya tidak tertulis dalam bentuk perudangan.
Hukum kebiasaan adalah hukum yang berlaku sebagai kenyataan yang dilakukan oleh oang seorang atau masyarakat, baik resmi atau tidak, yang merupakan perbuatan yang tetap dan dirasakan harus beraku. Misalnya pemilik penyewa di tempat penyewa, Presiden berpidato pada 17 Agustus. Oleh karena adat dan kebiasaan mengandung hukum, maka kesemuanya disebut hukum, dan sifatnya tidak tertulis.
Perundangan (wetgeving) adalah semua peraturan yang tertulis dalam bentuk keputusan yang dibuat dengan sistem tertentu, terutama oleh pemerintah dan adakalanya dalam bentuk kodifikasi. Jadi UUD, TAP MPR, UU, Pepres, Kepme, Perda, keputusan haki merupakan perundangan. Bentuk perundangan umumnya dimulai dengan konsideran (pertimbangan). Kemudian isi keputusan terdiri dari beberapa Bab dan pasal serta penjalasannya. Himpunan peraturan yang sama yang disusun secara sistematis dalam satu kitab perundangan disebut kodifikasi.

C. Hubungan Hukum dan Hak.
Isrilah hukum mengandug arti aturan, yaitu aturang yang mngatur hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara masyarakat yang stu dengan masyarakat yang lain. Hubungan – hubungan yang diatur oleh hukum disebut dengan hubungan hukum (rechsbetrekking). Hubungan hukum menunjukkan adanya dua saling tarik menarik, yaitu adanya hak dan kewajiban, baik hak dan kewajiban yang sifatnya satu pihak atau yang sifatnya dua pihak. Yang satu pihak saja misalnya hubungan hukum antara anda dengan milik yang merupakan haka milik atau hubungan hukum yang dilakukan petani lading yang disebut dengan mabeli, aitu memberi tanda pada pohon disuatu tanah hutan. Perbuatan mabeli itu merupakan hak atas pohon dan hak atas tanah sekitarnya serta kewajiban untuk mengurus pohon dan mengusahakan tanah disekitarnya untuk dijadikan lading. Sebaliknya, tidak ada hak dan kewajiban dari pohon atau tanah sekitarnya untuk menuntut petani agar petani memenuhi kewajibannya. Hubungan hukum yang dua pihak misalnya, pristiwa hukum jual beli. Pejual dan pembeli tertarik oleh hak dan kewajiban masing – masing pihak. Pihak pembeli berhak menerima barang yang dibelinya dan berkewajiban membayar sesuai dengan harga yang telah disepakati. Sedang pihak penjual berhak menuntut pembayaran dari sipembeli dan berkewajiban menyrahkan barang yang dia jual kepada sipembeli. Pergaulan hukum yang banyak menimbulkan peristiwa hukum adalah ubungan hukum dua pihak yang sifatnya timbal balik. Hak dan kwajiban dalam hubungan hukum diatur dalam peraturan hukum, misalnya jual beli sebagaimana diatur dalam pasal 1475 KUHPerdata, dikatakan : ”jual beli adalah persetujuan dimana pihak yang satu mengikat diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah disetujui”.
Sifat pasal tersebut merupakan kaedah hukum yang mengatur hubungan kemasyarakatan, hubungan antara yang satu ddengan yang lain dalam masyarakat. Jadi ditujukan kepada semua orang melakukan jual beli. Aturan demikian itu dalam ilmu hukum disebut hubungan obyektif, yaitu yang menunjukkan aturan hukumnya (law). Apabila hubungan hukum itu dikaitan dengan para pelaku yang mengadakan hubungan hukum, sehingga karena hubungan hukum itu menimbulka hak, maka disebut ukum subyektif. Dalam hal ini hukum mengandung arti hak (right). Dalam bahasa hukum Belanda baik hukum sebagai aturan maupun hukum sebagai hak disebut recht.
Istilah hak tidak saja mengandung kekuasaan tunggal tetapi juga kekuasaan ganda, karena sesuatu hak dapat merupakan serangkaian hak, serangkaian kekuasaan atau serangkaian kewenangan. Misalnya dengan adnya hak milik maka ia tidak saja mempunyai arti hak kepunyaan,tetapi juga hak menikmati, hak memindah tangankan, hak jul, hak gadai, hak hibah, dsb. Kekuasaan yang dimaksud adalah mengatur, wewenang mengatur terhadap hak milik itu.
Hak sebagai kekuasaan sifatnya tidak mutlak, ia dipengaruhi pleh kemasyarakatan, dibatasi oleh kepentingan umum. Misalnya hak milik atas tanah dan sebagaimana disebut dalam pasal 6 UUUPA (Undang – Undang Pokok Agraria) No. 5 / 1960: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun tidak dapat dibenarkan atau tidak dipergunakan semata – mata untuk kepentingan pribadi, apabila akan merugikan masyarakat. Begitu pula dengan hak dalam arti kekuasaan pemerintahan (negara) tidak boleh disalahgunakan sehingga merugikan masyarakat karena tidak sesuai dengan tujuan kekuasaan itu (abus de droit).

D. Hak Absolut dan Hak Relatif.
Hak mengandung arti kekuasaan dan kewenangan, namun batas ruang lingkup dari sesuatu hak dibatasi leh hak yang lebih tinggi, yaitu kekuasaan yang mengatur hak – hak itu di dalam atau di luer perundangan. Hak – hak itu akan ada jika ia diberikanoleh penguasa, jika penguasa tidak memberikan hak – hak kepada warganya, artinya jika undang – undang tidak mengaturnya maka hak – hak itu tidak ada. Begitu pula, walau hak – hak itu diatur dalam undang – undang jika kenyataannya tidak berlaku bahkan dilanggar oleh penguasa sendiri, maka hal – hal itu menjadi sirna. Jadi ada tidaknya suatu hak atau timbul lenyapnya suatu hak karena sesuatu peristiwa hukum yang terjadi.
Hak – hak dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu hak absolute (absolute rachten) dan hak relatif. Hak absolut adalah hak mutlak yang diberikan kepada setiap subtek hukum untuk berbuat dalam ia memperhatikan kepentingannya dan setiap subyek hukum yang lain berkewajiban menghormati hak absolut seseorang. Misalnya hak milik dimana hak pihak pemilik berhak untuk bertindak sendiri atas hak miliknya dan orang lain wajib menghoramti hak milik seseorang itu.
Hak relative adalah hak yang diberikan oleh hukum hanya kepada subyak hukum yang lain yang teratur agar dia berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau memberi sesuatu. Misalnya didalam perjanjian hutang piutang, maka hak menagih agar hutang dibayar berlaku terhadap sipenghutang saja.
Hak absolute dibedakan dalam beberapa macam, yaitu : hak asasi manusia, hak public absolute, dan hak privat absolute. Hak relative dibadakan dalam beberapa macam yaitu : hak relatif publik, hak keluarga relatif, dan hak kekayaan relatif.
Hak asasi manusia adalah hak – hak pokok yang penting bagi kehidupan manusia yang diberikan oleh hukum, seperti kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan kehidupan, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak membela Negara, hak mendapat pengajaran.
Hak public absolut adalah hak suatu bangsa untuk merdeka dan berdaulat.
Hak privat absolut adalah hak keperdataan yang sifatnya mutlak, seperti hak pribadi manusia, hak keluarga mutlak, dan sebagian dari hak kekayaan, yaitu hak kebendaan dan hak atas benda tidak berwujud. Hak pribadi manusia yang mutlak misalnya hak atas nyawa.
Hak keluarga mutlak adalah hak yang timbul karena adanya hubungan kekeluargaan, seperti hak marital suami dalam memimpin keluarga.
Hak kekayaan adalah ahak atas kebendaan yang berwujud atau tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang. Hak kebendaan berwujud seperti hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak – hak adat, hak – hak atas air dan ruang angkasa. Hak kebendaan yang tidak berwujud misalnya hak cipta, hak mengarang, dan hak oktrol (penemuan).
Hak publik relatif adalah hak dari penguasa atau Negara untuk menetapkan hukuman atau pidana, untuk memungut pajak dan bea cukai yang ditujukan kepada subyek hukum tertentu.
Hak keluarga relative adalah hak – hak dalam hubungan kekeluargaan, seperti hak suami dan hak istri.
Hak kekayaan relative adalah semua hak yang bukan hak kebendaan atau hak ciptaan manusia, seperti hak tagihan hutang yang ditujukan kepada orang tertentu.

E. Subyek Hukum dan Obyek Hukum.
Istilah subyek hukum yang dimaksudakn adalah orang (badan = person) yang mempunyai hak dan kewajiban. Sedangkan obyek hukum adalah sesuatu yang bernialai dan bermanfaat bagi orang atau subyek hukum.
Subyek hukum dapat dibedakan antara orang (person) yang merupakan badan manusia (naturuelijik persoon), dan orang yang merupakan badan hukum (rechts persoon) yang membuat manusia karena kehendak manusia untuk melakukan hubungan – hubungan hukum. Manusia sebagai pendukung hak telah berlaku sejak dia lahir sampai dia mati. Manusia mempunyai hak – hak asasi, tetapi badan hukum tidak. Manusia dapat dihukum penjara, dapat dibuang seumur hidup, tetapi badan hukum tidak. Badan hukumhanya diadakan karena kebutuhan yang menyangkut harta kekayaan (vermogen) dalam pergaulan hukum. Baik manusia maupun badan hukum mempunyai kepentingan kebendaan. Benda – benda yang menadi tujuan (obyek) dalam suatu hubungan hukum yang dilkukannya,yang menimbulkan hak – hak baginya sebagai subyek hukum adalah obyek hukum. Contoh, mobil adalah obyak hukum bagi subyak hukum (penjual maupun pembeli), pidana (hukuman) sebagai obyek hukum dalam hukum kepidanaan.
Kebendaan yang merupakan obyak hukum dibedakan antara benda berwujud (lichamelicjke zaken) seperti buku, yang tidak berwujud (onlichamelijke zaken) yaitu berbaga hak seperti hak cipta, hak mengarang, hak penemuan.
Kebendaan dibedakan pula antara benda tetap (onroerende zaken) seperti tanah, rumah, gedung, dan benda beergerak (renrorende zaken).

F. Peristiwa Hukun.
Peristiwa hukum (rechtsfeit) yang mengandung pengertian kejadian yang diatur oleh hukum. Perisyiwa hukum adalah peritiwa kemasyarakatan yang diatur oleh hukum. Seperti sewa – menyewa, jual beli, dll.
Peristiwa hukum dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu perbuatan obyek hukum dan perbuatan yang bukan perbuatan subyek hukum. Perbuatan subyek hukum adalah perbuatan baik orang atau badan hukum, yang berupa perbuatan hukum dan bukan perbuatan hukum. Perbuuatan hukum adalah perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan oleh satu pihak saja (bersegi satu) seperti wasiat, maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi dua) seperti jual beli. Perbuatan satu pihak (eenzijdig) adalah perbuatan yang akibat hukumnya timbul karena perbuatan satu pihak. Contoh perbuatan membuat surat wasiat (pasal 875 KUHPerdata). Dan apabila akibat hukumnya timbul karena perbuatan dua pihak (twezidjik), seperti jual beli.
Anasir yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum adalah akiabat, oleh karena akibat dapat dianggap sebagai kehendak si pembuat. Jika akibatnya tidak dikehendaki si pelaku maka perbuatan itu bukan perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak dikatakan suatu perbuatan hukum.
Perbuatan subyek hukum dan bukan dikatakan perbuatan hukum adalah perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh si pelaku, tetapi akibatnya itu diatur hukum serta perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang akibatnya diatur hukum walaupun akibat itu tidak dikehendaki pelaku (rechtmatigedaad) adalah perbuatan yang disebut zakwarneming, yang sifatnyan suka rela tanpa adanya suruhan.
Perbuatan yang bertentangan dengan hukum (onrechmatugedaad, factum ilicitum) adalah perbuatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh si pelaku. Jadi walaupun sipelaku sudah tahu bahwa perbuatan itu akibatnya tidak baik namun perbuatan itu dilakukan juga sehingga merugikan orang lain, maka ia harus mengganti kerugian kepada penderita. Perbuatan melanggar hukum diartikan dalam arti luas, tidak saja melanggar hukum perundangan, tetapi juga hukum lainnya seperti hukum adat. Bagi hakim dalam menilai perbuatan melanggar hukum, adalah apakah hukum yang dilanggar adalah hukum yang hidup (living law), yaitu hukum yang sesuai dengan hukum kesadaran msyarakat.
Peristiwa hukum yang merupakan bukan perbuatan subyek hukum adalah seperti kelahiran, kematian, dan daluwarsa. Kelahiran anak yang merupakan perbuatan hukum tapi bukan perbuatan subyek hukum, tetapi peristiwa itu menimbulkan hak bagi anak dan kewajiban bagi ayah dan ibunya untuk memliharanya (pasal 45 UU No. 1 th 1974, pasal 298 KUHPerdata). Kematian menyebabkan timbulnya pewarisan (pasal 830 KUHPerdata) dari para ahli waris mendapat hak milik atas harta warisan.
Daluwarsa yang bukan perbuatan subyek hukum dibedakan pengertiannya dengan daluwarsa akuisitif dan akstinktif. Daluwarsa akuisitif adalah keadaan lewat waktu yang berakibat seseorang memperoleh hak. Pasal 1963 KUHPerdata : “karena daluwarsa orang yang degan itikad baik berdasarkan dengan alas yang sah, memperoleh hak atas suatu benda tetap, bunga atau piutang yang harus dibayar 30 tahun tanpa harus dipaksa menunjukkan alas haknya”. Daluwarsa ekstinktif adalah keadaan yang lewat waktu yang berakibat seseorang akan hapus haknya. Contoh, pasal 1967 KUHPerdata : “segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewat waktu selama 30 tahun, tanpa menunjukkan sesuatu alas itikad burukny”.
V. Bahasa Hukum dan Ketatanegaraan Adat.

Istilah – istilah hokum ketatanegaraan yang telah dikemukakan di atas terdiri dari bebagai istilah yang digunakan dalam ilmu pengetahuan hokum dan hokum perundangan Indonesia. Masih banyak istilah – istilah hkum ketatanegaraan Indonesia yang asli yang bukan berasal dari istilah barat, melainkan berasal dari istilah – istilah melayu, Sansekerta, hindu-jawa dan Islam. Istilah – istilah tersebut ada yang sudah diangkat menjadi bahasa nasional dan ada yang masih bersifat lokal. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa istilah Indonesia yang biasa dipakai dalam membicarakan hokum ketatanegaraan.

A. PANCASILA.
Pancasila adalah kata majemuk dari panca yang artinya lima dan sila yang artinya asas atau dasar. Untuk pertama kalinya pancasila itu dekemukakan oleh Bung Karno dalam pidatonya dihadapan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan), pada tanggal 1 Juni 1945 di Jakarta, untuk menyatakan tentang lima dasar Negara.
Kata pancasila itu berasal dari bahasa Sansekerta yang digunakan dalam agama Budha untuk menyatakan adanya lima pantangan bagi para upasaka dan upasika, yaitu pantang membinsakan makhluk, pantang mencuri, pantang berbuat zina, pantang menipu, pantang minum minuman keras.
Kemdian istilah pancasila terdapat pula dalam bagian bahasa (sarga) ke 53 bait kedua dari kitab nagara kertagama, yaitu kitab yang digubah semasa pemerintahan Hayam Wuruk sebagai syair pujian tentang kemegahan Negara Majapahit oleh empu Prapanca pada tahun 1365, yang antara lain menyatakan:
‘Ytnangegwani Pancasila krtasangskarabhisekakarama’ maksudnya, “(raja)melaksanakan dengan setia kelima pantangan, begitu juga upacara-upacara ibadah dan penobatan (Soepardo Cs. 1962: 36).
Apabila istilah pancasila diatas berarti menunjukan adanya lima pantangan bagi seorang pemuka, maka menurut ajaran agama Hindu (Bali) terdapat pula istilah panaca cradha yang lima kepercayaan, ialah percaya kepada Sang Hiang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, percaya pada Atma atau rokh leluhur, percaya kepada Karma Phala atau sebab dan akibat, percaya kepada Moksa (Nirwana) atau kebebasan.
Menurut ajaran agama Islam antara lain dikatakan di dalam Al-qur’an Surah An-Nisa’ ayat 136:
“wa yakfur billahi wa malaikatihi wa kutubuhi wa rusulihi wal yaumil akhiri faqodh-dhlalanba’idan”
Maksudnya, barang siapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab – kitab-Nya, Rasul – rasulNya, dan hari kemudian, maka susengguhnya orag itu telah sesat sejauh – jauhnya. Dan selanjutnya dikatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 136:
“wa Ilahukum Ilahu wwahidin la Ilaha Illa huwaRrahmanu Rrahiem”.
Maksudnya, “dan Tuhanmu itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada Tuhan melainkan dia, Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang”.
Dengan demikian tepatlah jika pasal 29 UU 1945 b menyatakan bahwa “Negara berdasar kepada ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pancasila sebagai nama falsafah dasar Negara yang merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang diberikan oleh Bung Karno, adalah untuk menunjukkan kelima sila yang tercantum dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyantan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, sertan dengan mewujudkan keadilan social bagi seluruh bangsa Indonesia.”
Kelima sila itu dilukiskan kedalam lambang Garuda Pancasila dam bentuk perisai yang seolah – olah digenggam garuda, yang sedang mngembangkan syapnya dan berdiri diatas pita Bhinneka Tunggal Ika. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dilukiskan sebagai bintang yang bersudut lima, didalam perisai kecil ditengah – tengah perisai besar. Kemudian didalam perisai besar dengan garis batasnya masing – masing terukis rantai sebagai sila kemanusiaan, beringin sebagai sila persatuan, kepala banteng sebagai sila kerakyatan, padi dan kapas sebagai sila keadilan social.
Menurut penulis letak bintang dalam perisai kecil terdiri ditengah – tengah perisai yang besar dari lukisan sila yang lain mengandung arti yang dalam. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah saka guru dari silayang lain. Jadi tidaklah tepat jika Bung Karno menyatakan Pancasila menjadi trisila, menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Ynag Maha Esa, kemudian trisila itu dapat diperas lagi menjadi Ekasila, maka Ekasila seharusnya adalah Ketuhanan Ynag Maha Esa.
Panca sila adalah cerminan dari Bhinneka Tunggal Ika, ia bukan “sumber dari segala sumber hukum” sebagaimana memorandum DPRGR tanggal 9 juni 1996 (Estiko Suparjono 19969: 7), melainkan ia adalah sumber dari segala sumber hukum ketatanegaraan Indonesia.

B. BHINNEKA TUNGGAL IKA.
Istilah Bhinneka Tunggal Ika berasal dari lontar Sutasomo karya Empu Tantular yang antara lain berbnyi:
“Bhinneka Tunggal Ika, tan hana Dharma Mangrwa”, maksudnya bebrbeda itu satu, tidak ada kebenaran (agama) mendua. Kata – kata lain dalam Hindu Bali misalnya:
“Ekam Eva Adwityam brahman”, yang maksudnya : hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya (adwityam) brahmani (Hyang Widhi = Tuhan), jelasnya Tuhan itu hanya satu tidak ada duanya. Jadi istilah ika atau eka dapat berarti itu atau satu. Istilah Eka lainnya misalnya nama yang diberikan Pak Harto sebagai nama Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ialah Eka Prasetiya Pancakarsa TAP MPR no. 11/1978. Eka artinya satu, prasetiya artinya janji, panca artinya lima dan karsa artinya kehendak atau tekad. Jadi maksud Eka Prasetiya Pancakarsa adalah tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak, dalam arti kehendak untuk melaksanakan Pancasila.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Bhinneka Tunggal Ika adalah walaupun berbeda (masyarakat, bahasa, adat, budaya, agama dan aliran pahamnya) namun satu jua negaranya, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi menurut penulis sesungguhnya bukan pancasila yang merupakan lambang persatuan tap Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila adalah lambing persatuan asas, jiwa atau pandangan hidup ketatanegaraan.
Persatuan Bhinneka Tunggal Ika untuk mewujudkan Negara kesatuan berdasarkan pancasila itu telah dimulai dari Kongres Pemuda tahun 1928, yaitu kongres dari berbagai golongan dan aliran pemuda, yang dikenal dengan istilah sumpah pemuda di Jakarata. Sejak masa itu pemuda Indonesia telah bertekad bulat mengaku bertanah air satu yaitu tanah air Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.
Sehubungan dengan timbulnya bahaya perpecahan, maka Bung Karno selaku presiden Republik Indonesia pada waktu membuka Konstituante 10 November 1956 berseru didalam pidatonya:
“Tjintailah dan madjukanlah daerah asalmu, tapi tjintainjalan dan madjukanlah dalam rangka kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia” (kementerian penerangan, 1956: 9).
Kemudian president Soeharto menyatakan pula :
“Ya, kita memang berbeda – beda tapi kita bertekad untuk bersatu ! Bhinneka Tunggal Ika ! apabila kita ingin bersatu, maka persoalan pokoknya bukan menghilangkan perbedaan – perbedaan tadi. Itu adalah mustahil, karena bertentangan dengan kodrat …… Persatuan kesatuan Nasional harus terus terpelihara dan diperkokoh. Usaha – usaha ini tidak akan ada henti – hentinya. Karena persatuan dan kesatuan bangsa merupakn kekuatan dan modal utama bagi bangsa untuk maju dan mencapai cita – citanya” (Soeharto 1976: 53).
Jadi betapa pentingnya persatuan itu, betapa pentingnya Bhnneka Tunggal Ika itu, namun sebagaimana dikatakan Mohammad Roem dalam mengakhiri tulisannya tentang Soekarni, anak dari zamannya (Harian Kompas 15 Agusts 1983).
“manusia membuat rencana, tapi rencana Tuhanlah yang berlaku. Kata bersayap ini sudah saya dengar diucapkan berkali – kali dalam berbagai kesempatan oleh pemimpin – pemimpin dari berbagai macam aliran. Herankah kita, jika lahir lambang Negara Bhineka Tunggal Ika.”
Istilah yang kita bicarakan diatas merupakan istilah pandangan hidup nasional yang tercermin dalam lambang nasional. Di daerah - daerah di Indonesia terdapat pula lambang dan pandangan hidup lokal, baik yang resmi sebagai milik pemerintah daerah, maupun yang tidak resmi atau milik golongan masyarakat.

C. SANG BHUMI RUWA JURAI
Kata – kata Sang Bhumi Ruwa Jurai tervantum dalam lambang daerah tingkat 1 Propinsi Lampung. Lambang daerah Lampung itu berbentuk perisai bersegi lima dengan lukisan Payung yang melindungi siger (mahkota) dengan sebuah gong bersilang laduk (golok) dan payan (tumbak) di belakangnya, yang dilingkari setangkai padi dan setangkai lada yang bertolak dari aksara asli, dengan pita bertulisan Sang Bhumi Ruwa Jurai.
Kata – kata Sang Bhumi Ruwa Jurai adalah bahasa daerah yang terdiri dari kata Sang artinya yang mulia, bumi artinya tanah kediaman, ruwa artinya dua, jurai artinya garis keturunan. Jadi Sang Bumi Ruwa Jurai adalah tanah kediaman mulia dari dua asal keturunan, yaitu masyarakat pnduduk asli dengan masyarakat pendatang atau (transmigrasi).
Dengan demikian arti filsafat dari lambang itu adalah walaupun Masyarakat Lampung berbeda asal - usulnya, namun ia bersatu dan rukun dalam satu kesatuan daerah, membangun bersama daerahnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahterah dalam kesatuan Republik Indonesai berdasarkan Pancasila. Negara kesatuan dilambangkan dalam bentuk paying yang berjari 17, beruas tepi 8, bergaris batas ruas 19 dan berumbai 45.
Selain lambang daerah yang resmi tersebut, dikalangan masyarakat penduduk asli, masih terdapat pandangan hidup yang disebut Pi-iL Pessenggiri dalam arti mempunyai harga diri, ditarik dari kat pi-il yang rasa (malu) pessenggiri yang artinya kepribadian (tidak mau kalah). Jadi pi-il orang Lampung terdiri dari lima sila, yaitu pessenggiri artinya tidak mau kalah, nemui nyimah artinya suka menerima dan memberi, nengah nyappur artinya suka bergaul dan bermusyawarah, sakai sambayan artinya suka tolong menolong, dan juluk edek artinya suka bergelar dan bernama baik.

D. SWASTIKA
Di Bali selain lambang daerah, terdapat pula lambang keagamaan, yang merupakan lambang suci agama Hindu yaitu Swastika. Lambang ini berbentuk silang mirip dengan lambang Nazi Jerman Hitler, atau mirip dengan galaxy (kumpulan bintang – bintang di cakrawala) yang merupakan dasar kekuatan alam.
Menurut ajaran Hindu Bali kata Swastika itu terdiri dari kata Su (baik), asti (adalah), ke (menunjukkan sifat). Jadi swastika berarti bersifat baik. Kata – kata itu terjelma pula dalam pergaulan, misalnya ketika memberi salam dengan menyebut om swastiastu, maksudnya om (aksana suci untuk Sang Hyang Widhi), Swasti adalah baik, astu (mudah - mudahan). Jadi om swastiastu adalah semoga (anda) dalam keadaan baik atas karunia Sang Hyang Widhi (Tuhan). Jika menjawab salam menyebut om shanty, shanty, shanty, maksudnya semoga damai atas karunia Hyang Widhi.
Dalam bahasa Sansekerta Swasti adalah kebahagiaan, dengan demikian dapat disimpulakn bahwa pandangan hidup masyarakat Hindu Bali bertujuan mewujudkan kehidupan damai dan berbahagia. Hal mana dapat dibandingkan dengan ucapan agama Islam Assalamu ‘alaikum warahmatuLlahi Wa Barakatuh dalam arti selamatlah anda dan semoga Tuhan memberikan rahmat dan bekahnya. Begitu pula dalam Islam dikatakan baldatu thayyibatun wa Rabbun Gafur (surah Saba’ (43) ayat (15) yang artinya masyarakat atau Negara yang baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun. Jadi dalam pandangan hidup Islam bertujuan mewujudkan Negara yang baik yang diridhoi Allah SWT.

E. MUSYAWARAH.
Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab dan ajaran Islam, misalnya di dalam Al-Qur’an surah Asysyuraa (42) ayat 38 dikatakan:
“Wallaziena tajaabu lirobbihim wa aqaamushshalata wa amruhum suraa bainahum wa mimma razaqnaahum yunfiqun”
Maksudnya:
“dan (bagi) oaring – orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan), dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan antara sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka”.
Di dalam kitab suci agama Kristen tentang permusyawaratan perwakilan antara lain dikatakan:
“Pada hari – hari itu berdirilah Petrus di tengah – tengah saudara – saudara yang sedang berkumpul itu, kira – kira seratus dua puluh orang banyaknya” (kis 1:15).
“Maka bersidanglah Rasul – Rasul dan penatua – penatua untuk membicarakan soal itu” (kis 15:6).
Dengan adanya ajaran – ajaran agama tersebut maka bertambah kuatlah system deokrasi diantarakalangan rakyat yang memang sejak zaman melayu polinesia, masyarakat adapt yang di dusun dan di desa, dilinkungan kerabatnya, telah melaksanakan system musyawarah dalam melaksanakan pemerintahan kekerabatannya.
Peribahasa Melaayu mengatakan:
“Bulat air oleh pembuluh,
Bulat kata oleh mufakat”, artinya, bersatunya air karena adanya penyalur, bersatunya kata karena mufakat. Jadi mungkin saja didalam permusyawaratan terjadi perbedaan pendapat, namun dikarenakan saling pengertian di antara pesertanya menimbulkan kesepakatan.
Demikian masyarakat Indonesia di dusun – dusun (Sumatera Selatan, Gorontalo), di marga – marga (Sumatera Selatan, Lampung), di Hutan dan Kuria (Tanah Batak), di nagari – nagari dan kampuang (Minangkabau), atau di desa – desa dan pedukuhan (di Jawa) dan berbagai daerah lainnya. Kesemuanya dalam mencari suatu penyalesaian dalam masalah dipecahkan dengan musyawarah dan mufakat.
Jika kesepakatan telah tercapai maka semua anggota masyarakat mantaati dan melaksanakan keputusan pemimpinnya. Adanya ketaatan rakyat kepada pimpinannya dikarenakan rakyat telah mengkrarkan kepemimpinannya kepada pemimpin ketika pemimpinnya itu diangkat dalam suatu upacara. Di daerah Gorontalo Sulawesi Utara, ketika upacara pengangkatan marsaoleh (kepala daerah) dikrarkan oleh wakil – wakil rakyat terhadapnya sebagai berikut:
“Hulanggili hulalata, wolihi patoo data, wapato piatu buata, holo tapilangata, latau datata, mahinti mongolomota Bali mopoopatoto, moputi ode huatu”.
Maksudnya:
“Bulan kerajaan, bulan dataran. Tiang tumpuan Negara. Empat rotan pemukul. Pada tuan sekalian bersandarlah kepercayaan khalayak ramai. Penyelidik dan pemeriksa. Yang sekaligus memberikan penerangan, yang mungungkapkan kesucian” (Haga, 1981 : 20).
Tetapi jika kemudian pemerintahan yang baik diabaikan pemimpin, selagi mereka tahan mereka diam, setelah mereka tak tahan mereka pergi meningglkan kampong halaman pindah ketempat lain memasuki permusyawaratan yang lain yang dianggapnya baik. Di Lampung disebut “liwak pepadun” (memisah musyawarah), karena para anggota masyarakat adapt bersangkutan sudah merasa tidak mempunyai pemimpin yang baik lagi.
Dalam hal ini peribahasa Aceh mengatakan:
“Paleh sagou meuleuhob jurong, paleh gampong tan ureueng tuha”(Dhani, 1982: 5).
Maksudnya :
“Rusak segi (daerah) karena kotornya jurung, rusak kampong karena tak ada orang tua (orang yang baik)”.
Di dalam pembukaan UUD 1945 alenia keempat akhir dikatakan “….. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Kalimat tesebut mangandung arti pancasila,yaitu demokrasi berdasarkan himat kebijaksanaan permusawaratan perwakilan, yang berarti bahwa tinadakan bersama diambil setelah ada keputusan bersama. Tindakan dan jeputusan bersamam itu ahrus bertanggung jawab kepada Tuahan Yang Maha Esa, menjunjung nilai – nilai kemanusiaan, menjamin dan memperkokoh persatuan bangsa, dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.

F. MAYARAKAT HUKUM ADAT.
Di dalam penjelasan UU no.15 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, umum no.6, antara lain dikatakan bahwa UU ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan – kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan Nasional. Dengan demikian Undang – Undang Perintahan Desa tetap mengakui adanya kesatuan masyaraat termasuk didalamnya masyarakat hokum, adapt istiadat dan kebiasaan – kebiasaan yang masih hidup sepanjang menunjang kelangsunan pembangunan ketahanan Nasional. Dengan demikian Undang – Undang Pemerintahan Desa tetap mengakui adnya kesatuan masyarakat hokum adapt. Di bwah ini akan kita telaah tentang persekutuan hokum adapt.
Persekutuan Hukum Adat dapat dibedakan antara bentuk perseketuan kekerabatan (keluarga, kerabat, marga), persekutuan ketetanggaan (kampong, dusun, desa, kuria, nagari, marga) dan perseketuan keorganisasian (perkumpukan social budaya – agama, social – ekonomi - plitik).
Istilah masyarakat hukum merupakan tejemahan dari istilah asing Belanda rechtsgemeenschap, kemudian untuk masyarakat hukum adapt disebut adatrechtsgemeenschap.
Di dalam kepustakaan hukum adakalanya dipakai istilah masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat. Bagi kami istilah masyarakat hukum adat pengertiannya bersifat umum dan luas, misalnya dikatakan masyarakat hukum adat Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan sebaginya. Sedangkan istilah persekutuan hukum adapt kekerabatan, ketetanggaan atau keorganisasian, atau dilihat dari lingkungan masyarakatnya, misalnya untuk masyrakat hukum adapt Minangkabau disebut persekutuan hukum adapt Bodi – Caniago, koto – piliang, pesisir, atau seperti di Lampung persekutuan hukum adapt pepaduan dan pesisir.
Antara bentuk persekutuan itu terdapat perbedaan cirinya, terutama yang sifatnya khas adalah dalam persekutuan hukum adapt kekerabatan. Namun antara bentuk yang satu dan yang lain tidak berarti lepas kaitannya dilihat dari keanggotaannya, oleh karena dalam kehidupan masyarakat yang berkembang maju orang – seorang sebagai anggota masyarakat tidak hanya terikat pada hanya satu keanggotaan persekutuan saja, melainkan lebih dari satu kesatuan. Misalnya seorang warga desa adalah anggota persekutuan kekerabatan (sanak – sedulur), anggota persekutuan ketetanggaan (golongan karya, partai politik, perkupulan pengajian dan sebagainya).

G. PERSEKUTUAN KEKERABATAN.
Dengan istilah persekutuan kekerabatan yang dimaksud adalah bentuk – bentuk hubungan kekerabatan yang terjadi dikarenakan ikatan darah (genealogis) berdasarkan keturunan melalui garis ayah (patrilinial), atau melalui garis ibu (matriliniar) atau melalui garis kedua orang tua (parental, bilateral). Termasuk dalam hunbungan kekerabatan ini adalah anggota – anggota kerabat yang terjadi dikarenakan hubungan perkawinan (jujur, semanda, bebas). Begitu pula termasuk disini ialah anggota – anggota kerabat yang terjadi dikarenakan hubungan atau ikatan adapt (bersaudara angkat). Persekutuan – persekutuan kekerabatan itu mempunyai tata – tertib adapt sendiri bahkan adakalanya mempunyai harta bersama, milik bersama, yang dikuasai secara bersama, untuk kepentingan bersama.
Di daerah Batak yang persekutuan kekerabatannya bersiat patrilinial, untuk menyatakan kerbat satu keturunan menurat garis bapak, dipakai istilah marga. Jadi marga adalah kesatuan anggota kerbat yang berasal dari satu bapak asal. Nama – nama marga itu adakalanya merupakan nama daerah, kampong asal, seperti di daerah Toba terdapat nama – nama marga Hutabarat, Hutapea, Hutasoit, Hutajulu, Hutarutuk, dan sebagainya, dan adakalanya merupakan nama leluhur, seperti Pangabean, Simatupang, Silitonga, Siregar, Nasution, Lubis, dan sebagainya. Di daerah Karo dipakai istilah merga, misalnya tekenal nama merga silima, yang tediri dari Marga – merga Ginting, karo – karo, Perangin – angina, sembiring dan tarigan (Djaren Saragih Cs, 1980: 23).
Di daerah Lampung yang persekutuan kekerabatannya juga bersifat patrilinial, untuk menyatakan kerabat satu keturunan menurut garis Bapak, dipakai istilah buway. Nama – nama buway itu dipakai nama bapak aslinya, seperti Buway Nunyai, Buway Unyi, Buway Nuban, Buway Subing, Buway Nobang, Nuway belunguh, Buway Perja, Buway Pemuka, dan sebagainya. Istilah marga atau mergou atau migou di daerah ini digunakan untuk menyatakan suatu kesatuan wilayah perseketuan hukum adapt, sama dengan Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minagkabau, Negory di Ambon.
Di daerah Minangkabau yang persekutuan kekerabatannya bersifat matrilineal, untuk menyatakan kerabat satu keturunan Ibu asal, dapakai istilah parui (perut). Jadi kerabat yang anggotanya berasal dari satu ibu disebut sebuah pariuk, maksudnya dari satu perut (Westenenk, 1981: 37). Sebagai kepala dari satu paruik adalah penghulu yang dipilih adri anggota kerabat yang pria dianggap cakap untuk itu. Jadi berbeda dari Lampung yang meakai istilah punyinmbang (pun = yang dihormati, nyimbang = yang mewarisi), misalnya disebut punyimbang buway utuk kepala keturunan, punyimbang menyanak untuk kepala kerabat kecil, punyimbang nuwou untuk kepala kerabat serumah besar, punyimbang marga untuk kepala kerabat yang semarga, yang terdiri dari satu keturunan inti atau merupakan gabungan dari beberapa keturunan. Para puntimbang itu tidak dipilih, melainkan berdasarkan keturunan yang dilimpahkan kepada anak laki – laki yang tertua dari keturunan yang tertua.
Dilingkungan adat Jawa bersifat parental, tidak ada bentuk prsekutuan berdasarkan ikatan darah yang luas. Keluarga jawa hanya terdiri dari orang tua (ayah dan ibu) beserta anak – anak yang belum mandiri (berdiri sendiri). Dalam hal ini Soepomo mengatakan:
“Keluarga Djawa, tidak bersfat persekutuan hukum. Sesuatu kearga djawa mempunjai harta benda rumah tangga jang tetap ada, meskipun kepala rumah tangga meninggal dunia. Kepala rumah tangga atau kepala keluaraga itu mempunjai otoriter terhadap anggota – anggota keluarga (jaitu anak – anaknja sendiri), akan tetapi keluarga Djawa tidak bersifat tetap, keluarga itu akan bubar berhubung anak – anak dari keluarga itu akan mentjar, setelah mereka menjadi deawasa; anak – anak itu akan membentuk keluarga – keluarga baru. Pun oleh karena pertjeraian, sesuatu persekutuan keluarga dapat bubar” (Soepomo, 1967 : 44).
Oleh karenanya masyarakat adapt Jawa kehidupannya tiak berdasarkan persekutuan kekerabatan, melainkan persekutuan ketetanggaan.

H. PERSEKUTUAN KETETANGGAAN.
Istilah ketetanggaan mengandung mengeandung arti adanya hubungan bertetangga rumah, yang ikatannya didasarkan atas rasa kekeluargaan antara seama anggota dikarenakan mendiami satu kesatuan tempat kediaman, di pedukuhan atau di desa. Peri bahasa Jawa mengatakan:
“dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangan”. Maksudnya, sanak bukan, saudara bukan, jika ada yang mati merasa ikut kehilangan.
Sesungguhnya peribahasa itu menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia asli yang tradisional di pedesaan. Namun pengaryunya terbawa pulaoleh masyarakat do kota – kota yang rasa kekeluargaannya masih kuat dalam kehudupan bertetangga, baik bertetangga karena mendiami satu lingkungan tempat kediaman, maupun karena satu lapangan tempat kerja, di kantor – kantor, di pabrik – pabrik, dan sebagainya.
Dalam kepribadian ini berlaku asas tolong – menolong tanpa melihat adanya hubungan kekeluargaan atau tidak, tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan kesukuan, keagamaan, golongan dan aliran, yang dilihat ialah hubungan ketetanggaan, sebagai tetangga selingkungan tempat kediaman, sekampung sedesa atau juga setempat bekerja. Sehingga jika ada tetangga yang kematian, tetangga lainnya dtang berkunjung untuk ikut serta belasungkawa.
Pada umumnya di Indonesia bentuk persekutuan ketetanggan dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu persekutuan yang organisasi kemasyarakatannya berdasarkan kesatuan wilayah semata – mata (territorial) dan persekututn yang organisasi kemasyarakatannya berdasarkan kesatuan wilayah dan kesatuan keturunan atau kekerabatan (territorial - geneologis).
Persekutuan yang semata – mata bersifat territorial adalah seperti meunasah atau ganpong yang dikepalai oleh imeum atau keucik di Aceh, dusun yang dikepalai oleh krio di Sumatera Selatan, lembur yang dikepalai oleh mandor di Pasundan, desa yang dikepalai lurah di Jawa atau klian desa di Bali, dan sebagainya. Persekutuan yang bersifat territorial geneologis adalah seperi huta di Batak, atau kampuang di Minangkabau yang dikepalai oleh penghulu, tiyuh yang dikepalai oleh tamukung di Timor (Dawan), sao yang dikepalai oleh kepala sao di Ambon, dan sebagainya.
Dengan dua bentuk macam persekutuan tetangga itu, maka terdapat dua macam system kepemimpinan di desa – desa. Di desa – desa yang semata – mata berdasarkan kesatuan wilayah, kepemimpinan desa dipegang oleh kepala desa yang sekalgus menjadi ketua Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan nertindak sebagai kepala adapt. Sedangkan di desa – desa yang tidak hanya berdasarkan kesatuan wilayah saja tetapi kesatuan kerabat atau kesatuan adapt, kepemimpinan desa dipegang oleh kepala desa, sedangkan kepemimpinan adapt dipegang oleh kepala adapt dengan musyawarah adatnya masing – masing.
Denga lahirnya UU Pemerintahan Desa no.5 tahun 1979 yang berlaku sejak tanggal 1 Desember 1979, maka kedudukan pemerintahan desa sejauh mungkin diseragamkan. Di dalam UU tersebut yang dimaksud desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh seumlah penduduk sebagi keatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawa camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Republik Indonesia (pasal 1a).
Kemudian suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibwah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, seperti terdapat di kota – kota, disebut kelurahan (pasal 1b). sedangkan dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintah desa (pasal 1c) dan lingkungan adalah bagian wilayah dalam kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan kelurahan (pasal 1d).
Dengan demikian maka bentuk dan corak pemeritahan desa yang beraneka ragam berdasarkan IGO (Stbl. 1906. no. 38) dan IGO (Stbl. 1938. no. 490. jo Stbl. 1938. no. 681) buatan Belanda itu sudah terhapus karena tidak sesuai dengan bentuk dan system Negara Repblik Indonesia.

I. PERSEKUTUAN KEORGANISASIAN
Istilah keorganisasian yang dimaksud adalah hubngan keanggotaan dalam satu organisasi atau perkumpulan, dimana para anggotanya terikat satu sama lain berdasarkan rasa kekeluargaan dikarenakan terhimpun dalam satu kesatuan organisasi. Organisasi dimaksud adalah suatu badan (orgaan), yang mempunyai kepala (ketua), mempunyai tangan (penulis), mempunyai perut (bendahara), dan mempunyai kaki (pelaksana).
Organisasi aau kumpulan itu dapat berbentuk sederhana yang tidak begitu teratur dan dapat berbentuk modern yang teratur dengan memakai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tertulis. Misalnya perkumpulan keagamaan, senibudaya, muda – mudi, olah – raga, golongan ekonomi, golongan karya, golongan politik dan sebagainya. Namun yang penting dalam kita menempatkannya sebagai persekutuan hukum adapt adalah bahwa sebagai perkumpulan itu berdasarkan asas kekeluargaan dan diatur menurut hukum adatnya masing – masing, jadi bukan semata – mata berdasarkan kepentingan.
Istilah perkumpulan beasal dari bahasa Indonesia kumpul, artinya bersama - sama menjadi satu. Kumpulan artinya (kelompok) yang telah berkumpul, sedangka perkumpulan berarti tempat berkumpul atau tempat berhimpun menjadi satu. Perkumpulan dapat juga disebut himpunan.
Di desa – desa Jawa sering didengar orang berkata kumpulan di kelurahan, artinya mengadakan pertemun di kelurahan. Tetapi juga dalam bahasa sehari – hari kumpulan berarti juga kumpulan yang sifatnya tidak tetap melainkan menurut kebutuhan. Di Bali kumpulan atau perkumpulan itu disebut seka, misalnya kumpulan menanam disebut seka memula, kumpulan mengeam disebut seka manyi, kumpulan para pemuda disebut seku truna, kumpulan para gadis disebut seka daha, kumpulan teri baris disebut seka baris, kumpulan tbuhan disebut seka gong.
Di berbagai daerah di Indonesia, baik didesa – desa maupun di kota – kota terdapat banyak macam perkumpulan dengan berbagai mcam nama, menurut tunjuan perkumpulan atau menurut nama tempat atau pemimpinnya. Tetapi banyak juga perkumpulan yang mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai pimpinan tetapi tidak memakai nama tertentu. Misalnya kumpulan muli – menganai (bukang gadis) di Lampung yang sewaktu – waktu mwngadakan pertemuan untuk melaksanakan kegiatan adapt itu tanpa nama, tetapi mempunyai pimpinan yang disebut kepalo menganai (kepala bujang) dan kepalo mulei (kepala gadis).
Perkumpulan keagamaan sederhana sering juga tidak memakai nama tertentu, misalnya hanya disebut pengajian atau karena tempat mengjinya di mesjid Al-Muttaqien maka pengajiannya disebut pengajian Al-Muttaqien. Pengajian itu dipimpin oleh guru agama tertentu atau secara berganti – ganti. Begitu pula kita kenala perkumpulan yang disebut rukun kematian atau tetulung layat, yang tujuannya untuk membantu keluarga yang kematian dengan menyediakan biaya penguburan, kain putih pembungkus mayat dan sebaganya.
Perkumpulan – perkumpulan itu sifatnya lokal terbatas pada lingkungan tertentu. Sifat lokal itu bukan hanya terdapat pada daerah sendiri tetapi juga di daerah perantauan, misalnya di kota – kota besar terdapat perkumpulan – perkumpulan mahasiswa atau pelajar dari berbagi daerah di Indonesia, yang tujuannya untuk mempererat kekeluargaan sedaerah asal
Perkumpulan yang sifatnya nasional kebanyakan berkedudukan di ibu kota Negara, di Jakarta atau di Yogyakarta dan kota lainnya. Misalnya kit kenal dengan organisasi yang disebut Himpuan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan sebagainya. Begitu pula dengan Golongan Karya (GOLKAR), dan partai – partai polotik, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dengan masing – masing mempunyai organisasi – organisasi pendukungknya.
Kesemua bentuk organisasi yang beraneka ragam itu mempunyai pemerintahan organisasi sendiri, mempunyai pengurus yang tetap dan teratur berdasarkan hkum adatnya masing – masing. Dengan demikian pengertian organisasi atau perkumpulan yang dimaksud adalah sebagaimana dikatakan Robert V. Presthus: “Organization is a system of structural interpersona relations” (Sutarto, 1981; 27). Jadi yang dimaksud organisasi disini adalah suatu system susunan hubungan – hubungan antar pribadi, dimana hubungan – hubunga itu berlaku menrurut hukum adapt terlepas dari hukum ketatanegaraan yang umum……